Langsung ke konten utama

Hidup Selibat dalam Gereja Katolik: Berkah dan Tantangannya | Opini Senus Nega



Senus Nega | Mahasiswa Semester VIII STFK Ledalero


I.          Pendahuluan 

Dalam perjalanan sejarah hingga saat ini, di dalam Gereja Katolik terdapat satu panggilan hidup yang unik dan berharga yakni pilihan hidup selibat. Panggilan itu bersifat pribadi. Berkenaan dengan itu, Karol Wojtyla menyatakan ‘bahwa ada suatu jalan khusus bagi perkembangan setiap pribadi kalau diikuti, suatu jalan khusus baginya untuk memberikan seluruh hidupnya bagi pelayanan atau pengabdian terhadap sejumlah nilai tertentu.[1] Pemberian diri merupakan substansi setiap pilihan hidup, entah menikah atau selibat. Secara sederhana, hidup selibat berarti berani memilih untuk tidak menikah dengan tujuan untuk memfokuskan pelayanan dan pemberian diri secara total kepada Tuhan. Pilihan hidup selibat bukan berarti meninggalkan seksualitas atau alergi bila berbicara mengenai seksualitas. Dalam hubungan dengan hidup selibat, seksualitas manusia tetap merupakan anugerah Tuhan yang amat luhur dan berharga. Etika Kristiani pertama-tama berusaha secara tegas menyatakan bahwa misteri yang luar biasa dari seksualitas hanya bisa dialami secara sungguh manusiawi dalam suatu bentuk hidup yang konkret, yakni: perkawinan, sakramen cinta kasih atau dalam selibat demi Kerajaan Allah.[2] Artinya, seksualitas itu adalah luhur dan menyata dalam hidup perkawinan dan selibat itu sendiri. Seksualitas juga amat penting untuk dikatikan dengan hidup selibat dan sudah seharusnya para kaum selibat memahami secara komprehensif tentang seksualitas.  

Melalui hidup selibat, para imam, biarawan-biarawati ingin keluar dari diri dan pergi jauh kepada perjuangan hidup yang lebih luas demi kebaikan sesama dan kemuliaan nama Tuhan. Keputusan hidup selibat itu diikat dalam kaul kemurnian, yang diperkuat dengan kaul kemiskinan dan ketaatan. Karena sudah berani memilih untuk hidup selibat, maka para imam dan biarawan-biarawati harus taat dengan kaul-kaul yang diikrarkan. Kaul menjadi dasar, motivasi dan kekuatan bagi mereka untuk selalu bersatu dengan Allah dan menjalankan tugas-tugas sebagai pelayan Tuhan di medan misi.

Pilihan hidup selibat adalah rahmat dari Tuhan sendiri. Dialah yang berinisiatif memanggil orang-orang pilihan-Nya untuk menjadi pelayan di kebun anggur-Nya. Tuhan memberikan tanggung jawab dan kesanggupan bagi mereka guna menjalankan misi-Nya di tengah dunia. Atas dasar itu, kaum terpanggil/selibat pun dengan penuh yakin menekuni panggilan hidup selibat dan memaknainya sebagai jalan hidup khusus untuk melayani Allah dan sesama. Hanya dalam Allah sajalah para kaum selibat dapat mengemban misi dan menghadirkan Kerajaan Allah di tengah dunia. Dan hanya dalam Allah pula mereka dapat memberi diri seutuhnya bagi kebaikan dan keselamatan sesama. Oleh karena itu bagi saya, selain merupakan rahmat khusus dari Allah sendiri, hidup selibat juga merupakan berkah bagi orang lain atau umat. Artinya, dengan pilihan hidup yang demikian, para imam dan biarawan-biarawati fokus untuk melayani sesama, keluar dari zona nyaman dan membaharui hidup bersama. Dengan itu, orang lain atau masyarakat secara umum pun dapat memperoleh berkat, transformasi iman, religius, sosial atau peran yang kelihatan dari para kaum selibat tersebut. Berkaitan dengan itu, kesetiaan dan ketaatan mereka kepada Allah dapat dilihat dengan bagaimanan mereka dengan penuh cinta dan keterbukaan melayani sesama yang membutuhkan pelayanan.

