I. Pendahuluan
Dalam perjalanan sejarah hingga saat
ini, di dalam Gereja Katolik terdapat satu panggilan hidup yang unik dan
berharga yakni pilihan hidup selibat. Panggilan itu bersifat pribadi. Berkenaan
dengan itu, Karol Wojtyla menyatakan ‘bahwa ada suatu jalan khusus bagi
perkembangan setiap pribadi kalau diikuti, suatu jalan khusus baginya untuk
memberikan seluruh hidupnya bagi pelayanan atau pengabdian terhadap sejumlah nilai
tertentu.[1]
Pemberian diri merupakan substansi setiap pilihan hidup, entah menikah atau
selibat. Secara sederhana, hidup selibat berarti berani memilih untuk tidak
menikah dengan tujuan untuk memfokuskan pelayanan dan pemberian diri secara
total kepada Tuhan. Pilihan hidup selibat bukan berarti meninggalkan
seksualitas atau alergi bila berbicara mengenai seksualitas. Dalam hubungan
dengan hidup selibat, seksualitas manusia tetap merupakan anugerah Tuhan yang
amat luhur dan berharga. Etika Kristiani pertama-tama berusaha secara tegas
menyatakan bahwa misteri yang luar biasa dari seksualitas hanya bisa dialami
secara sungguh manusiawi dalam suatu bentuk hidup yang konkret, yakni:
perkawinan, sakramen cinta kasih atau dalam selibat demi Kerajaan Allah.[2]
Artinya, seksualitas itu adalah luhur dan menyata dalam hidup perkawinan dan
selibat itu sendiri. Seksualitas juga amat penting untuk dikatikan dengan hidup
selibat dan sudah seharusnya para kaum selibat memahami secara komprehensif
tentang seksualitas.
Melalui hidup selibat, para imam,
biarawan-biarawati ingin keluar dari diri dan pergi jauh kepada perjuangan
hidup yang lebih luas demi kebaikan sesama dan kemuliaan nama Tuhan. Keputusan
hidup selibat itu diikat dalam kaul kemurnian, yang diperkuat dengan kaul
kemiskinan dan ketaatan. Karena sudah berani memilih untuk hidup selibat, maka
para imam dan biarawan-biarawati harus taat dengan kaul-kaul yang diikrarkan.
Kaul menjadi dasar, motivasi dan kekuatan bagi mereka untuk selalu bersatu
dengan Allah dan menjalankan tugas-tugas sebagai pelayan Tuhan di medan misi.
Pilihan hidup selibat adalah rahmat
dari Tuhan sendiri. Dialah yang berinisiatif memanggil orang-orang pilihan-Nya
untuk menjadi pelayan di kebun anggur-Nya. Tuhan memberikan tanggung jawab dan
kesanggupan bagi mereka guna menjalankan misi-Nya di tengah dunia. Atas dasar
itu, kaum terpanggil/selibat pun dengan penuh yakin menekuni panggilan hidup
selibat dan memaknainya sebagai jalan hidup khusus untuk melayani Allah dan
sesama. Hanya dalam Allah sajalah para kaum selibat dapat mengemban misi dan
menghadirkan Kerajaan Allah di tengah dunia. Dan hanya dalam Allah pula mereka
dapat memberi diri seutuhnya bagi kebaikan dan keselamatan sesama. Oleh karena
itu bagi saya, selain merupakan rahmat khusus dari Allah sendiri, hidup selibat
juga merupakan berkah bagi orang lain atau umat. Artinya, dengan pilihan hidup
yang demikian, para imam dan biarawan-biarawati fokus untuk melayani sesama,
keluar dari zona nyaman dan membaharui hidup bersama. Dengan itu, orang lain
atau masyarakat secara umum pun dapat memperoleh berkat, transformasi iman,
religius, sosial atau peran yang kelihatan dari para kaum selibat tersebut. Berkaitan
dengan itu, kesetiaan dan ketaatan mereka kepada Allah dapat dilihat dengan
bagaimanan mereka dengan penuh cinta dan keterbukaan melayani sesama yang
membutuhkan pelayanan.
