Setahun telah lewat, Fiana seperti seorang penunggu
kotak surat. Ia tetap merindukan suara ibunya untuk mengatakan perihal nama
ayahnya. Hasrat Fiana untuk mengetahui identitas ayahnya bergejolak seperti
burung. Burung perindu, selalu bernyanyi memanggil sang ayah yang tak kunjung
kembali. Sungguh bukan fisiknya yang ia dambakan tapi namanya saja, cukup
baginya untuk memuaskan kerinduannya. Sejenak ia terhenti pada setapak rembulan
yang mungkin saja pernah mencatat nama ayahnya. Tapi semuanya sia-sia sebab
rupanya rembulanpun enggan untuk mengatakan kepadanya. Fiana mulai mencurahkan
isi hatinya lewat catatan bisu yang sering ia goreskan pada diary kecilnya ”aku
rindu suara ayah”, inilah judul yang ia goreskan pada prolog tulisannya. Kalimat
per kalimat ia rangkaikan” ayah, sungguh merindukan suaramu, Suara yang
membacakan dongeng sampai aku tertidur. Tapi rasa rindu ini seperti cemeti yang
membelenggu aku, menyumbat jalan darahku pun napasku”. Keseharian hidup Fiana
dan ibunya seperti dibingkai oleh sisa-sisa pertempuran yang lolos dari
kemurkaan sang ayah. Sesekali bekas-bekas luka yang menempel pada tubuh sang
bunda kembali terbuka dan meneteskan darah. Kala itu sang ibu memilih untuk
menghindar dari sang suami lantas sang suami tidak menerima kenyataan bahwa
aksi gelapnya saat itu telah membuahkan hasil. Mungkin juga karena status sang
suami yang berasal dari keluarga berada. Segala perkara ini terbungkus rapi
dalam hati sang bunda. Baginya lebih baik menderita dengan menyimpan dendam
daripada bertahan dan akan mendatangkan penderitaan yang berujung pada maut.
***
Senja itu, Fiana si gadis jelita sedang membereskan
barang-barang cuciannya. Setiap hari tepatnya saat senja ia harus mengurusi
pekerjaan rumah sebab ibunya selalu datang di penghujung petang pulang dari
ladang. Katanya sore hari merupakan waktu yang tampan untuk membersihkan rumput
sebab sengatan matahari sudah berkurang. Jadi, wajar saja semua petani di
kampungnya selalu menyita waktu sore hari lebih banyak untuk bekerja. Malam
itu, Fiana meluangkan waktu untuk memijat ibunya yang lagi kecapean. Ibu selalu
menasehatinya supaya tekun dalam studi. “Ibu bolekah aku mengetahui identitas
ayah sekedar mengobati rasa rinduku pada ayah, mungkin hanya namanya saja”, pinta Fiana kala ia hendak menutup matanya untuk beristirahat malam. “Nanti, ada
waktunya yang tepat, ibu akan katakan”, jawaban ini terus terngiang dalam telinga
Fiana, gadis jelita yang lugu itu.