Sebagai manusia biasa, kaum selibat tetap memiliki dorongan seksual dan hal itu merupakan ciri kodrati yang tidak dapat ditolak. Kaum selibat adalah juga makhluk seksual yang berkembang dari waktu ke waktu sebagai individu yang unik dan berharga. Wajar bila seorang imam menyukai seorang gadis, atau seorang suster menyukai seorang pemuda. Dorongan seksual yang dimiliki oleh para imam dan biarawan-biarawati itu menegaskan secara amat gamblang akan eksistensi mereka sebagai manusia. Wojtyla menekankan bahwa eksistensi merupakan kebaikan utama dan mendasar dari setiap ciptaan, dan bahwa dorongan seksual dalam diri manusia memiliki suatu makna eksistensial, karena ia melekat erat dengan keseluruhan eksistensi dari spesies Homo ini.[3] Agar dorongan seksual itu tetap bermakna eksistensial, dalam arti tidak memunculkan problem serius bagi diri kaum selibat itu sendiri, maka dibutuhkan kemampuan untuk mengontrol diri dengan tepat dan benar. Namun, fakta menunjukkan bahwa banyak juga imam dan biarawan-biarawati yang tidak mampu lagi mengontrol dorongan seksual yang ada di dalam dirinya. Dorongan seksual pun berubah menjadi serigala bagi kaum selibat itu sendiri. Dorongan seksual bukan lagi bermakna eksistensial bagi mereka, melainkan justru menjadi masalah atau bumerang bagi perjuangan mereka sebagai kaum selibat. Berkaitan dengan ini, di banyak tempat dalam seluruh perjalanan sejarah Gereja Katolik ada banyak imam dan biarawan-biarawati yang melakukan pelecehan seksual atau melakukan hubungan seksual selayaknya sebagai suami-istri. Kalau demikian adanya, tentu mereka sudah menabrak atau mengkhianati janji kaul yang telah diikrarkan. Dalam tulisan ini, penulis juga akan menyertakan contoh kasus pelecehan seksual dan kasus hubungan seksual yang dilakukan oleh imam dan biarawan-biarawati di Keuskupan Ruteng dan keuskupan-keuskupan lain di Flores.  

 

II.       Peran Rahmat Tuhan dan Berkah Hidup Selibat

Sudah menjadi rahasia umum bahwa menjadi imam dan biarawan-biarawati tidak dapat dipisahkan dari peran rahmat Tuhan. Setiap orang yang berada dalam pilihan hidup yang khusus ini memperoleh rahmat panggilan dari Allah sendiri. Orang yang secara bebas memilih hidup selibat mendapat bimbingan dari Tuhan sendiri. Selibat adalah sebuah karisma, suatu pemberian cuma-cuma dari Allah kepada seseorang yang bersedia menerima pemberian tersebut.[4] Allah mengetuk pintu hati setiap orang untuk mengikuti-Nya, membimbing dan menyanggupkannya untuk bertahan dalam situasi sulit dan menjadi pelayan yang setia di tengah masyarakat. Dengan rahmat Tuhan itu pun dia bisa menjalankan hidup selibat dengan bebas dan tanpa paksaan. Ia memilih dengan sukarela, penuh kesadaran dan kebebasan. Selibat atau hidup tidak menikah, dipilih secara bebas demi perutusan Gereja dan demi panggilan Tuhan. Unsur penting dalam selibat atau hidup membiara adalah pilihan bebas. Orang memilih bentuk hidup tidak kawin bukan karena dipaksa atau diharuskan, melainkan karena secara bebas merdeka memilih jalan itu.[5] Jadi, kalau bebas memilih, maka harus bebas juga untuk menjalankannya dengan penuh kesetiaan dan tanggung jawab. Panggilan hidup selibat menjadi tetap lestari hanya dalam ketekunan pribadi yang mendalam. Kaum selibat sudah memilih untuk hidup lawan arus dengan dunia pada umumnya. Oleh karena itu, tugas berat yang harus dipegang teguh ialah tekun menjalankan panggilan khusus itu. Di sana selalu ada harapan akan kegembiraan dan keselamatan yang dirindukan. Kaum selibat dipanggil untuk, karena cinta kepada Kristus dan kepada sesama, menghidupi sebuah situasi yang mesti dialami banyak orang tanpa memilihnya sendiri: kemiskinan, kesendirian, ketidakbebasan. Dan oleh menghidupinya secara bebas dalam terang dan semangat Kristus, kaum selibat sekaligus juga mengatakan, bahwa hidup dalam situasi ini bukanlah kehidupan tanpa harapan.[6] Sambil menggenggam harapan, imam dan biarawan-biarawati dapat hidup dalam atmosfer kasih yang membebaskan. 

