Fr. Ryan Tap Svd | Mahasiswa STFK Ledalero Semester III
Cukup
benar bahwa kerinduan selalu menghadirkan air mata. Rasa-rasanya air mata adalah
obat yang paling ampuh untuk menawarkan rindu. Hampir tiap kali aku merindukan
seorang ibu, air mata itu selalu tumpah berjatuhan, berderai dari sudut
ke sudut. Merindukan ibu adalah doaku kepada Tuhan yang belum sempat
terkabulkan. Mungkin juga Ia tak akan mengabulkannya. Sebab aku memintanya
terlalu membabi-buta. Memintanya dengan kata-kata yang kasar. Hanya itu yang
aku sanggup dikala merindukannya terlalu dalam. Air mata selalu saja hadir
bila pikiranku sudah menumpuk dan berceceran kata ibu.
Entah,
mengapa air mataku cukup candu dengan rasa rindu. Jika air mata tak jatuh,
hampir pasti aku belum merasakan kelegaan. Sejak aku bayi sampai sekarang aku
sudah hidup di panti asuhan ini. Kira-kira 23 tahun, dari awal aku belajar
mengucak mata sampai aku mahir mengusapnya dengan sapu tangan, aku hidup di
sini. Aku hidup dan diasuh oleh suster-suster yang dengan lapang melatih aku
merangkak dan berkata. Bagiku mereka semua adalah ibu yang telah merahimkan aku
dalam mantel-mantel jubahnya. Serta yang telah meneduhkan aku dengan payung-payung
kerudung penuh kasih. Aku bahagia hidup dan ada bersama mereka di sini. Bagiku panti
ini adalah Rahim paling nyaman selain rahim dari seorang ibu.
***
Baca Juga: https://svdlaatnatas.blogspot.com/2020/12/puisi-melki-deni-buku.html
Pernah sesekali aku mencoba bertanya
kepada suster yang sudah betahun-tahun berada di sini, tentang asal usulku. Pada
saat kami berada di ruangan TV. Sambil menonton acara seorang wanita yang sedang
belajar menjadi ibu. Ia cukup kewalahan mengasuh anaknya, sehingga ia pun
menitipkan anak itu pada pembantunya. “Sus, apakah kami juga, merupakan korban
dari ibu-ibu muda seperti itu”?, tanyaku kepadanya. Suster itu hanya melihatku
dengan penuh senyuman. Tak ada raut marah pada wajahnya. Ia tidak menjawab
pertanyaanku. Ia kembali meraih remot TV lalu mengantikan chanel yang lain. Malam
itu rasa penasaran tentang siapa ibuku
belum terjawab. Malam itu kami tertawa menyaksikan tingkah lucu dari
komedian Sule dan Magmur. Rupanya suster itu pandai mengalihkan perasaanku.
Kamipun tertawa lepas penuh kebebasan. Aku gembira sejadi-jadinya.
Aku kembali ke kamar menyaksikan
diri pada sebuah cermin besar yang terletak tepat di depan pintu lemari. Melihat
wajahku sendiri sambil tersenyum “Apakah wajah ibu seperti ini, kalau begitu
dia cantik juga”, kataku sambil tersenyum. “Ehh… Jangan-jangan ini wajah
ayahku, dia ganteng juga”, lanjutku sambil menyisir rambut yang terurai
lepas. Lalu aku kembali ke tempat tidur
dengan segudang pertanyaan yang masih basah tercecer dalam pikiranku. Sebelum bola
mata kembali ke sarangnya. Aku menjalankan ritual singkat sebagai rutinitas. Malam
itu, aku berdoa untuk kedua orang tuaku.
***
Ke esokkan harinya, aku dengan
berani bertanya lagi kepada suster itu. Aku bertanya sambil memaksanya agar ia
menjawab setiap pertanyaanku. “Suster, di manakah ibu dan ayahku?”. Pertanyaan itu
sebagai pembuka dari puluhan nomor pertanyaan yang siap aku tanyakan. Suster
itu hanya melihat wajahku. Mungkin sudah saatnya ia memberitahukan semua yang
telah terjadi padaku. Lalu suster itu mengajakku untuk pergi ke kamarnya. Sesampai di kamar ia mulai menjelaskan secara
detail tentangku. “Dulu waktu saya sedang membersihkan halaman depan itu, ibumu
datang lalu menitipkan engkau di sini”. Ibumu bilang “Suster titip ya, saya ke
pasar dulu ada belanjaan yang cukup banyak”. Ternyata ibumu pergi untuk
selamanya. Ia tidak pernah datang untuk melihatmu sampai engkau berumur 6
tahun”, kata suster itu. Aku kembali tertunduk lesu. Tisu yang ada di depan
mata mulai satu persatu bergerak untuk mengusap air mataku. Ia pun kembali berkata “Pas engkau berumur
lima tahun lebih, ibumu datang dan meminta kami untuk merawatmu. Ibu menjelaskan
semunya, mengapa ia berani untuk menitipkanmu di sini”. Air mataku kembali
jatuh untuk kesekian kalinya. Rasanya tidak percaya masa laluku teramat pilu.