Sebagai manusia biasa, kaum selibat
tetap memiliki dorongan seksual dan hal itu merupakan ciri kodrati yang tidak
dapat ditolak. Kaum selibat adalah juga makhluk seksual yang berkembang dari
waktu ke waktu sebagai individu yang unik dan berharga. Wajar bila seorang imam
menyukai seorang gadis, atau seorang suster menyukai seorang pemuda. Dorongan
seksual yang dimiliki oleh para imam dan biarawan-biarawati itu menegaskan
secara amat gamblang akan eksistensi mereka sebagai manusia. Wojtyla menekankan
bahwa eksistensi merupakan kebaikan utama dan mendasar dari setiap ciptaan, dan
bahwa dorongan seksual dalam diri manusia memiliki suatu makna eksistensial,
karena ia melekat erat dengan keseluruhan eksistensi dari spesies Homo ini.[3]
Agar dorongan seksual itu tetap bermakna eksistensial, dalam arti tidak memunculkan
problem serius bagi diri kaum selibat itu sendiri, maka dibutuhkan kemampuan
untuk mengontrol diri dengan tepat dan benar. Namun, fakta menunjukkan bahwa
banyak juga imam dan biarawan-biarawati yang tidak mampu lagi mengontrol
dorongan seksual yang ada di dalam dirinya. Dorongan seksual pun berubah
menjadi serigala bagi kaum selibat itu sendiri. Dorongan seksual bukan lagi
bermakna eksistensial bagi mereka, melainkan justru menjadi masalah atau
bumerang bagi perjuangan mereka sebagai kaum selibat. Berkaitan dengan ini, di
banyak tempat dalam seluruh perjalanan sejarah Gereja Katolik ada banyak imam
dan biarawan-biarawati yang melakukan pelecehan seksual atau melakukan hubungan
seksual selayaknya sebagai suami-istri. Kalau demikian adanya, tentu mereka
sudah menabrak atau mengkhianati janji kaul yang telah diikrarkan. Dalam
tulisan ini, penulis juga akan menyertakan contoh kasus pelecehan seksual dan
kasus hubungan seksual yang dilakukan oleh imam dan biarawan-biarawati di
Keuskupan Ruteng dan keuskupan-keuskupan lain di Flores.
II. Peran
Rahmat Tuhan dan Berkah Hidup Selibat
Sudah
menjadi rahasia umum bahwa menjadi imam dan biarawan-biarawati tidak dapat
dipisahkan dari peran rahmat Tuhan. Setiap orang yang berada dalam pilihan
hidup yang khusus ini memperoleh rahmat panggilan dari Allah sendiri. Orang
yang secara bebas memilih hidup selibat mendapat bimbingan dari Tuhan sendiri. Selibat
adalah sebuah karisma, suatu pemberian cuma-cuma dari Allah kepada seseorang
yang bersedia menerima pemberian tersebut.[4]
Allah mengetuk pintu hati setiap orang untuk mengikuti-Nya, membimbing dan
menyanggupkannya untuk bertahan dalam situasi sulit dan menjadi pelayan yang
setia di tengah masyarakat. Dengan rahmat Tuhan itu pun dia bisa menjalankan
hidup selibat dengan bebas dan tanpa paksaan. Ia memilih dengan sukarela, penuh
kesadaran dan kebebasan. Selibat atau hidup tidak menikah, dipilih secara bebas
demi perutusan Gereja dan demi panggilan Tuhan. Unsur penting dalam selibat
atau hidup membiara adalah pilihan bebas. Orang memilih bentuk hidup tidak
kawin bukan karena dipaksa atau diharuskan, melainkan karena secara bebas
merdeka memilih jalan itu.[5]
Jadi, kalau bebas memilih, maka harus bebas juga untuk menjalankannya dengan
penuh kesetiaan dan tanggung jawab. Panggilan hidup selibat menjadi tetap
lestari hanya dalam ketekunan pribadi yang mendalam. Kaum selibat sudah memilih
untuk hidup lawan arus dengan dunia pada umumnya. Oleh karena itu, tugas berat
yang harus dipegang teguh ialah tekun menjalankan panggilan khusus itu. Di sana
selalu ada harapan akan kegembiraan dan keselamatan yang dirindukan. Kaum
selibat dipanggil untuk, karena cinta kepada Kristus dan kepada sesama,
menghidupi sebuah situasi yang mesti dialami banyak orang tanpa memilihnya
sendiri: kemiskinan, kesendirian, ketidakbebasan. Dan oleh menghidupinya secara
bebas dalam terang dan semangat Kristus, kaum selibat sekaligus juga
mengatakan, bahwa hidup dalam situasi ini bukanlah kehidupan tanpa harapan.[6]
Sambil menggenggam harapan, imam dan biarawan-biarawati dapat hidup dalam
atmosfer kasih yang membebaskan.
