Langsung ke konten utama

Etika dan Moral: Prasyarat kepada Keluhuran Martabat Manusia

 

Ondik Darman, Mahasiswa S1 STFK Ledalero


Perkembangan globalisasi yang semakin melesat dengan segala bentuk ‘tetek-bengeknya’ seperti sekularisasi, pluralisme, krisis ideologi-ideologi (pandangan-pandangan besar), konsumerisme, planetarisasi, disrupsi, media sosial dan individualisme,[1] akhirnya telah mempengaruhi seluruh elemen kehidupan manusia dalam merespon nilai-nilai kehidupan. Thomas S. Kuhn menilai realitas ini telah mengakibatkan pergeseran paradigma (paradigm shift) manusia dalam menyaksikan, melihat, merespon, menilai dan memahami realitas etika dan keluhuran martabat manusia. Manusia tengah mengalami pandemic of the mind (pandemik pemikiran manusia) yang mengakibatkan hilangnya gambaran diri (secara ontologis dan logis) yang sehat-murni, sehingga secara perlahan-lahan mulai memetakan antara diri (kodrat kebebasan) dengan etika dan moral. Etika dan moral dinilai semacam alegori gua platonik dimana manusia berkelana dalam bayang-bayang, dan kodrat kebebasannya dikekang. Oleh karena itu, baik etika maupun moral dinilai tidak efektif menyelesaikan persoalan-persoalan kemanusiaan. Di sisi lain, manusia mengalami krisis kepercayaan terhadap etika maupun moral. Realitas dekaden (menurun atau melemah) semacam ini akhirnya mendorong penulis untuk mengkaji tentang etika dan moral sebagai prasyarat dalam mencapai kualitas kemanusiaan, apakah membatasi kebebasan atau sebaliknya, keluhuran martabat manusia dijunjung tinggi.

 

Kontribusi Etika dan Moral  

Etika maupun moral selalu menampilkan kekuatan besar dalam tatanan kehidupan manusia. Keduanya semacam aset yang membawa nilai-nilai revolutif dalam dirinya; nilai apa yang baik dan buruk dan tentang hak dan kewajiban moral, kumpulan asas atau nilai yang berkenaan dengan moral dan mengenai nilai benar dan salah yang dianut oleh golongan masyarakat sosial tertentu.[2] Beberapa kontribusi penting keterlibatan etika dan moral dalam tatanan kehidupan manusia; pertama, kekuatan dalam mengatasi realitas dekaden, seperti sekularisasi, pluralisme, krisis ideologi-ideologi (pandangan-pandangan besar), konsumerisme, planetarisasi, disrupsi, media sosial dan individualisme. Kedua, cerminan tingkah laku manusia mengenai hal apa yang baik dan benar, sebagaimana Thomas S. Kuhn melihat etika sebagai pedoman hidup masyarakat dalam menilai, memahami dan memecahkan persoalan-persoalan etika kehidupan. Ketiga, fondasi dasar dan start awal ke mana seseorang harus bergerak, berpikir dan bertindak. Keempat, prasyarat kepada keluhuran martabat manusia yang merupakan kebaikan tertinggi. Kelima, pijakan dalam merespon realitas pelanggaran terhadap nilai kemanusiaan (crime against humanity) dan krisis-krisis terhadap ekologi dari praktek jouissance sans entrave (penikmatan hal-hal duniawi senikmat-nikmatnya tanpa batas).

 

Kesadaran Moral Prarefleksi dalam Kehidupan Praktis

Kesadaran moral untuk melakukan suatu tindakan perbuatan baik atau buruk tentu mempunyai alasan tertentu. Alasan-alasan itu menuntut seseorang agar memiliki pemahaman dan penentuan sikap sebagai tanda respon positif terhadap esensi kesadarannya itu. Inilah yang disebut kesadaran moral prarefleksi. Kesadaran awal bisa setuju atau tidak setuju, netral, bahkan tak acuh dan kesadaran semacam ini merupakan gambaran kesadaran dalam keadaan yang belum direfleksikan. Pada tahap awal, seseorang belum berpikir dan memahami mengapa harus membangun kesadaran moral demikian. Misalnya kebiasaan di lingkungan masyarakat tertentu dimana orang tua memilih calon teman hidup bagi anaknya bisa berlangsung tanpa kesulitan dan orang muda menerima saja tradisi itu.[3] Kesadaran moral awal bisa dipengaruhi oleh berbagai faktor seperti pendidikan, kebudayaan, agama, pengalaman pribadi maupun komunal, media sosial, watak seseorang dan sebagainya.[4] Kesadaran awal semacam ini akan berhenti ketika seseorang berhadapan dengan realitas yang menarik dan menggugah zona refleksinnya.

