Langsung ke konten utama

NARASI KECIL JUMAT PERTAMA DESEMBER 2021

 

Pater Stef Dampur, SVD.

(Kegiatan Rohani Bersama Organisasi Gerejawi Sta. Anna, Paroki St. Yosef Wairpelit-KUM)

Oleh: Ephang Yogalupi *

I. Prolog:

Sudah menjadi "tradisi" di Paroki Wairpelit Maumere bahwa misa Jumat Pertama yang didedikasikan kepada Hati Amat Kudus Tuhan Yesus senantiasa dirayakan di Gereja Pusat Paroki. Mayoritas umat yang hadir dan terlibat adalah "Mama-mama Santa Anna".

II. Bersama Santa Anna Wairpelit di Napung Kabor

Pernahkah Anda pergi ke Napung Kabor Maumere? Kalau Anda belum pergi, saya akan mengantar Anda ke sana lewat deskrpisi sederhana ini.

Titik star kita adalah Gereja Paroki Santo Yosef Wairpelit. Kita menuju arah timur. Kita menyusuri Ribang, Woloara, Hoba dan Nangalimang.

Setiba di Nangalimang, kita mesti jeli. Di tikungan halus itu biasa terjadi kecelakaan maut yang merenggut nyawa anak manusia. Anda mesti me-rem laju kendaraan Anda, entah mobil maupun sepeda motor.

Saat menuju Napung Kabor, Anda mengambil rute belok kiri. Jalannya rabat. Ukurannya sempit. Saat bertemu kendaraan lain, Anda mesti "panjang sabar dan penuh kasih setia". Buang amarah Anda. Buang tensi tinggi Anda. Maumere panas bro. Jika begini, sadar bahwa pembuluh darah Anda mudah pecah.

Mohon maaf. Saya hanya mengingatkan. Bukankah mencegah lebih baik daripada mengobati?

Hanya jangan salah menilai. Napung Kabor itu subur. Oh ya. Sekedar mencerahkan kita. Dalam bahasa Sikka, Napung artinya sungai/kali. Kabor artinya: Kelapa. Jadi, Napung Kabor berarti Sungai Kelapa. Ibu Dince, Ketua Santa Anna Paroki Wairpelit berkisah: "Pater, waktu kami masih gadis dulu, kami punya tempat pesiar, ke sini. Benar di sini dulu sungai besar. kami menemukan banyak pohon kelapa di sekitar sungai, bahkan buah-buah kelapa terapung di sungai. Mungkin nenek moyang dulu beri nama "Napung Kabor atau Sungai Kelapa" karena memang di sini banyak kelapa dekat aliran sungai. Kinipun Pater bisa melihat ribuan pohon kelapa di sini", jelas Ibu Dince, sambil menunjukkan ribuan pohon kelapa yang menjulang tinggi.

III. Kegiatan Kami di Napung Kabor

Di Napung Kabor kami misa di Gedung Posyandu setempat. Warga sekitar turut hadir. Muatan dasar partisipan misa memang anggota Santa Anna.

 

Saya sendiri ditemani oleh tiga pemuda tampan. Dua Frater SVD unit Santo Agustinus Ledalero, satunya lagi mantan Frater yakni Ponaan bernama Cello (mahasiswa semester akhir di Ledalero, pejuang Skripsi).

**

Misa khidmat. Koor sangat bagus. Dominan lagu berbahasa daerah Sikka. Ada tiga intensi penting dalam misa ini yakni: Pertama,  Penghormatan terhadap Hati Amat Kudus Yesus. Kedua, Mendoakan keselamatan kekal segenap anggota Sta. Anna yg telah meninggal.

Ketiga, Pesta Santo Fransiskus Xaverius.

