Melki Deni | Mahasiswa Semester VI STFK Ledalero
/1/ Tamara
Ia lihat anak-anak kecil isap jari tangan dan derai air mata sisa
dari tiang listrik,
sebab daun mulai berjatuhan.
Ia lihat gerombolan orang-orang tua serta anjing-anjingnya ketika
awan masih merah pucat memperlihatkan bianglala di barat.
Mereka bercerita; derita, Covid-19, dan obituari yang tidak sempat
terbaca.
Kematian tanpa peperangan yang sengit; luka, ucapkan perpisahan
dan saling menatap air mata yang mendidih mengalir ke cela-cela bumi.
Dua minggu Italia ini menjadi lahan kuburan;
Buram,
Lebam,
Seram.
Kalimat-kalimat berjalan pelan. Media berita berkeliaran.
Dan barangkali tapak mereka tidak tercatat pada kitab, sejarah,
dan peta.
Mungkin kita musnah oleh sajak kematian. Atau tangisan kita yang tidak
mau mati dilahap pada angka dan lembar itu.
Hari ini ia benar-benar mati, sebab kemarin pada lubang kuburan
ada ribuan mayat dibakar; hangus menjadi abu. Kemudian abu menjadi pupuk yang
menyuburkan benih virus bernama baru di bumi ini. 200 tahun kemudian
memusnahkan jutaan anak-anak manusia. Esok pada lembar yang fana kita hanya
menjadi sumber sejarah; fiksi dan mitos.
Kekasihku, Tamara, tulislah tentang hal-hal yang tidak tertangkap
berita seperti sediakala.
Asap-asap mayat yang dibakar mengitari kota, lepas dari waktu.
Dalam bayang-bayang dan merenung,
Kaubaca surat yang sempat kubalas,
Kaubalas surat yang tak sempat kubaca.
/2/ Di Rumah Kita
Di rumah kita profesi-profesi berhimpun seperti di bioskop.
Di dinding potret lama kita dipotret ulang dua kali;
android dan canon bekerja dalam diam.
Di luar Covid-19 menyerang siapa-siapa yang liar
seperti zombi-zombi dalam film buatan China.
Kemarin ribuan orang dilahap dari liar; gemetar dan menghitung
detik-detik yang masih sisa. Tiongkok diserbu alzheimer dan Hantavirus;
seorang tua gugur. Tikus menang hari ini.
Bahkan kutu tahi kecil itu berkali-kali menang telak dalam sejarah
manusia, nenek bercerita setelah tonton obituari di Amerika Serikat, Spanyol, Italia,
China, Iran, Jerman, dan lain-lain. Indonesia kita, 65o-an orang tewas
tanpa pamit dengan keluarga hari ini. Kita diam.
Pada 1330 kutu Yersinia pestis membunuh 75 juta sampai 200 juta
orang dari Asia, Afrika Utara dan Eropa. Hanya butuh dua tahun kutu menyisir
bersih moyang kita di Samudra Atlantik.
Pada 1520 Fransisco de Egula, budak Afrika membawa smallpox.
Smallpox mengubah Cempoallon (Amerika) menjadi lahan kuburan tiba-tiba. Lima
bulan kemudian smallpox tiba di Aztec, Tenochtitlan. Selama dua bulan, smallpox
memusnahkan sepertiga penduduk Azrec, termasuk Kaisar Cuitláhuac.
Pada 1778 tipus dan cacar menyisakan 70.000 orang di Hawaii
setelah TBC dan sifilis mereda. Lalu, 1918 Flu Spanyol membantai 50 juta sampai
100 juta orang selama setahun dari semua negara; Perang Dunia Pertama hanya memusnahkan
40 an juta orang selama empat tahun. Parade obituari di setiap negara
dijalankan secara huru-hara. 1967, cacar masih melahap 2 juta orang dari 15
juta yang terjangkit. Januari 2016, Ebola berhasil merenggut 11.000 an jiwa
dari 30.000 orang yang terjangkit di Afrika Barat. Afrika Barat dan dunia
berduka dan mendaraskan elegi. Sejak 1980 sampai 2016, AIDS memakan lebih dari
30 juta orang di Afrika dan New York. Teixobactin baru ditemukan pada tahun
2015 pasca ratusan juta orang gugur tanpa berperang. Nenek berbicara serak,
gagap dan jeda.
Matahari ternyata sudah pergi. Kita menghitung sisa-sisa kecil di
meja.
Ruang tamu jadi meja pers.
Seperti berita sejarah.
Setiap kali kutu dan tikus (mungkin kita) melahap kita tidak
pada saatnya.
Prosesi kematian kita rutin tiap kali; di luar terkaan. Di luar
doa.
Tiap kali kematian datang, siapa yang bisa menunda?
Dan kata-kata doa jadi lupa.
Tapi mereka menangis?
Setelah mati, kita lupa jalan pulang menuju hidup.
Di rumah kita; Lupa,
Kembali.
/3/ Kota-Kota Membisu; Kita Asing?
Embun berderai; seperti sebuah bunyi napas berhenti tujuh kali
tiap dini hari.
Pada baris pertama, sejak awalnya kata dalam diam; bumi masih
somnambulis mumet. Perahu kertas ini berlayar menuju cela pikiran yang tiap
kali merawang.
Barangkali ada sebuah ritus pemulihan menuju lubang kepala mereka,
tempat logistikon dan epithuma pada perut ke bawah bersepakat seperti Covid-19
dan maut; di mana batas tak jelas lagi. Siapa yang menciptakan maut dan
Covid-19? Dari mana mereka berasal? Dari teknologi? Dari luar bumi?
Barangkali ada “makhluk dan virus” di luar ciptaan pada awal kata.
Sedangkan kalian tidak tahu siapa kami dan tidak mengenal nama kami. Kami
memang tidak untuk dikenal dan tidak untuk siapa-siapa kami dilemparkan dari
luar bumi. Kota-kota membisu; anak-anak jalanan berhenti berkeliaran.
Barangkali kita menjadi asing setelah keruntuhan ini; berbeda dan asing.
Aku asing? Kita asing?
Barangkali ada sejumlah lembaran baru yang bersedia merekam
perjalanan kita pada abad ke-21 ini. Mungkin ada ritus pemulihan setelah yang
tolol, dongkol, gagap teknologi dan yang asing menjadi korban persembahan bagi
dewa teknologi yang mahamulia, yang tiada kenal batas waktu melahap makhluk
yang sontoloyo; kita.
Mereka berbunyi?
Hologram bersembunyi,
Kita sepi;
Sirene, penjemput kita berbunyi tiap kali sepi.
Komentar
Posting Komentar