Kesadaran awal bisa menjadi problematis ketika berhadapan dengan interpretasi berbeda dari orang lain terhadap realitas yang sama. Kebiasaan orang tua yang memilih teman hidup bagi anaknya ternyata memiliki pemahaman yang berbeda oleh kelompok orang muda sebagai tindakan yang tidak adil karena menyempitkan naluri kebebasan dari anak dalam memilih dan menilai yang pantas dan layak menjadi teman hidupnya. Realitas pro-kontra semacam inilah yang akhirnya membentuk sebuah kesadaran baru dimana setiap orang mulai memikirkan, mengevaluasi, bahkan merefleksikan kembali realitas kebiasaan yang telah lama ada dan diterima begitu saja. Akhirnya kesadaran awal yang problematis, menggugah suatu tahapan kesadaran reflektif dalam diri setiap orang sambil memperjuangkan tindakan atau perbuatan macam apa yang bisa mendatangkan kebaikan, kebebasan, kebenaran, kejujuran dan keadilan. Pemahaman baru yang dicapai melalui tahapan refleksi akhirnya membentuk satu zona kesadaran baru akan perjuangan hidup yang lebih baik.

 

Nilai Moral dan Norma Moral

Pembicaraan mengenai nilai moral dan norma moral pasti berkenaan dengan sesuatu yang baik, menyenangkan, positif dan sesuatu yang diinginkan dalam kehidupan masyarakat manusia. Kedua nilai ini memiliki fokus perhatiannya masing-masing, tetapi menggarisbawahi nilai–nilai untuk tujuan yang sama yakni kebaikan dan keluhuran martabat manusia itu sendiri.

Pertama, nilai moral berhubungan dengan manusia dan tindakannya. Keinginan untuk melakukan hal yang baik dari diri seseorang dinilai baik. Demikianpun tindakan kemanusiaan yang dilakukan seseorang selalu merupakan hal baik pada dirinya sendiri. Misalnya, saya hendak membantu sesama yang berkekurangan, maka terlahir nyata melalui tindakan saya dengan memberi sumbangan secara materi seperti beras, pakaian, sabun mandi dan sebagainya. Nilai moral memberi arah dan makna pada setiap tindakan kebebasan manusia; apakah tindakan itu bernilai baik-buruk, benar-salah. Nilai moral adalah nilai yang khas bagi manusia sebagai subjek rohani, nilai yang khas bagi kebebasan.[5] Artinya, nilai moral sebagai kewajiban yang mesti diprioritaskan oleh manusia dalam mencapai kualitas jati diri dan keberhargaan manusia sebagai manusia sekaligus membantu mewujudkan nilai-nilai yang lain dalam kehidupannya.

Kedua, norma moral menentukan apakah perilaku kita baik atau buruk dari sudut etis.[6] Karena itu, norma moral adalah norma tertinggi, yang tidak bisa ditaklukan oleh norma yang lain. Sebaliknya norma moral menilai norma-norma yang lain. Misalnya berkenaan dengan norma etiket bahasa; apa yang dikatakan itu baik dan benar dari sudut pandang bahasa Indonesia, tetapi salah dari sudut pandang norma moral kalau bahasa yang baik digunakan untuk berbohong dan menipu yang lain. Norma moral bisa dirumuskan dalam bentuk positif maupun negatif. Dalam bentuk positif norma moral tampak sebagai perintah yang mengatakan apa yang harus dilakukan, misalnya: kita harus menghormati kehidupan manusia, kita harus mengatakan yang benar. Sedangkan, bentuk negatif, norma moral tampak sebagai larangan yang menyatakan apa yang tidak boleh dilakukan, misalnya: jangan membunuh dan jangan berbohong. Tatanan pada nilai moral dan norma moral mampu mempertahankan integritas diri seseorang secara sehat, memiliki kesadaran akan panggilan kehidupan yang jujur dan murni serta mempertahankan keluhuran martabatnya sebagai manusia. Singkatnya, dengan mentaati himbauan nilai moral, dengan menjawabi panggilan untuk melakukan yang baik dan menghindari yang buruk seseorang akan mendapatkan keluhuran martabatnya.