Orang
yang memilih bentuk hidup selibat berarti memilih untuk tidak melakukan
persetubuhan selama hidupnya. Ia sadar akan hasrat seksualnya yang merupakan
tanda bahwa tubuhnya adalah petunjuk jelas kenyataan dirinya sebagai gambar dan
rupa Allah. Pada saat yang sama ia juga sadar bahwa kerinduan yang paling dalam
yang dipancarkan dalam bentuk hasrat seksual itu tidak lain adalah kerinduan
akan persatuan abadi dengan Tuhan sendiri di Surga.[7]
Hidup selibat bukan hanya perkara taat akan kaul kemurnian dan tidak kawin.
Lebih dari itu, hidup selibat adalah sebentuk ungkapan kerinduan yang paling
dalam untuk bersatu dengan Tuhan sendiri. Dalam kerinduan untuk bersatu dengan
Tuhan, kaum selibat juga disemangati oleh cinta dan pada gilirannya bebas
mencintai semua orang tanpa pandang bulu. Kita boleh saja mengartikan dan
menghidupi selibat sebagai ungkapan ya kita kepada cinta, bahwa dengan
mengikrarkan kaul selibat kita mengakui bahwa Allah mencintai kita seutuhnya,
dan karena itu kita dibebaskan dari sebuah kebutuhan terus-menerus untuk
memenuhi dan merayu cinta, dan dengan demikian dibebaskan untuk mencintai semua
orang.[8]
Sandra
Schneiders sebagaimana dikutip Paul Suparno, menjelaskan bahwa dalam selibat
ada tiga hal yang perlu dikembangkan secara seimbang, yaitu satu, kesatuan dengan Tuhan yang
memanggil, dua, komunitas tempat kita
hidup dan terikat, dan tiga,
pelayanan atau perutusan kita untuk orang lain.[9]
Kaum selibat memiliki relasi yang baik dengan Tuhan. Hal itu harus menjadi
dasar untuk bersatu dengan Tuhan yang memanggil. Relasi yang intim dengan Tuhan
dapat dibangun dengan tekun berdoa dan mengikuti Perayaan Ekaristi. Kesatuan
dengan Tuhan akan membuat mereka lebih semangat menekuni panggilan khusus
tersebut, serentak membawa berkat bagi banyak orang. Di samping itu, seorang
selibater juga harus bisa bersatu dengan anggota komunitas di mana ia hidup.
Mereka adalah kaum religius yang bersama-sama menekuni panggilan khusus demi
Kerajaan Allah. Kaum religius adalah pribadi-pribadi simbolis dalam solidaritas
mereka dengan sama saudara dari biara yang sama. Di sana ada partisipasi dalam
karisma yang sama juga sehati dalam mengikuti semangat dan ideal pendiri dan
contoh-contoh lain dari bentuk hidup yang sukses dalam tradisi mereka.[10]
Kesatuan dengan Tuhan dan komunitas harus juga seimbang dengan perutusan dan
pelayanan di tengah umat. Semangat persatuan dengan Tuhan dan komunitas biara
harus menjadi basis dan semangat untuk menjalankan perutusan di tengah umat. Ketekunan
berdoa dan kontemplasi di biara harus diimbangi dengan keterbukaan menyapa
realitas dan melakukan sesuatu yang berguna untuk sebuah transformasi.
