Langsung ke konten utama

Renungan Malam Natal | Fr. Tomi Duang, SVD



Bacaan I           : Yes. 9:1-6

Antarbacaan     : Mzm. 96:1-2a, 2b-3, 11-12, 13

Bacaan II         : Tit. 2:11-14

Injil                   : Luk. 2:1-14

 

Natal sudah tiba dan kita menyambutnya dalam suatu suasana yang sama sekali lain. Tatanan hidup lama telah ditinggalkan dan kita sedang bergerak menuju suatu tatanan baru yang sering disebut kenormalan baru. Kenormalan baru itu merupakan hasil perbenturan antara kenormalan lama dan suatu jenis ketidaknormalan hidup yang disebabkan oleh virus korona. Virus yang telah membunuh sekian banyak orang ini memaksa kita untuk hidup dalam suatu tatanan hidup baru, baik pada tingkat lokal maupun pada level global.

Bagaimana Natal dimaknai dalam konteks tatanan hidup baru ini dan sejauh mana Natal menyumbangkan nilai-nilai positif bagi kehidupan manusia pada situasi dan waktu-waktu ini?

Inti peristiwa Natal adalah Allah menjadi manusia. Allah menanggalkan jubah kebesaran-Nya dan masuk ke dalam kerapuhan sejarah manusia. Tindakan Allah ini merupakan suatu solidaritas yang radikal terhadap situasi hidup manusia. Dengan menjadi manusia, Allah mengambilbagian dalam seluruh realitas manusiawi manusia, masuk dalam ruang dan waktu manusia.

Tujuan keterlibatan Allah dalam sejarah manusia ialah memberikan sinar pengharapan, sebagaimana digambarkan oleh Nabi Yesaya dalam bacaan pertama: “Bangsa yang berjalan di dalam kegelapan telah melihat terang yang besar; mereka yang diam di negeri kekelaman, atasnya terang telah bersinar,” (Yes. 9:1).

Nubuat ini diserukan oleh Nabi Yesaya jauh sebelum Yesus lahir. Ini merupakan sebuah nubuat penghiburan bagi bangsa Israel yang sedang berada dalam prahara ketakutan karena pada saat itu mereka sedang berada di pembuangan Asiria.

Dengan tidak bermaksud menarik sebuah garis persamaan antara situasi bangsa Israel dan situasi kita sekarang, dapat dikatakan bahwa bangsa Israel pada era kenabian Yesaya memiliki ketakutan yang hampir serupa dengan yang kita alami hari-hari ini.

Virus Corona yang selalu menghantui kita setiap saat merupakan suatu kegelapan dan ancaman nyata. Di tengah situasi prahara ketakutan inilah, pada malam ini kita mendengar para malaikat bernyanyi: “Hari ini telah lahir bagimu Juruselamat, yaitu Kristus Tuhan, di kota Daud,” (Luk.2:11). “Kemuliaan bagi Allah di tempat yang mahatinggi dan damai sejahtera di bumi di antara manusia yang berkenan kepada-Nya,” (Luk. 2:14).

Damai sejahtera inilah yang dibawa oleh Yesus ketika Ia menjadi manusia. Pertanyaan untuk kita sekarang ialah bagaimana Natal dan damai sejahtera itu diterjemahkan ke dalam konteks kita sekarang? Di tengah prahara ketakutan dan ancaman maut Covid-19, dengan cara apakah damai sejahtera itu menjadi nyata? Agar damai itu membumi gebrakan apakah yang perlu kita lakukan? Pada siapakah kita bercermin?

Pertama-tama kita perlu belajar dari sosok Maria. Kita bergerak mundur dari kisah Injil malam ini ke kisah penerimaan kabar gembira oleh Maria: “Terjadilah padaku menurut perkataan-Mu itu.” kesediaan Maria mengandung suatu konsekuensi yang tidak sedikit. Akan tetapi Maria tetap menerima tawaran Allah, tentu dengan banyak pertimbangan pribadinya sendiri, tetapi ada satu pertimbangan yang mungkin baik kita tiru untuk kita hidupi ketika menghadapi suasana hidup yang serba tidak pasti ini.

Hal itu ialah keyakinan Maria bahwa di dalam diri jasmanianya terdapat kekuatan kreatif yang mampu membuka diri terhadap gerakan ilahi. Pada saat kita berani menerima gerakan ilahi ini, kita pasti akan menemukan lengan yang memeluk kita, hubungan yang menopang kita dan cahaya ilahi yang selalu menerangi kita.

Dalam bahasa yang sedikit lebih profan, hal-hal tersebut dirangkum dalam dua kata: harapan hidup. Harapan itulah yang, entah kita sadari atau tidak, mendorong kita untuk bertahan hidup dalam situasi-situasi sekarang.

Orang yang mampu bertahan hidup bukanlah orang yang paling kuat melainkan orang yang mampu beradaptasi. Harapan hidup itulah yang menjadi faktor X atau faktor pendorong bagi kita untuk beradaptasi dengan variasi tuntutan norma hidup baru.

Kedua, para malaikat. Malaikat berperan menyampaikan kabar gembira kelahiran Yesus kepada para gembala di padang. “Jangan takut, sebab sesungguhnya aku memberitakan kepadamu kesukaan besar untuk seluruh bangsa : hari ini telah lahir bagimu juru selamat, yaitu Kristus, Tuhan di Kota Daud.

Informasi yang cepat, tepat, benar dan akurat merupakan salah satu unsur penting yang menentukan hidup dan mati kita di tengah pandemic. Informasi yang benar akan menyelamatkan kita sedangkan informasi yang salah akan sangat berbahaya.