***
Kerinduan sejak kecil terbawa hingga Fiana beranjak
dewasa. Kerinduannya untuk bertemu dengan seorang ayah nampaknnya diwakili
dengan kehadiran sosok seorang teman cowoknya, Julian namanya. Fiana diberikan
kesempatan oleh ibunya untuk mengenyam pendidikan di STKIP St. Paulus Ruteng,
salah satu kampus yang berada di kota kabut itu. Semenjak mereka berkenalan dan
menghabiskan waktu bersama di kota kecil itu, mereka sudah menjalin relasi
layaknya sahabat sejati. Julian dan keluarganya sebagai pendatang. Mereka
berpindah dari kota Flores Timur ke Ruteng karena SK sang ayah dan mereka harus
menetap di kota kabut ini. Lambat laun, rasa persahabatan sudah mulai direnggut
oleh perasaan yang tidak asing lagi bagi kalangan remaja. Perasaan cintapun
mulai menguasai ruang hati Julian. Wajah Fiana seketika memerah saat Julian
mengungkapkan perasaan di waktu yang tak pernah direncanakan. Bukit Mbohang
menjadi tempat favorit Julian untuk berefresing. Ia memutuskan untuk mengajak
Fiana pergi ke tempat itu. Saat aktivitas di kampus sudah selesai, Julian
mengantar Fiana dengan sepeda motornya bermerk vixion menuju kampung Cancar. Ia
pun mulai membuka percakapan. "Oa,e besok
engko kemana le, kita bisa jalan-jalan maka” ajaknya dengan dialek khas
flores Timur. “emmm,, boleh kak" jawab Fiana dengan jelas. “besok pagi aku akan
jemput Oa, oke?” tegas Julian. ”baik kak, bolehkan aku ajak teman-temanku yang
lain, supaya seru” pinta Fiana. “bisa sekali, tapi untuk besok biar kita berdua
saja” balas Julian. Fiana pun mengurungkan niatnya untuk jalan-jalan bersama
teman-temanya dan tidak menerka lebih lanjut terkait maksud Julian mengajaknya
untuk pergi berdua saja. Malam telah usai, hari baru pun tiba. Julian segera
menuju rumah Fiana untuk menjemputnya. Sepanjang perjalanan Julian hanya bertanya kepada Fiana seputar masa SMP dan
SMA. Berdasarkan pengalaman yang diceritakan Fiana, hampir tidak ada stu
pengalaman yang menyinggung tentang hubungan khusus dengan seorang lelaki dan
hal ini memberi sinyal kepada Julian untuk menjadi orang pertama yang mengisi
ruang hati temannya. Setiba di puncak bukit Mbohang yang terletak 4 kilometer
dari kampung Cancar, Fiana berjalan menggitari beberapa rindangan pohon
sementara Julian hanya duduk menatapnya.” Mereka pun duduk di bale-bale yang
sudah di siapkan oleh pemilik taman. Julian mengusap wajah Fiana yang dihujani
oleh keringat ”mekasih kak” ucap Fiana sambil tersenyum simpul. ”Fi, menurut kamu
apakah dunia ini tetap dikatakan indah oleh seekor burung sementara ia hidup
sendirian di taman yang seindah surga ini” tanya Julian. ”Em, bagiku bisa kak,
jika itu memang pilihannya sebab kesendirian juga merupakan keindahan tapi hal
itu tidak bagiku karena aku sangat membutuhkan kehadiran orang yang kucintai”
balas Fiana dengan pancaran wajah sedih. Julian merangkul Fiana dalam
dekapannya dan tidak merespon lebih lanjut jawaban Fiana. ” Fi, aku
mencintaimu”. Ucap Julian dengan suara serak-serak basah. Fiana kehilangan
fokus mendengar ucapan Julian. Bahkan keringat melimpah. Keringat memang selalu
meleleh pada tubuhnya, apalagi mendengar atau bicara soal perasaan. Mungkin
rasa cinta dan dan psimis bertabrakan di pelabuan hatinya. Fiana tidak pernah
menyangka jika Julian yang dianggapnya sebagai teman akrabnya memiliki perasaan
lebih dari seorang sahabat. Selain itu, Julian seorang yang prinsipil dan
perfeksionis sehingga Tidak sembarang wanita boleh mengisi ruang hatinya. "Kak,
beri aku kesempatan satu hari saja”. Ungkap Fiana dengan penuh kepastian.
Akhirnya mereka kembali dan mengakhiri hari liburan dengan perasaan bahagia
namun masih penuh tanda tanya.
***
Memberi janji
untuk mengatakan perasaannya merupakan moment istimewa bagi bagi Fiana untuk
mendengarkan hati nuraninya, sebab berbicara perasaan bukan perkara biasa.