Dengan memperhatikan tiga hal penting di atas, maka seorang selibater dapat berkembang baik dan menjalankan tugas-tugas pewartaan dengan baik. Kesatuan dengan Tuhan dan anggota komunitas dapat menjadi inspirasi untuk berbaur dengan umat dan berjuang bersama mereka. Seorang selibater akan dapat dengan efekif keluar dari dirinya, membantu masyarakat, mengembangkan kehidupan bersama dan Gereja. Jadi, melalui selibat, mereka dapat membawa gereja dan dunia ke arah yang lebih baik. Dengan demikian, hemat saya, berkah dari selibat adalah kaum selibat berani memilih secara bebas, dekat dengan Tuhan yang memanggil, bersatu dengan para sama saudara dan saudari dalam biara dan sanggup keluar dari diri sendiri untuk melayani yang lain. Selain itu, berkah selibat muncul dalam kesanggupan mereka membantu dan menghantar umat menuju kepada kekudusan dan hidup yang lebih bermartabat.
III. Tantangan
Hidup Selibat dalam Hubungan dengan Kehidupan Seksual
Memilih
hidup selibat itu tidak mudah seperti yang dipikirkan banyak orang. Sebagaimana
hidup berkeluarga, selibat juga diwarnai banyak tantangan berarti. Pada bagian
ini, penulis hendak menunjukkan tantangan hidup kaum selibat dalam hubungan
dengan kehidupan seksual. Seperti yang
kita ketahui, imam juga adalah manusia biasa yang memiliki dorongan seksual dan
itu merupakan ciri kodrati yang harus diterima. Namun, jika tanpa ada mekanisme
pengontrolan diri yang baik, dorongan seksual dalam hidup selibat dapat menjadi
problem krusial. Jika tidak ditanggapi dengan baik, dan semakin banyak kasus
pelecehan seksual atau kaum berjubah melakukan hubungan seks, itu akan melanggar
kaul kemurnian yang sudah diikrarkan. Dengan itu pula mereka telah melakukan
skandal besar dan tentu mencoreng nama baik mereka sendiri, biara dan Gereja
universal.
Di
dalam praktik hidup selibat kaum biara, kita akan menemukan dua penghayatan
ekstrem dalam hal seksualitas. Pertama, ada yang sangat takut dengan hal-hal
berbau seks, alergi dengan seksualitas, mereka harus selalu berpikir dan
bertindak suci, bahkan bisa memukul dirinya sendiri apabila muncul dorongan seksual
dari dalam dirinya. Inilah yang disebut dengan aseksual. Ekstrem yang kedua
adalah ada biarawan-biarawati yang terlalu berani dalam ungkapan seksualitasnya
termasuk pelampiasan dorongan seksnya. Mereka ini disebut hyperseks. Jelas
kedua sikap ini tidak baik. Yang takut berarti menolak pemberian Tuhan yang
berupa tubuh kita ini yang berseksual, sedangkan terlalu berani berarti lupa
bahwa mereka adalah seorang selibater yang berkaul untuk tidak menggunakan
ungkapan seksual langsung, seperti senggama.[11]
Tidak dapat ditolak bahwa hingga sekarang, banyak kaum selibat, baik uskup,
imam maupun suster yang tidak taat dengan janji kaul kemurnian mereka.
Perkembangan Gereja hingga di abad 21 ini senantiasa diwarnai oleh fakta-fakta
jatuhnya para kaum berjubah karena pelecehan seksual atau melakukan hubungan
seks.
Gereja
Katolik sedang terguncang oleh karena banyaknya kasus-kasus pelecehan seksual
yang dilakukan oleh para imam. Pelecehan seksual itu dilakukan kardinal, uskup,
imam dan para pembantunya terjadi di benua Amerika, Asia, Australia dan Eropa.