 

Kewajiban dan Kabajikan (Keutamaan)  

Prinsip moral selalu menjadi ukuran dalam menilai suatu realitas; apakah realitas itu bersifat baik atau buruk, benar atau salah, jujur atau bohong, adil atau diskriminatif, dan sebagainya. Di samping itu ada cara penilaian etis lain lagi yang tidak memandang perbuatan, melainkan justru keadaan pelaku itu sendiri. Kita mengatakan bahwa seseorang adalah orang baik, adil, jujur, dan sebagainya atau, sebaliknya, orang jahat, tidak adil, tidak jujur, dan sebagainya.[7] Penilaian itu bukan tertuju kepada prinsip atau norma, melainkan kepada sifat watak atau akhlak yang dimiliki oleh orang tertentu. Dalam konteks semacam ini, pembicaraan mengenai penilaian etis lebih menekankan tentang bobot moral (baik-buruknya) orang itu sendiri dan bukan tentang bobot moral salah satu perbuatannya.

Dua penilaian ini nampak dalam dua teori etika; etika kewajiban dan etika keutamaan. Etika kewajiban mempelajari prinsip-prinsip dan aturan-aturan moral yang berlaku umum; prinsip-prinsip mana yang perlu diterapkan dalam hidup moral lingkungan sosial tertentu.[8] Dengan kata lain, etika kewajiban menilai soal benar-salahnya kelakuan seseorang dengan berpegang pada norma dan prinsip moral saja. sedangkan, etika keutamaan memfokuskan dirinya dalam menyoroti perbuatan satu demi satu, apakah sesuai atau tidak dengan norma moral, tapi lebih memfokuskan manusia itu sendiri. Etika ini mempelajari virtue (keutamaan), artinya sifat watak yang dimiliki manusia. Etika keutamaan tidak menyelidiki apakah perbuatan kita baik atau buruk, melainkan apakah kita sendiri orang baik atau buruk. Etika keutamaan mengarahkan fokus perhatiannya pada being manusia, sedangkan etika kewajiban menekankan doing manusia. Etika keutamaan ingin menjawab pertanyaan: what kind of person should I be?, “saya harus menjadi orang yang bagaimana?”, sedangkan bagi etika kewajiban pertanyaan pokoknya ialah what should I do?, “saya harus melakukan apa”.[9]

Dua teori etika tersebut saling melengkapi; etika kewajiban membutuhkan etika keutamaan maupun sebaliknya, etika keutamaan membutuhkan etika kewajiban. Pertama, etika kewajiban membutuhkan etika keutamaan: usaha untuk mengikuti prinsip moral dan aturan tertentu dinilai tidak efisien, kalau tidak disertai suatu sikap tetap manusia untuk hidup menurut prinsip dan aturan moral saja. Ia membutuhkan etika keutamaan. Kualitas kewajiban moral kita akan lebih praktis, jika melibatkan etika keutamaan dalam merespon karya hidup sepanjang hari dari sudut pandang prinsip-prinsip moral. Kedua, etika keutamaan membutuhkan etika kewajiban. Etika keutamaan saja adalah buta, jika tidak dipimpin oleh norma atau prinsip. Aturan atau prinsip etis justru membawa aspek normatif ke dalam hidup moral.[10] Selain itu, penyelesaian terhadap persoalan-persoalan etika, etika keutamaan saja tidak cukup, tetapi mesti melibatkan juga etika kewajiban. Artinya, antara kedua teori etik ini mesti dilibatkan secara seimbang dalam menjawabi segala realitas kehidupan sehari-hari terutama dalam proses penyelesaian kasus-kasus etika. Hubungan antara kedua hendak memperlihatkan bahwa moralitas selalu berkaitan dengan prinsip serta aturan dan serentak juga dengan kualitas manusia itu sendiri, dengan sifat-sifat dan wataknya.[11] Keduanya selalu memberikan cita rasa yang ascenden terhadap martabat manusia.



