Langsung ke konten utama

Postingan

Menampilkan postingan dari Februari, 2021

Hidup Selibat dalam Gereja Katolik: Berkah dan Tantangannya | Opini Senus Nega

Senus Nega | Mahasiswa Semester VIII STFK Ledalero I.           Pendahuluan   Dalam perjalanan sejarah hingga saat ini, di dalam Gereja Katolik terdapat satu panggilan hidup yang unik dan berharga yakni pilihan hidup selibat. Panggilan itu bersifat pribadi. Berkenaan dengan itu, Karol Wojtyla menyatakan ‘bahwa ada suatu jalan khusus bagi perkembangan setiap pribadi kalau diikuti, suatu jalan khusus baginya untuk memberikan seluruh hidupnya bagi pelayanan atau pengabdian terhadap sejumlah nilai tertentu. [1] Pemberian diri merupakan substansi setiap pilihan hidup, entah menikah atau selibat. Secara sederhana, hidup selibat berarti berani memilih untuk tidak menikah dengan tujuan untuk memfokuskan pelayanan dan pemberian diri secara total kepada Tuhan. Pilihan hidup selibat bukan berarti meninggalkan seksualitas atau alergi bila berbicara mengenai seksualitas. Dalam hubungan dengan hidup selibat, seksualitas manusia tetap merupakan anugerah Tuhan yang amat luhur dan berharga. Etika Kris

Luka Pada Tepi Penantian* | Cerpen Bertin Japa

Bertin Japa | Mahasiswa Semester VIII STFK Ledalero   Setahun telah lewat, Fiana seperti seorang penunggu kotak surat. Ia tetap merindukan suara ibunya untuk mengatakan perihal nama ayahnya. Hasrat Fiana untuk mengetahui identitas ayahnya bergejolak seperti burung. Burung perindu, selalu bernyanyi memanggil sang ayah yang tak kunjung kembali. Sungguh bukan fisiknya yang ia dambakan tapi namanya saja, cukup baginya untuk memuaskan kerinduannya. Sejenak ia terhenti pada setapak rembulan yang mungkin saja pernah mencatat nama ayahnya. Tapi semuanya sia-sia sebab rupanya rembulanpun enggan untuk mengatakan kepadanya. Fiana mulai mencurahkan isi hatinya lewat catatan bisu yang sering ia goreskan pada diary kecilnya ”aku rindu suara ayah”, inilah judul yang ia goreskan pada prolog tulisannya. Kalimat per kalimat ia rangkaikan” ayah, sungguh merindukan suaramu, Suara yang membacakan dongeng sampai aku tertidur. Tapi rasa rindu ini seperti cemeti yang membelenggu aku, menyumbat jalan darahku

Antologi Puisi | Melki Deni

Melki Deni | Mahasiswa Semester VI STFK Ledalero   /1/ Tamara   Ia lihat anak-anak kecil isap jari tangan dan derai air mata sisa dari tiang listrik,  sebab daun mulai berjatuhan.   Ia lihat gerombolan orang-orang tua serta anjing-anjingnya ketika awan masih merah pucat memperlihatkan bianglala di barat.  Mereka bercerita; derita, Covid-19, dan obituari yang tidak sempat terbaca. Kematian tanpa peperangan yang sengit; luka, ucapkan perpisahan dan saling menatap air mata yang mendidih mengalir ke cela-cela bumi. Dua minggu Italia ini menjadi lahan kuburan;  Buram, Lebam, Seram. Kalimat-kalimat berjalan pelan. Media berita berkeliaran. Dan barangkali tapak mereka tidak tercatat pada kitab, sejarah, dan peta.  Mungkin kita musnah oleh sajak kematian. Atau tangisan kita yang tidak mau mati dilahap pada angka dan lembar itu.   Hari ini ia benar-benar mati, sebab kemarin pada lubang kuburan ada ribuan mayat dibakar; hangus menjadi abu. Kemudian abu menjadi p

Etika dan Moral: Prasyarat kepada Keluhuran Martabat Manusia

  Ondik Darman, Mahasiswa S1 STFK Ledalero Perkembangan globalisasi yang semakin melesat dengan segala bentuk ‘tetek-bengeknya’ seperti sekularisasi, pluralisme, krisis ideologi-ideologi (pandangan-pandangan besar), konsumerisme, planetarisasi, disrupsi, media sosial dan individualisme, [1] akhirnya telah mempengaruhi seluruh elemen kehidupan manusia dalam merespon nilai-nilai kehidupan. Thomas S. Kuhn menilai realitas ini telah mengakibatkan pergeseran paradigma ( paradigm shift ) manusia dalam menyaksikan, melihat, merespon, menilai dan memahami realitas etika dan keluhuran martabat manusia. Manusia tengah mengalami pandemic of the mind (pandemik pemikiran manusia) yang mengakibatkan hilangnya gambaran diri (secara ontologis dan logis) yang sehat-murni, sehingga secara perlahan-lahan mulai memetakan antara diri (kodrat kebebasan) dengan etika dan moral. Etika dan moral dinilai semacam alegori gua platonik dimana manusia berkelana dalam bayang-bayang, dan kodrat kebebasannya dike