Akhirnya, Fiana pun merestui perasaan Julian. Tanpa ada moment khusus untuk
memberikan jawaban kepada Justin. Hanya lewat sederet kalimat yang tertera pada
messenger. "kak aku menerima dirimu sebagai kekasihku’. “Fi, betapa bahagianya
aku dilahirkan di dunia ini dan sekarang
kebahagianku tak mampu dibendung oleh apapun sebab aku mendapat
kepastian bahwa aku dicintai, kuharap cinta itu tak pernah redup karena aku takut kehilangan
dirimu” balas Julian penuh rasa bahagia. Kekosongan hati Julian seketika diisi
dengan kekuatan rasa dan menumpuk pada kedalaman jiwanya. Jawaban Fiana seakan
memberi daya yang tak terperi baginya dan, sepertinya ia tak ingin mentari
terbenam tuk menyaksikan momen kebahagiaanya di batas sore itu. Beginilah
jatuh cinta, puncak segala rasa, melenyapkan keseluruhan diri dengan letupan
mahadaysat untuk mengisi kekosongan lembran hati yang belum sempat diburamkan
oleh tinta jenis apapun.
***
Selama masa pacaran mereka menyembunyikan identitas
mereka khususnya keluarga dengan maksud supaya ketersembunyian ini menjadi kado
bagi kedua orang tua mereka saat pernikahan. Setiap ada waktu sisa dari kampus
Julian sering mampir ke rumah Fiana. Sapaan ramah dan penuh perhatian menjadi menu
yang selalu dicicipi Julian ketika bertandang ke rumah Fiana. Pantaslah Justin
merasa betah dan enggan tuk berlangkah kaki ketika ia hendak bertamu sebab ada
keteduhan yang Ia temukan di sana, dan keteduhan itu ia temukan dalam telaga
hati Fiana. Sejak berpacaran, rumah Fiana menjadi rumah kedua bagi Julian untuk
menghabisi waktu luangnya dari urusan kampus. Mungkin inilah strategi lelaki
perfeksinos itu untuk menyakinkan fiana bahwa ia sungguh mencintainya.
Sang wanita jelita ini memiliki latar belakang yatim.
Ia dibesarkan di bawah asuhan ibunya sejak ia masih kecil sampai sekarang. Sang
ayah meninggalkan mereka karena kasus beda agama. Akhirnya sang ayah menikah
lagi. Ibunya berkorban sebatang karang menghidupi kehidupan keluarganya. Ia tidak
mengeluh dan putus asa sebab anak semata wayangnya menjadi lilin yang selalu
membakar semangatnya. Kejadian pilu bersama sang suami, ia bungkuskan dalam
relung hati terdalam dan ia berjanji bahwa nanti ada saat yang tepat ia akan
mengungkapkan semuanya kepada putrinya Fiana.
***
Sang laki-laki memiliki orangtua yang baik hati dan
sungguh menyayanginya apalagi ia juga adalah anak semata wayang. “Julian, kapan
engkau memperkenalkan calon menantu kepada papa dan mama”, pinta sang ayah.
Ohhh,, nanti, aku akan memperkenalkannya kepada papa dan mama. Julian selalu
mencari kesempatan yang tepat untuk mempertemukan kekasihnya dengan kedua
orangtuanya. Banyak strategi yang ia pikirkan dan tibalah ia pada batas
imajinasinya. Ia mengingat tanggal kelahiran ibunya dan biasanya moment
kebahagiaan ini tidak pernah dilewatkan tanpa sesuatu yang meriah, acara
maksudnya. Sesegera mungkin ia mengirimkan pesan lewat WA kepada Fiana
sekalipun waktunya sudah larut malam. Untunglah Fiana tidak cepat istirahat
sebab ia sering menghabiskan waktu malam hari sebelum tidur untuk menyantap
novel kesayanganya berjudul ”aku dan engkau adalah satu” “Fiana keluargaku
mengundangmu untuk hadir di acara ulangtahun mamaku”. ”ohh iya Julian,, nanti
saya hadir,” balas Fiana dengan senang hati.