**

Usai misa, kami menikmati santap siang bersama. Menunya menu lokal. Ada kacang tanah. Ada ubi. Ada kue. Ada pula nasi ketupat. Tak ketinggalan daun ubi kayu yang dicampur santan kelapa. Ada ikan kuah. Adapula ikan segar dibumbui dan dicampur tomat serta belimbing. Dijamin, air liur mengalir. lalu, Anda tidak mau makan? Anda rugi. 😆😆.Mau tahu ruginya apa? Ruginya yakni perut Anda keroncongan. Anda akan kelaparan. Pasalnya, hari sudah siang. Pas jam makan. "Makan untuk hidup, bukan hidup untuk makan", demikian kata kaum bijak Bestari.

**

Usai makan siang, kami berdoa di kubur beberapa anggota Santa Anna. Ada kubur yang dekat rumah. Ada juga kuburan di kebun. Kubur itu berupa tanah. Di atas tanah ada batu tersusun persegi empat. Pada posisi kaki dan kepala ada piring.

Di sekitar kubur banyak pohon kelapa. Buahnya lebat. Sayangnya, kami tidak sempat menikmati buah dan air kelapa muda. Alasannya, takada yang bisa panjat. Maklum dominan mama-mama. Usia mereka juga tak lagi muda. Meskipun ada tiga pemuda tapi semuanya "tidak berpengalaman memanjat kelapa". Memang mereka anak modern. Juga anak kota. Tak makan kelapa, tak masalah. Yang paling penting kami sudah misa bersama umat dan mengunjungi mereka yang berada di posisi "periferi/pinggiran".

**

IV. Kami  Mesti Pulang

Jam di tangan saya menunjukkan pkl. 14. 10 WITA. Ada kode alam mau hujan. Oleh karena itu, kami berpamitan dengan wakil umat di Napung Kabor dan menyusuri lorong kebun. Selanjutnya masuk jalan negara di Nangalimang untuk seterusnya menuju Markas Besar.

V. Singgah di Rumah Bapak Ketua Pelaksana DPP PAROKI WAIRPELIT

Ketua pelaksana DPP PAROKI WAIRPELIT biasa disapa "Bapa Guru Juli". Secara pribadi, saya mengenal beliau dan keluarga  sejak tahun 2002. Yah, 19 tahun lalu. Anak mereka (Pa Guru Rusli dan Bu Guru Elys) kami kenal sejak mereka kecil.

Maksud kami bertamu ke rumah beliau, di samping untuk berkoordinasi dan konsolidasi,  juga mau mengunjungi mereka. Alasannya, sudah lama tak ke rumah. Kalau bertemu di Gereja dan pelbagai hajatan, lumayan sering.

Terima kasih untuk keluarga Bapa Juli.

V. Memberi Komuni untuk Lansia

 Sebelum beranjak menuju Napung Kabor terucap janji memberikan Komuni Kudus untuk lansia pasutri: Opa Guru Agus (80) dan Oma Elisabeth (75). Keduanya sudah "kesulitan ke Gereja"  karena faktor usia dan sakit. Sudah saatnya dan sangat beralasan jika mereka dilayani di rumah. Demikianpun umat lainnya yang lansia, terlebih lagi yang sedang dalam perawatan kesehatan.

Opa Guru Agus sering berkata: "Mohon maaf Pater,  saya ini orang banyak omong. Terutama kepada yang cocok. Ya, seperti sekarang", ucap beliau sambil tertawa. "Sejak 50 tahun lalu, saya sudah bawa motor tapi hanya jalur kiri terus. Banyak orang protes. Alasannya kalau ikut kiri terus, rute makin panjang dan bensin cepat habis", ucap Opa dengan wajah serius. Beliau melanjutkan: "Saya punya alasan. Saya biar jalan pelan yang penting selamat. Biar saya sering beli bensin, yang penting nyawa saya selamat. Buktinya, hingga sekarang, saya masih aman Pater. Maaf Pater,saya omong banyak". Lalu, saya jawab: "Opa belum tahu. Saya juga omong banyak". Kami berempat tertawa sepertinya terpimpin dan kompak.