[1]Pertama, sekularisasi adalah agama (norma-norma) amat mempengaruhi kehidupan masyarakat. Misalnya, Aceh Darusalem. Agama menjadi titik acuan norma dasar dalam tingkah laku kehidupan manusia karena bersifat tetap dan homogeni, sehingga perubahan-perubahan besar ditutup atau ditolak dan segala sesuatu yang ada di dalamnya bersifat alamiah. Namun kehadiran sekularisasi mengakibatkan peran agama semakin kurang berkontribusinya sebagai norma dasar dalam tingkah laku manusia. Tidak bermaksud menghilangkan agama, tetapi agama tidak cukup dalam memahami tingkah laku manusia atau cara masyarakat dalam melihat, menilai dan memandang realitas praktis. Kedua, pluralisme adalah proses diferensiasi dan proses penguatan orientasi-orientasi religius, filosofis, politik dan budaya. Ia merupakan akibat dari hadirnya sekularisasi dimana norma-norma mendapat perluasan dalam pemahaman. Ketiga, krisis ideologi-ideologi (pandangan-pandangan besar) memperlihatkan ada pandangan besar yang diterima begitu saja sebagai moral atau nilai-nilai dasar yang menjadi pedoman tingkah laku. Misalnya, marxisme yang menindas nilai-nilai religius, atau komunisme yang menampilkan realitas hilangnya pandangan-pandangan mengenai dunia yang bersifat utopis, konservatif dan revolusioner. Keempat, konsumerisme adalah usaha pencapaian kesejahteraan besar-besaran dalam sudut pandang ekoknomi yang menyebabkan eksploitasi alam; menciptakan sebanyak mungkin dan mengambil sebanyak mungkin dari alam. Konsekuensinya, kerusakan alam dan kemiskinan bagi pihak masyarakat kecil. Kelima, planetarisasi (gejala globalisasi). Globalisasi telah menghasilkan berbagai macam perubahan dan kemajuan dalam kehidupan manusia. Kemajuan-kemajuan tersebut telah mempengaruhi seluruh tatanan diri dan tingkah laku seseorang dalam masyarakat, seperti life style atau gaya hidup, sikap hidup, keterbukaan besar-besaran dalam hubungan dengan orang lain, perbedaan pandangan hidup-melihat norma-norma dan perubahan tingkah laku manusia. Keenam, disrupsi merupakan bentuk penjungkirbalikan nilai-nilai dasar pedoman hidup manusia yang bisa mempengaruhi pandangan seseorang terhadap norma-norma kehidupan bersama. Ketujuh, media sosial adalah salah satu bentuk kemajuan gejala globalisasi. Kehadiran media sosial telah mempermudah pekerjaan dan kesulitann manusia dewasa ini, tetapi tak dapat dipungkiri juga sebagai locus bersuburnya realitas hoax atau penipuan. Ketiadaan etika berpikir kritis dan kreatif telah mendorong sebagian orang menjadikan media sosial sebagai sarang empuk tumbuhnya kebusukan-kebusukan dalam tingkah laku. Kedelapan, individualisme adalah salah satu sikap yang mementingkan kepentingan dan kebebasan pribadi, seperti kurangnya berkomunikasi dengan orang lain, kurangnya kepedulian dengan orang lain yang ada disekitar dan minimnya interaksi dengan orang lain. Hal ini berkaitan dengan rendahnya nilai solidaritas.

[2]K. Bertens, Etika (Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 2013), hlm. 4.

[3]Ibid., hlm. 231.

[4]Ibid.

[5]Frans Ceunfin, “Etika”. (ms) Maumere: STFK Ledalero, 2016. hlm. 43.                                                                            

[6]K. Bertens, Etika (Jakarta: Penerbit Gramedia Pustaka Utama, 2002), hlm. 149.

[7]K. Bertens, op. cit., hlm. 165.

[8]Ibid.

[9]J. Sudarminta, “Etika Keutamaan atau Etika Kewajiban?”, Basis Mei, 1991, vol. 40. no. 5, hlm. 166-167.