Orang yang memilih bentuk hidup selibat berarti memilih untuk tidak melakukan persetubuhan selama hidupnya. Ia sadar akan hasrat seksualnya yang merupakan tanda bahwa tubuhnya adalah petunjuk jelas kenyataan dirinya sebagai gambar dan rupa Allah. Pada saat yang sama ia juga sadar bahwa kerinduan yang paling dalam yang dipancarkan dalam bentuk hasrat seksual itu tidak lain adalah kerinduan akan persatuan abadi dengan Tuhan sendiri di Surga.[7] Hidup selibat bukan hanya perkara taat akan kaul kemurnian dan tidak kawin. Lebih dari itu, hidup selibat adalah sebentuk ungkapan kerinduan yang paling dalam untuk bersatu dengan Tuhan sendiri. Dalam kerinduan untuk bersatu dengan Tuhan, kaum selibat juga disemangati oleh cinta dan pada gilirannya bebas mencintai semua orang tanpa pandang bulu. Kita boleh saja mengartikan dan menghidupi selibat sebagai ungkapan ya kita kepada cinta, bahwa dengan mengikrarkan kaul selibat kita mengakui bahwa Allah mencintai kita seutuhnya, dan karena itu kita dibebaskan dari sebuah kebutuhan terus-menerus untuk memenuhi dan merayu cinta, dan dengan demikian dibebaskan untuk mencintai semua orang.[8]

Sandra Schneiders sebagaimana dikutip Paul Suparno, menjelaskan bahwa dalam selibat ada tiga hal yang perlu dikembangkan secara seimbang, yaitu satu, kesatuan dengan Tuhan yang memanggil, dua, komunitas tempat kita hidup dan terikat, dan tiga, pelayanan atau perutusan kita untuk orang lain.[9] Kaum selibat memiliki relasi yang baik dengan Tuhan. Hal itu harus menjadi dasar untuk bersatu dengan Tuhan yang memanggil. Relasi yang intim dengan Tuhan dapat dibangun dengan tekun berdoa dan mengikuti Perayaan Ekaristi. Kesatuan dengan Tuhan akan membuat mereka lebih semangat menekuni panggilan khusus tersebut, serentak membawa berkat bagi banyak orang. Di samping itu, seorang selibater juga harus bisa bersatu dengan anggota komunitas di mana ia hidup. Mereka adalah kaum religius yang bersama-sama menekuni panggilan khusus demi Kerajaan Allah. Kaum religius adalah pribadi-pribadi simbolis dalam solidaritas mereka dengan sama saudara dari biara yang sama. Di sana ada partisipasi dalam karisma yang sama juga sehati dalam mengikuti semangat dan ideal pendiri dan contoh-contoh lain dari bentuk hidup yang sukses dalam tradisi mereka.[10] Kesatuan dengan Tuhan dan komunitas harus juga seimbang dengan perutusan dan pelayanan di tengah umat. Semangat persatuan dengan Tuhan dan komunitas biara harus menjadi basis dan semangat untuk menjalankan perutusan di tengah umat. Ketekunan berdoa dan kontemplasi di biara harus diimbangi dengan keterbukaan menyapa realitas dan melakukan sesuatu yang berguna untuk sebuah transformasi.   