Ini menjadi fenomena global yang terus terjadi seiring berkembangnya zaman. Beberapa
waktu lalu, kita mendengar telah dibukanya begitu banyak kasus pelecehan
seksual yang dilakukan oleh para imam di Amerika Serikat. Kasus-kasus itu
ternyata sudah lama terjadi, tetapi karena ada intrik dan penipuan dari
otoritas Gereja setempat, maka berhasil ditutupi, bahkan dengan membayar para
korban pelecehan untuk ‘menutup’ mulut mereka. Kejadian-kejadian tragis ini
pasti juga terjadi di belahan dunia lain yang secara terang-terangan mencoreng
eksistensi Gereja sebagai persekutuan yang kudus. Selain terdapat banyak
pelecehan seksual, kasus-kasus yang dilakukan oleh kaum berjubah terjadi dalam
bentuk hubungan seksual langsung layaknya
suami istri. Berkaitan dengan ini, saya langsung mengambil contoh di
keuskupan-keuskupan di Flores, NTT. Sebagai basis Gereja Katolik di NTT, pulau
Flores memiliki banyak keuskupan yang tersebar dari Timur sampai ke Barat. Ada
banyak imam yang berani memilih untuk melayani umat Katolik Flores atau
bertugas di tempat lain. Namun, terdapat begitu banyak kasus di mana para imam
dengan tahu dan mau melakukan hubungan seksual dengan perempuan. Cerita yang
masih hangat terjadi di Maumere, seorang pastor bernama Herman Jumat berani
menghamili seorang suster dan pada akhirnya membunuh suster tersebut agar tidak
diketahui orang lain. Jelaslah bahwa sebagai seorang imam, beliau sudah menodai
janji hidup selibat dan mencoreng nama baik Gereja. Dan tentu ada banyak
cerita-cerita lain di banyak keuskupan di Flores, di mana para imam berani
melakukan hubungan seksual dengan seorang perempuan.
Berikut,
saya pindah ke paroki saya sendiri, paroki St. Petrus dan Paulus Denge,
keuskupan Ruteng. Dua tahun lalu, imam yang sempat bertugas di paroki Denge,
bernama Rm. Marsel Amat menghamili seorang perempuan di kampung asalnya
sendiri. Setelah kasusnya terungkap, beliau langsung beranjak dari paroki Denge
dan kembali ke kampung asalnya sendiri. Hal yang sama terjadi di paroki
tetangga, paroki Bunda Segala Bangsa Narang. Kira-kira 5 tahun silam seorang
imam bernama Tarsi Sung berani memilih keluar dari imam dan membangun hidup
rumah tangga dengan seorang bidan. Kasus-kasus pelecehan seksual dan hubungan
seksual yang dilakukan oleh para imam Katolik menunjukkan bahwa pengontrolan
diri yang lemah akan membuat imam gampang jatuh. Dorongan seksual yang ada
telah diterima sebagai pintu masuk untuk melakukan tindakan yang bertentangan
dengan kaul kemurnian atau hidup selibat. Yang jelas skandal para kaum berjubah
ini merusak perutusan Gerej itu sendiri. Kasus semacam ini pasti akan terus
terjadi dalam perjuangan Gereja di masa-masa mendatang. Gereja senantiasa
berada dalam guncangan hebat. Namun, catatan penting yang perlu diingat ialah skandal
seksual yang dibuat oleh seorang atau beberapa imam tidak boleh menjadi alasan
untuk menolak selibat sebab masih banyak imam yang mencintai hidup selibat dan
tetap setia sampai mati. Tidak semua imam berani melakukan hubungan seksual
dengan seorang perempuan. Masih banyak juga imam yang setia sampai akhir hayat.
Menghadapi
berbagai kasus pelecehan seksual dan hubungan seksual layaknya suami istri di
kalangan para imam Katolik, Gereja mesti memberi tanggapan serius dan
membimbing secara khusus kaum berjubah yang tersangkut skandal seksual. Mereka
juga bisa diberi hukuman yang sesuai dengan aturan yang berlaku di dalam Gereja
Katolik. Berkenaan dengan itu, sebagai orang yang dipanggil secara khusus untuk
mengikuti Yesus secara penuh, kaum berjubah mesti dapat belajar dan menimba
kekuatan dari cara hidup Yesus untuk menyeimbangkan antara seksualitas dan
spiritualitas. Yesus harus menjadi pusat dan inspirasi hidup selibat. Kesatuan
dengan Tuhan itu sangat penting yang diimbangi pula dengan kesatuan dengan
anggota komunitas dan semangat dalam karya perutusan. Selain itu, perlu adanya
kesadaran dan keterbukaan umat. Umat perlu terlibat dalam menjaga dan membantu
para imam, biarawan/i dalam penghayatan hidup selibat. Umat bisa mendoakan para
imam dan suster agar mereka tetap dalam jalan khusus yang telah mereka pilih.