[10]Ibid., hlm. 168.

[11]K. Bertens, op. cit., hlm. 167.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Misa Syukur Hut Ke-51 KORPRI Tingkat Kecamatan Nita-Kabupaten Sikka-Provinsi Nusa Tenggara Timur

  Pater Stef Dampur, SVD. Oleh: Pater Ephang Yogalupi *) Hari ini, Senin, 28 November 2022. Hujan tak terbendung lagi. Ada rasa cemas singgah di hati: "Akankah hujan terus hingga malam? Bagaimana dengan misa syukur hari ulang tahun (HUT) ke-51 Korps Pegawai Republik Indonesia (KORPRI) tingkat Kecamatan Nita yang sudah sejak minggu lalu disepakati? Saya pasrah kepada Tuhan sembari meneguhkan hati camat Nita, Bapak Avelinus Yuvensius dan staf yang juga was-was. ** Dalam agenda yang disepakati, misa dimulai pukul 16.15 WITA tapi cuaca tidak mendukung. Kami sengaja menunda misa hingga hujan reda. Puji tuhan, pada pukul 16. 45 WITA hujan berhenti meskipun langit tetap tidak secerah hari sebelumnya. Ketika cuaca membaik maka bertempat di kapela susteran   fransiskan nita-maumere, kami mulai merayakan misa syukur (pkl. 16.50 wita). Sang komentator pun mulai membacakan komentar pembuka. Koor sudah siap. Lalu lagu pembukaan pun dilantunkan. Terdengar suara koor yang merdu. Di sana

Hidup Selibat dalam Gereja Katolik: Berkah dan Tantangannya | Opini Senus Nega

Senus Nega | Mahasiswa Semester VIII STFK Ledalero I.           Pendahuluan   Dalam perjalanan sejarah hingga saat ini, di dalam Gereja Katolik terdapat satu panggilan hidup yang unik dan berharga yakni pilihan hidup selibat. Panggilan itu bersifat pribadi. Berkenaan dengan itu, Karol Wojtyla menyatakan ‘bahwa ada suatu jalan khusus bagi perkembangan setiap pribadi kalau diikuti, suatu jalan khusus baginya untuk memberikan seluruh hidupnya bagi pelayanan atau pengabdian terhadap sejumlah nilai tertentu. [1] Pemberian diri merupakan substansi setiap pilihan hidup, entah menikah atau selibat. Secara sederhana, hidup selibat berarti berani memilih untuk tidak menikah dengan tujuan untuk memfokuskan pelayanan dan pemberian diri secara total kepada Tuhan. Pilihan hidup selibat bukan berarti meninggalkan seksualitas atau alergi bila berbicara mengenai seksualitas. Dalam hubungan dengan hidup selibat, seksualitas manusia tetap merupakan anugerah Tuhan yang amat luhur dan berharga. Etika Kris

NARASI KECIL JUMAT PERTAMA DESEMBER 2021

  Pater Stef Dampur, SVD. (Kegiatan Rohani Bersama Organisasi Gerejawi Sta. Anna, Paroki St. Yosef Wairpelit-KUM) Oleh: Ephang Yogalupi * I. Prolog: Sudah menjadi "tradisi" di Paroki Wairpelit Maumere bahwa misa Jumat Pertama yang didedikasikan kepada Hati Amat Kudus Tuhan Yesus senantiasa dirayakan di Gereja Pusat Paroki. Mayoritas umat yang hadir dan terlibat adalah "Mama-mama Santa Anna". II. Bersama Santa Anna Wairpelit di Napung Kabor Pernahkah Anda pergi ke Napung Kabor Maumere? Kalau Anda belum pergi, saya akan mengantar Anda ke sana lewat deskrpisi sederhana ini. Titik star kita adalah Gereja Paroki Santo Yosef Wairpelit. Kita menuju arah timur. Kita menyusuri Ribang, Woloara, Hoba dan Nangalimang. Setiba di Nangalimang, kita mesti jeli. Di tikungan halus itu biasa terjadi kecelakaan maut yang merenggut nyawa anak manusia. Anda mesti me-rem laju kendaraan Anda, entah mobil maupun sepeda motor. Saat menuju Napung Kabor, Anda mengambil rute bel