Dengan memperhatikan tiga hal penting di atas, maka seorang selibater dapat berkembang baik dan menjalankan tugas-tugas pewartaan dengan baik. Kesatuan dengan Tuhan dan anggota komunitas dapat menjadi inspirasi untuk  berbaur dengan umat dan berjuang bersama mereka. Seorang selibater akan dapat dengan efekif keluar dari dirinya, membantu masyarakat, mengembangkan kehidupan bersama dan Gereja. Jadi, melalui selibat, mereka dapat membawa gereja dan dunia ke arah yang lebih baik. Dengan demikian, hemat saya, berkah dari selibat adalah kaum selibat berani memilih secara bebas, dekat dengan Tuhan yang memanggil, bersatu dengan para sama saudara dan saudari dalam biara dan sanggup keluar dari diri sendiri untuk melayani yang lain. Selain itu, berkah selibat muncul dalam kesanggupan mereka membantu dan menghantar umat menuju kepada kekudusan dan hidup yang lebih bermartabat.

 

III.    Tantangan Hidup Selibat dalam Hubungan dengan Kehidupan Seksual

Memilih hidup selibat itu tidak mudah seperti yang dipikirkan banyak orang. Sebagaimana hidup berkeluarga, selibat juga diwarnai banyak tantangan berarti. Pada bagian ini, penulis hendak menunjukkan tantangan hidup kaum selibat dalam hubungan dengan kehidupan seksual.  Seperti yang kita ketahui, imam juga adalah manusia biasa yang memiliki dorongan seksual dan itu merupakan ciri kodrati yang harus diterima. Namun, jika tanpa ada mekanisme pengontrolan diri yang baik, dorongan seksual dalam hidup selibat dapat menjadi problem krusial. Jika tidak ditanggapi dengan baik, dan semakin banyak kasus pelecehan seksual atau kaum berjubah melakukan hubungan seks, itu akan melanggar kaul kemurnian yang sudah diikrarkan. Dengan itu pula mereka telah melakukan skandal besar dan tentu mencoreng nama baik mereka sendiri, biara dan Gereja universal.  

Di dalam praktik hidup selibat kaum biara, kita akan menemukan dua penghayatan ekstrem dalam hal seksualitas. Pertama, ada yang sangat takut dengan hal-hal berbau seks, alergi dengan seksualitas, mereka harus selalu berpikir dan bertindak suci, bahkan bisa memukul dirinya sendiri apabila muncul dorongan seksual dari dalam dirinya. Inilah yang disebut dengan aseksual. Ekstrem yang kedua adalah ada biarawan-biarawati yang terlalu berani dalam ungkapan seksualitasnya termasuk pelampiasan dorongan seksnya. Mereka ini disebut hyperseks. Jelas kedua sikap ini tidak baik. Yang takut berarti menolak pemberian Tuhan yang berupa tubuh kita ini yang berseksual, sedangkan terlalu berani berarti lupa bahwa mereka adalah seorang selibater yang berkaul untuk tidak menggunakan ungkapan seksual langsung, seperti senggama.[11] Tidak dapat ditolak bahwa hingga sekarang, banyak kaum selibat, baik uskup, imam maupun suster yang tidak taat dengan janji kaul kemurnian mereka. Perkembangan Gereja hingga di abad 21 ini senantiasa diwarnai oleh fakta-fakta jatuhnya para kaum berjubah karena pelecehan seksual atau melakukan hubungan seks.