Peristiwa Natal mengajak kita untuk menjadi seperti para malaikat yang datang membawa kabar gembira, memancarkan sinar harapan dan memberikan pesan-pesan yang menyejukkan serta menentramkan. Segala jenis propaganda yang bertujuan menciptakan ketakutan sebaiknya kita hindari.

Ketiga, Yusuf. Hal baik yang ditunjukkan Yusuf adalah kesetiaan pada Maria. Dia selalu menemani Maria dalam setiap hari Maria dan Yesus, terutama seperti yang telah dinarasikan dalam Injil. Walaupun secara fisik kita telah dilarang untuk saling kontak, tetapi kedekatan dan kehangatan batin ketika selalu menjadi yang paling dibutuhkan oleh orang-orang di sekitar kita. Silaturahmi virtual menjadi salah satu jalan terbaik yang dapat kita lakukan untuk menunjukkan dukungan dan kesetiaan kita pada orang-orang di dekat kita pada masa-masa seperti ini.

Keempat, tentu saja kita harus selalu bercermin pada Yesus sendiri. Pandanglah bayi Yesus yang terbaring dalam palungan di kandang. Pandanglah bayi Yesus yang terbaring lemah dalam palungan hati kita.

Apakah hati kita telah benar-benar layak menjadi palungan tempat Yesus dibaringkan? Apakah pelukan kita telah benar-benar layak untuk menjadi serupa kain lampin yang menghangatkan bayi Yesus? Apakah kita telah benar-benar menjadi seperti bintang yang menjadi penanda kelahiran Yesus?

Apakah hati kita telah benar-benar siap untuk Natal?

Siap atau tidak siap, Tuhan telah lahir, natal telah tiba. Selamat merayakan pesta natal untukmu semua. 

 

 

 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Misa Syukur Hut Ke-51 KORPRI Tingkat Kecamatan Nita-Kabupaten Sikka-Provinsi Nusa Tenggara Timur

  Pater Stef Dampur, SVD. Oleh: Pater Ephang Yogalupi *) Hari ini, Senin, 28 November 2022. Hujan tak terbendung lagi. Ada rasa cemas singgah di hati: "Akankah hujan terus hingga malam? Bagaimana dengan misa syukur hari ulang tahun (HUT) ke-51 Korps Pegawai Republik Indonesia (KORPRI) tingkat Kecamatan Nita yang sudah sejak minggu lalu disepakati? Saya pasrah kepada Tuhan sembari meneguhkan hati camat Nita, Bapak Avelinus Yuvensius dan staf yang juga was-was. ** Dalam agenda yang disepakati, misa dimulai pukul 16.15 WITA tapi cuaca tidak mendukung. Kami sengaja menunda misa hingga hujan reda. Puji tuhan, pada pukul 16. 45 WITA hujan berhenti meskipun langit tetap tidak secerah hari sebelumnya. Ketika cuaca membaik maka bertempat di kapela susteran   fransiskan nita-maumere, kami mulai merayakan misa syukur (pkl. 16.50 wita). Sang komentator pun mulai membacakan komentar pembuka. Koor sudah siap. Lalu lagu pembukaan pun dilantunkan. Terdengar suara koor yang merdu. Di sana

Hidup Selibat dalam Gereja Katolik: Berkah dan Tantangannya | Opini Senus Nega

Senus Nega | Mahasiswa Semester VIII STFK Ledalero I.           Pendahuluan   Dalam perjalanan sejarah hingga saat ini, di dalam Gereja Katolik terdapat satu panggilan hidup yang unik dan berharga yakni pilihan hidup selibat. Panggilan itu bersifat pribadi. Berkenaan dengan itu, Karol Wojtyla menyatakan ‘bahwa ada suatu jalan khusus bagi perkembangan setiap pribadi kalau diikuti, suatu jalan khusus baginya untuk memberikan seluruh hidupnya bagi pelayanan atau pengabdian terhadap sejumlah nilai tertentu. [1] Pemberian diri merupakan substansi setiap pilihan hidup, entah menikah atau selibat. Secara sederhana, hidup selibat berarti berani memilih untuk tidak menikah dengan tujuan untuk memfokuskan pelayanan dan pemberian diri secara total kepada Tuhan. Pilihan hidup selibat bukan berarti meninggalkan seksualitas atau alergi bila berbicara mengenai seksualitas. Dalam hubungan dengan hidup selibat, seksualitas manusia tetap merupakan anugerah Tuhan yang amat luhur dan berharga. Etika Kris

NARASI KECIL JUMAT PERTAMA DESEMBER 2021

  Pater Stef Dampur, SVD. (Kegiatan Rohani Bersama Organisasi Gerejawi Sta. Anna, Paroki St. Yosef Wairpelit-KUM) Oleh: Ephang Yogalupi * I. Prolog: Sudah menjadi "tradisi" di Paroki Wairpelit Maumere bahwa misa Jumat Pertama yang didedikasikan kepada Hati Amat Kudus Tuhan Yesus senantiasa dirayakan di Gereja Pusat Paroki. Mayoritas umat yang hadir dan terlibat adalah "Mama-mama Santa Anna". II. Bersama Santa Anna Wairpelit di Napung Kabor Pernahkah Anda pergi ke Napung Kabor Maumere? Kalau Anda belum pergi, saya akan mengantar Anda ke sana lewat deskrpisi sederhana ini. Titik star kita adalah Gereja Paroki Santo Yosef Wairpelit. Kita menuju arah timur. Kita menyusuri Ribang, Woloara, Hoba dan Nangalimang. Setiba di Nangalimang, kita mesti jeli. Di tikungan halus itu biasa terjadi kecelakaan maut yang merenggut nyawa anak manusia. Anda mesti me-rem laju kendaraan Anda, entah mobil maupun sepeda motor. Saat menuju Napung Kabor, Anda mengambil rute bel