Yang paling penting juga adalah tidak boleh lagi menggoda mereka yang hidup
selibat. Umat juga perlu mengkritisi hidup para imam, atau menegur mereka bila
melakukan hal-hal yang tidak sesuai dengan identitas mereka sebagai imam Tuhan.
Dari semuanya itu, problem utama sebenarnya adalah mentalitas hidup dari para
imam itu sendiri. Maka bisa diperhatikan secara serius supaya sejak Seminari
menengah harus bisa menyiapkan para calon imam secara baik. Kehidupan
afeksi para calon imam juga harus
diperhatikan dengan sungguh-sungguh, sehingga pada akhirnya bisa menjadi lebih
matang ketika menjadi imam.
IV. Penutup
Hidup
selibat merupakan pilihan yang dikhususkan bagi pelayanan dari Allah dan demi
Kerajaan Allah. Hidup selibat dipilih secara bebas oleh setiap pribadi yang
dipanggil secara khusus oleh Allah sendiri. Oleh karena itu, hidup selibat
selalu ada hubungannya dengan peran rahmat dari Allah sendiri. Selalu ada
keyakinan bahwa rahmat Allah senantiasa bekerja dalam diri orang-orang yang
panggilNya. Tiga hal penting yang mesti diperhatikan dalam hidup selibat ialah
kesatuan dengan Tuhan, komunitas dan semangat dalam karya perutusan. Di samping
berkah yang melimpah, hidup selibat juga diliputi banyak tantangan serius.
Salah satu tantangan paling berat ialah dalam hubungan dengan kehidupan
seksual. Oleh karena lemahnya perisai dan pengontrolan diri banyak kaum
berjubah yang jatuh dengan melakukan pelecehan seksual dan hubungan seks
layaknya suami istri. Tindakan semacam itu jelas melanggar kaul kemurnian,
mencoreng nama baik sendiri (keluarga), serikat dan merusak perutusan Gereja.
Menghadapi kasus-kasus serius ini, Gereja harus mengambil tindakan konkret dan
berdaya guna bagi perubahan yang lebih baik. Dalam perjalanan selanjutnya, umat
mesti juga mengambil peran untuk membantu para kaum berjubah, mengkritik dan
menegur mereka bila melakukan hal-hal yang bertentangan dengan identitas mereka
sebagai selibater. Pendidikan seminari menengah juga harus diperhatikan secara
serius agar imam-imam yang dihasilkan itu betul-betul matang secara akademik,
sosial dan afeksi (emosional).
[1] Paskalis
Lina, Karol Wojtyla Tentang Cinta dan
Tanggung Jawab: Sebuah Analisa tentang Dorongan Seksual, Cinta dan Perkawinan
(Maumere: Penerbit Ledalero, 2018), hlm. 80.
[2] Paskalis
Lina, Moral Pribadi: Pribadi Manusia dan
Seksualitasnya (Maumere: Penerbit Ledalero, 2017), hlm. 144.
[3] Ibid., hlm. 14.
[4] Jean
Jewadut, “Martin Luther dan Tolak Seksualitas”, Buletin Musafir, edisi 2017/2018, hlm. 72.
[5] Paul
Suparno, Seksualitas Kaum Berjubah (Yogyakarta:
Penerbit Kanisius, 2007), hlm. 76.
[6] Paulus
Budi Kleden, Aku yang Solider, Aku dalam
Hidup Berkaul (Maumere: Penerbit Ledalero, 2002), hlm. 77.
[7] Deshi
Ramadhani, Lihatlah Tubuhku
(Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 2009), hlm. 136.
[8] Paulus
Budi Kleden, op.cit., hlm. 84.
[9] Paul
Suparno, op.cit., hlm. 77.
[10] Paul
J. Philibert, “Imamat dalam Konteks Hidup Membiara”, dalam Donald J. Goergen
(ed.), Imam Masa Kini (Maumere:
Penerbit Ledalero, 2003), hlm. 82.
[11] Paul
Suparno, op.cit., hlm. 12.
Komentar
Posting Komentar