Gereja Katolik sedang terguncang oleh karena banyaknya kasus-kasus pelecehan seksual yang dilakukan oleh para imam. Pelecehan seksual itu dilakukan kardinal, uskup, imam dan para pembantunya terjadi di benua Amerika, Asia, Australia dan Eropa. Ini menjadi fenomena global yang terus terjadi seiring berkembangnya zaman. Beberapa waktu lalu, kita mendengar telah dibukanya begitu banyak kasus pelecehan seksual yang dilakukan oleh para imam di Amerika Serikat. Kasus-kasus itu ternyata sudah lama terjadi, tetapi karena ada intrik dan penipuan dari otoritas Gereja setempat, maka berhasil ditutupi, bahkan dengan membayar para korban pelecehan untuk ‘menutup’ mulut mereka. Kejadian-kejadian tragis ini pasti juga terjadi di belahan dunia lain yang secara terang-terangan mencoreng eksistensi Gereja sebagai persekutuan yang kudus. Selain terdapat banyak pelecehan seksual, kasus-kasus yang dilakukan oleh kaum berjubah terjadi dalam bentuk hubungan  seksual langsung layaknya suami istri. Berkaitan dengan ini, saya langsung mengambil contoh di keuskupan-keuskupan di Flores, NTT. Sebagai basis Gereja Katolik di NTT, pulau Flores memiliki banyak keuskupan yang tersebar dari Timur sampai ke Barat. Ada banyak imam yang berani memilih untuk melayani umat Katolik Flores atau bertugas di tempat lain. Namun, terdapat begitu banyak kasus di mana para imam dengan tahu dan mau melakukan hubungan seksual dengan perempuan. Cerita yang masih hangat terjadi di Maumere, seorang pastor bernama Herman Jumat berani menghamili seorang suster dan pada akhirnya membunuh suster tersebut agar tidak diketahui orang lain. Jelaslah bahwa sebagai seorang imam, beliau sudah menodai janji hidup selibat dan mencoreng nama baik Gereja. Dan tentu ada banyak cerita-cerita lain di banyak keuskupan di Flores, di mana para imam berani melakukan hubungan seksual dengan seorang perempuan.

Berikut, saya pindah ke paroki saya sendiri, paroki St. Petrus dan Paulus Denge, keuskupan Ruteng. Dua tahun lalu, imam yang sempat bertugas di paroki Denge, bernama Rm. Marsel Amat menghamili seorang perempuan di kampung asalnya sendiri. Setelah kasusnya terungkap, beliau langsung beranjak dari paroki Denge dan kembali ke kampung asalnya sendiri. Hal yang sama terjadi di paroki tetangga, paroki Bunda Segala Bangsa Narang. Kira-kira 5 tahun silam seorang imam bernama Tarsi Sung berani memilih keluar dari imam dan membangun hidup rumah tangga dengan seorang bidan. Kasus-kasus pelecehan seksual dan hubungan seksual yang dilakukan oleh para imam Katolik menunjukkan bahwa pengontrolan diri yang lemah akan membuat imam gampang jatuh. Dorongan seksual yang ada telah diterima sebagai pintu masuk untuk melakukan tindakan yang bertentangan dengan kaul kemurnian atau hidup selibat. Yang jelas skandal para kaum berjubah ini merusak perutusan Gerej itu sendiri. Kasus semacam ini pasti akan terus terjadi dalam perjuangan Gereja di masa-masa mendatang. Gereja senantiasa berada dalam guncangan hebat. Namun, catatan penting yang perlu diingat ialah skandal seksual yang dibuat oleh seorang atau beberapa imam tidak boleh menjadi alasan untuk menolak selibat sebab masih banyak imam yang mencintai hidup selibat dan tetap setia sampai mati. Tidak semua imam berani melakukan hubungan seksual dengan seorang perempuan. Masih banyak juga imam yang setia sampai akhir hayat.   