Saat kami mau pulang, Oma Elisabeth memperkenalkan diri. "Pater, saya orang Kefa". Saya bertanya kepada Oma Elisabeth: "Kefa es me?". Beliau menjawab: "Es Bansone". Lalu saya dan beliau berkomunikasi dalam bahasa Dawan. Pengalaman yang sungguh indah dan kaya makna. Ternyata anak nona mereka juga nikah dengan orang Kefa dan tinggal di Kaubele. Kaubele juga tempat yang saya. Itu daerah persawahan yang sangat indah dan luas.

"Opa dan Oma, terima kasih banyak untuk pengalaman keberrsamaan kita hari ini. Kami pamit pulang dulu e supaya Opa Oma ada waktu untuk istirahat", kata saya sambil berpamitan dengan mereka. "Semoga ada waktu, kita bertemu kembali", ucap Opa Agus mengiringi kepergian kami.

"Baik Opa", sahut saya  sambil berlalu dari pandangan mata mereka.

**

 

*) Penulis adalah makhluk peziarah yang hanya bisa dihentikan oleh Sang Pemilik waktu dan kehidupan.

RIL (Rumah Induk Ledalero),

Jumat Pertama, 3 Desember 2021.

Usai Salve di Unit Frater St. Agustinus.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Misa Syukur Hut Ke-51 KORPRI Tingkat Kecamatan Nita-Kabupaten Sikka-Provinsi Nusa Tenggara Timur

  Pater Stef Dampur, SVD. Oleh: Pater Ephang Yogalupi *) Hari ini, Senin, 28 November 2022. Hujan tak terbendung lagi. Ada rasa cemas singgah di hati: "Akankah hujan terus hingga malam? Bagaimana dengan misa syukur hari ulang tahun (HUT) ke-51 Korps Pegawai Republik Indonesia (KORPRI) tingkat Kecamatan Nita yang sudah sejak minggu lalu disepakati? Saya pasrah kepada Tuhan sembari meneguhkan hati camat Nita, Bapak Avelinus Yuvensius dan staf yang juga was-was. ** Dalam agenda yang disepakati, misa dimulai pukul 16.15 WITA tapi cuaca tidak mendukung. Kami sengaja menunda misa hingga hujan reda. Puji tuhan, pada pukul 16. 45 WITA hujan berhenti meskipun langit tetap tidak secerah hari sebelumnya. Ketika cuaca membaik maka bertempat di kapela susteran   fransiskan nita-maumere, kami mulai merayakan misa syukur (pkl. 16.50 wita). Sang komentator pun mulai membacakan komentar pembuka. Koor sudah siap. Lalu lagu pembukaan pun dilantunkan. Terdengar suara koor yang merdu. Di sana

Hidup Selibat dalam Gereja Katolik: Berkah dan Tantangannya | Opini Senus Nega

Senus Nega | Mahasiswa Semester VIII STFK Ledalero I.           Pendahuluan   Dalam perjalanan sejarah hingga saat ini, di dalam Gereja Katolik terdapat satu panggilan hidup yang unik dan berharga yakni pilihan hidup selibat. Panggilan itu bersifat pribadi. Berkenaan dengan itu, Karol Wojtyla menyatakan ‘bahwa ada suatu jalan khusus bagi perkembangan setiap pribadi kalau diikuti, suatu jalan khusus baginya untuk memberikan seluruh hidupnya bagi pelayanan atau pengabdian terhadap sejumlah nilai tertentu. [1] Pemberian diri merupakan substansi setiap pilihan hidup, entah menikah atau selibat. Secara sederhana, hidup selibat berarti berani memilih untuk tidak menikah dengan tujuan untuk memfokuskan pelayanan dan pemberian diri secara total kepada Tuhan. Pilihan hidup selibat bukan berarti meninggalkan seksualitas atau alergi bila berbicara mengenai seksualitas. Dalam hubungan dengan hidup selibat, seksualitas manusia tetap merupakan anugerah Tuhan yang amat luhur dan berharga. Etika Kris