Jadi benar dugaanku selama ini. “Aku
ada, hasil dari hubungan gelap ibu. Ibu tak mau aibnya terbongkar, ia pun melahirkan aku secara diam-diam di VC kamar
kosnya. Ada benar juga, ibu melakukan ini demi masa depannya. Tetapi mengapa
sampai aku yang jadi korban. Ibu dan ayah, semuanya sama-sama bejat’, gumamku. Lagi-lagi
air mataku kembali membanjiri pipiku. Ibu sebegitu teganya engkau melakukan
ini. Tetapi aku tidak mempersalahkanmu, mungkin ini adalah rencana dari Sang
Kalik untuk kita. Ibu, aku sudah besar,
datanglah untuk menjengukku. Malam itu batinku tidak tenang. Kursi roda sebagai
sahabatku menjadi teman setia hilir-mudik keluar masuk kamar. Suster itu telah
menceritakan semuanya sampai aku cacat seperti ini. Katanya “Aku cacat karena
dulu ibumu mencoba untuk menggugurkan engkau pada saat usia kandunganya empat
bulan. Tetapi air garam itu tidak mampu menahan kuasa Tuhan, hingga akhirnya
engkau tetap dilahirkan”.
***
Ekor mataku menatap pahaku yang menyatu dengan
betis. Kaki kiriku sudah tidak ada
dagingnya, yang ada hanya tulang yang terbalut kering. Aku bertengadah pada
langit “Tuhan….mengapa Engkau menciptakan aku seperti ini. Ibuku pergi entah
ke mana? Lalu aku sudah belasan tahun duduk diam mematung sunyi di atas kursi
ini. Aku rindu untuk berlari seperti teman-temanku di luar sana”. Malam berlarut,
aku kembali ke ranjang untuk melepas beban yang dipikul oleh raga dan asa. Sebelum aku tidur, lagi-lagi aku mengucapkan kata yang menggugat Tuhan “Tuhan…Engkau tidak adil”. Lalu aku pun
tertidur.
Hampir
pasti hari-hariku selalu diwarnai dengan air mata. Aku merindukan seorang ibu. Meskipun
ia telah melakukan hal sesadis ini padaku tetapi ia tetap ibuku. Rahimnya telah berjuang menyimpan dan
menyelimuti aku rapat-rapat dari getirnya dunia yang belum saatnya aku arungi. Kini
aku telah dewasa. Aku telah siap untuk melayat dan melumat dunia meski dengan
kursi roda. Setidaknya aku mampu menyanyikan lagu “Ibu Aku Rindu”. Setiap kali
perayaan natal aku selalu rayakan dengan teman-teman di pantai asuhan ini. Aku belum
pernah merayakannya bersama dengan ibu. Permintaanku tidak lebih selain memeluk
ibu dan berkata”Merry Christmas Ibu”.
***
Baca juga:https://svdlaatnatas.blogspot.com/2020/12/puisi-puisi-bertin-japa_21.html
Entah
sampai kapan kerinduanku dapat terobati. Mungkin sampai aku menutup hayat itu
tidak akan terjadi sebab ibu sudah pergi jauh dari duniaku. Daging-daging pada
tubuhku sudah berlarian. Tubuhku sudah mulai tersisa tulang. Sejak aku berumur
4 tahun sampai sekarang aku selalu berada di kursi roda ini. Hingga akhirnya
daging-dagingku mulai menyatu erat dengan kursi ini. Sesekali aku berdiri
dan bergerak, daging-daging pada pahaku mulai berjatuhan. Aku sudah tahu,
usiaku sudah tak lama lagi.
Pada
malam yang mulai terbasah-basah oleh embun. Sebelum Sang Damai lahir pada
jerami. Sebelum para gembala mengkidungkan lagu merdu sebab Tuhan telah datang. Ijinkan
aku menuliskan surat untuk ibu.
“ Kepada wanita yang aku sebut ibu”.
Selamat Natal Ibu.
Sejak sekian tahun aku telah
bergumul dengan rindu. Rindu berjumpa denganmu, Rindu melihat wajah wanita
tegar yang telah mengandung aku sembilan bulan, Rindu berada dua denganmu,
bermain tos-tosan sambil mencuit hidung. Pokoknya aku amat rindu padamu, Ibu. Jikalau benar keberadaan sekian tahun membuatmu beban, ijinkan aku untuk
perpamit lebih dulu denganmu. Ibu, aku sayang padamu. Aku tidak marah lagi
denganmu. Aku bahagia pernah ada dalam rahimu. Ibu aku pergi untuk selamanya
darimu. Pada suatu hari nanti, jika engkau datang untuk melihatku. Aku telah
menyimpan fotoku pada bagian dalam surat ini. Itulah wajah anakmu yang selalu
rindu dan menantikanmu. selamat natal dan selamat tinggal ibuku sayang.
Komentar
Posting Komentar