Menghadapi berbagai kasus pelecehan seksual dan hubungan seksual layaknya suami istri di kalangan para imam Katolik, Gereja mesti memberi tanggapan serius dan membimbing secara khusus kaum berjubah yang tersangkut skandal seksual. Mereka juga bisa diberi hukuman yang sesuai dengan aturan yang berlaku di dalam Gereja Katolik. Berkenaan dengan itu, sebagai orang yang dipanggil secara khusus untuk mengikuti Yesus secara penuh, kaum berjubah mesti dapat belajar dan menimba kekuatan dari cara hidup Yesus untuk menyeimbangkan antara seksualitas dan spiritualitas. Yesus harus menjadi pusat dan inspirasi hidup selibat. Kesatuan dengan Tuhan itu sangat penting yang diimbangi pula dengan kesatuan dengan anggota komunitas dan semangat dalam karya perutusan. Selain itu, perlu adanya kesadaran dan keterbukaan umat. Umat perlu terlibat dalam menjaga dan membantu para imam, biarawan/i dalam penghayatan hidup selibat. Umat bisa mendoakan para imam dan suster agar mereka tetap dalam jalan khusus yang telah mereka pilih. Yang paling penting juga adalah tidak boleh lagi menggoda mereka yang hidup selibat. Umat juga perlu mengkritisi hidup para imam, atau menegur mereka bila melakukan hal-hal yang tidak sesuai dengan identitas mereka sebagai imam Tuhan. Dari semuanya itu, problem utama sebenarnya adalah mentalitas hidup dari para imam itu sendiri. Maka bisa diperhatikan secara serius supaya sejak Seminari menengah harus bisa menyiapkan para calon imam secara baik. Kehidupan afeksi  para calon imam juga harus diperhatikan dengan sungguh-sungguh, sehingga pada akhirnya bisa menjadi lebih matang ketika menjadi imam.   

 

IV.     Penutup  

Hidup selibat merupakan pilihan yang dikhususkan bagi pelayanan dari Allah dan demi Kerajaan Allah. Hidup selibat dipilih secara bebas oleh setiap pribadi yang dipanggil secara khusus oleh Allah sendiri. Oleh karena itu, hidup selibat selalu ada hubungannya dengan peran rahmat dari Allah sendiri. Selalu ada keyakinan bahwa rahmat Allah senantiasa bekerja dalam diri orang-orang yang panggilNya. Tiga hal penting yang mesti diperhatikan dalam hidup selibat ialah kesatuan dengan Tuhan, komunitas dan semangat dalam karya perutusan. Di samping berkah yang melimpah, hidup selibat juga diliputi banyak tantangan serius. Salah satu tantangan paling berat ialah dalam hubungan dengan kehidupan seksual. Oleh karena lemahnya perisai dan pengontrolan diri banyak kaum berjubah yang jatuh dengan melakukan pelecehan seksual dan hubungan seks layaknya suami istri. Tindakan semacam itu jelas melanggar kaul kemurnian, mencoreng nama baik sendiri (keluarga), serikat dan merusak perutusan Gereja. Menghadapi kasus-kasus serius ini, Gereja harus mengambil tindakan konkret dan berdaya guna bagi perubahan yang lebih baik. Dalam perjalanan selanjutnya, umat mesti juga mengambil peran untuk membantu para kaum berjubah, mengkritik dan menegur mereka bila melakukan hal-hal yang bertentangan dengan identitas mereka sebagai selibater. Pendidikan seminari menengah juga harus diperhatikan secara serius agar imam-imam yang dihasilkan itu betul-betul matang secara akademik, sosial dan afeksi (emosional).   


Catatan Akhir 

[1] Paskalis Lina, Karol Wojtyla Tentang Cinta dan Tanggung Jawab: Sebuah Analisa tentang Dorongan Seksual, Cinta dan Perkawinan (Maumere: Penerbit Ledalero, 2018), hlm. 80.