***
Tanpa diperkirakan pada acara ulang tahun tiba, ibu Fiana
jatuh dari tangga saat menjemur kakao di samping rumahnya, Fiana pun mengantar ibunya
ke rumah sakit. Fiana sesegera melaporkan kedaan sebenarnaya kepada Julian. Kesedihan
memadati ruang hati Fiana seperti tenaga yang terus mengumpul tiada henti saat
ia menatap ibunya yang terbaring lesuh di atas tempat tidur. Bayangan akan
kehadiran sang ayah pun mulai muncul. ”Ayah seandainya engkau ada di sini, pasti
ibu akan cepat sembuh sebab kehadiranmu menjadi obat yang mujarab untuk ibu
ketimbang jenis obat-obatan di rumah sakit ini” suara Fiana dengan tangis yang
mendalam hingga tak sadar ia tertidur di samping ibunya.
***
Tibalah, saatnya, hubungan Fiana dana Julian
dikukuhkan dalam sekramen pernikahan. Sesuai dengan ritus yang mereka yakini,
sang lelaki harus pergi ke rumah sang perempuan dan didampingi oleh kedua
orangtuanya untuk menjemput sang perempuan. Sebelum kedatangan Julian berasa
keluarganya Fiana merasakan angin aneh berhembus dari arah timur pintu masuk
rumahnya. Angin dengan sepoi-poinya yang seakan-akan ada sesuatu yang hendak ia
katakan kepada Fiana.” Mungkin ini firasatku saja, maklum sebentar lagi aku akan
menyandang status baru, sebagai seorang istri”, gumamnya dalam hati. Ketika ibu
Fiana melihat calon menantunya didampingi oleh keduaorangtuanya dan ayahnya
Julian adalah….ia berlari keluar dari rumah. Praakkkk…bunyi yang asing asing
didengar. Ibu Fiana menerima nas. Sebuah mobil menabraknya ketika ia hendak
melintasi jalan raya di depan rumahnya. Tubuh sang ibu tergeletak lemas di jalan
raya. Fiana meraihnya dan memangku ibunya dengan tangisan histeris. ”Ibu…bangun
bu..bangun, aku tak mau kehilangan ibu” teriak Fiana sambil mengusap darah yang
mengalir pada pipi sang bunda. Fiana sang buah hati menangis histeris. Sebelum
menghembuskan nafas terakhir, ia memegang erat tangan putrinya dan menyalamnya
dengan tangan Joni yang menjadi mantan suaminya dan Fiana adalah buah hati pak
Joni.”Fiana, waktunya telah genap, penantianmu akan berakhir, inilah ayahmu”
lalu ia berpaling kepada Joni”Joni inilah anakmu, kuharap engkau bisa menjaga
dan mencintainya”. Pak Joni tak mampu berkata-kata, ia hanya menunduk sebab ia
sungguh merasa bersalah dengan sikapnya beberapa tahun silam. Suasana pun
semakin redup dan tegang. Julian menguburkan rasa cintanya sebab wanita yang ia
cintai adalah kakak kandungnya. ”Fi dulu engkau menjadi kekasihku yang paling
hebat dan sekarang engkau menjadi kakakku yang sangat kusayangi, mungkin aku
sudah salah menabur benih cintaku dan sekarang aku ingin engkau bisa menerimaku
sebagai adikmu. Mereka berpelukkan dan moment ini disaksikan oleh gerimis yang
meratapi kepergian ibu Fiana juga bersukacita atas moment perjumpaan seorang
ayah dan anaknya.
***
Fiana dan Julian memulai perjalanan dengan sepasang
tangan doa. Sedikit mengelak dari situasi yang ada, tapi lambat laun mereka
mengamininya. Mereka seperti petualang yang selalu rindu singgah di tanah
kelahiran., tempat cinta mereka bersemi. Tapi kini tanah kelahiran itu telah
hilang dan terbuang dari ingatan. Sekarang tanah kelahiran itu hanya bisa
dibungkus dengan sebuah paket kecil
bernama kenangan tak bernama dan tak berasal. Keduanya memilih dan membiarkan
angin malam membawa pergi segala kenangan dan berharap besok mereka menuai
sukacita yang besar.
Mntap, terlalu krenn🙏
BalasHapusSalom. Terima kasih.
Hapus