[2] Paskalis Lina, Moral Pribadi: Pribadi Manusia dan Seksualitasnya (Maumere: Penerbit Ledalero, 2017), hlm. 144.

[3] Ibid., hlm. 14.

[4] Jean Jewadut, “Martin Luther dan Tolak Seksualitas”, Buletin Musafir, edisi 2017/2018, hlm. 72.

[5] Paul Suparno, Seksualitas Kaum Berjubah (Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 2007), hlm. 76.

[6] Paulus Budi Kleden, Aku yang Solider, Aku dalam Hidup Berkaul (Maumere: Penerbit Ledalero, 2002), hlm. 77.

[7] Deshi Ramadhani, Lihatlah Tubuhku (Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 2009), hlm. 136.

[8] Paulus Budi Kleden, op.cit., hlm. 84.

[9] Paul Suparno, op.cit., hlm. 77.

[10] Paul J. Philibert, “Imamat dalam Konteks Hidup Membiara”, dalam Donald J. Goergen (ed.), Imam Masa Kini (Maumere: Penerbit Ledalero, 2003), hlm. 82.

[11] Paul Suparno, op.cit., hlm. 12. 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Misa Syukur Hut Ke-51 KORPRI Tingkat Kecamatan Nita-Kabupaten Sikka-Provinsi Nusa Tenggara Timur

  Pater Stef Dampur, SVD. Oleh: Pater Ephang Yogalupi *) Hari ini, Senin, 28 November 2022. Hujan tak terbendung lagi. Ada rasa cemas singgah di hati: "Akankah hujan terus hingga malam? Bagaimana dengan misa syukur hari ulang tahun (HUT) ke-51 Korps Pegawai Republik Indonesia (KORPRI) tingkat Kecamatan Nita yang sudah sejak minggu lalu disepakati? Saya pasrah kepada Tuhan sembari meneguhkan hati camat Nita, Bapak Avelinus Yuvensius dan staf yang juga was-was. ** Dalam agenda yang disepakati, misa dimulai pukul 16.15 WITA tapi cuaca tidak mendukung. Kami sengaja menunda misa hingga hujan reda. Puji tuhan, pada pukul 16. 45 WITA hujan berhenti meskipun langit tetap tidak secerah hari sebelumnya. Ketika cuaca membaik maka bertempat di kapela susteran   fransiskan nita-maumere, kami mulai merayakan misa syukur (pkl. 16.50 wita). Sang komentator pun mulai membacakan komentar pembuka. Koor sudah siap. Lalu lagu pembukaan pun dilantunkan. Terdengar suara koor yang merdu. Di sana

NARASI KECIL JUMAT PERTAMA DESEMBER 2021

  Pater Stef Dampur, SVD. (Kegiatan Rohani Bersama Organisasi Gerejawi Sta. Anna, Paroki St. Yosef Wairpelit-KUM) Oleh: Ephang Yogalupi * I. Prolog: Sudah menjadi "tradisi" di Paroki Wairpelit Maumere bahwa misa Jumat Pertama yang didedikasikan kepada Hati Amat Kudus Tuhan Yesus senantiasa dirayakan di Gereja Pusat Paroki. Mayoritas umat yang hadir dan terlibat adalah "Mama-mama Santa Anna". II. Bersama Santa Anna Wairpelit di Napung Kabor Pernahkah Anda pergi ke Napung Kabor Maumere? Kalau Anda belum pergi, saya akan mengantar Anda ke sana lewat deskrpisi sederhana ini. Titik star kita adalah Gereja Paroki Santo Yosef Wairpelit. Kita menuju arah timur. Kita menyusuri Ribang, Woloara, Hoba dan Nangalimang. Setiba di Nangalimang, kita mesti jeli. Di tikungan halus itu biasa terjadi kecelakaan maut yang merenggut nyawa anak manusia. Anda mesti me-rem laju kendaraan Anda, entah mobil maupun sepeda motor. Saat menuju Napung Kabor, Anda mengambil rute bel