Langsung ke konten utama

Luka Pada Tepi Penantian* | Cerpen Bertin Japa



Bertin Japa | Mahasiswa Semester VIII STFK Ledalero 

Setahun telah lewat, Fiana seperti seorang penunggu kotak surat. Ia tetap merindukan suara ibunya untuk mengatakan perihal nama ayahnya. Hasrat Fiana untuk mengetahui identitas ayahnya bergejolak seperti burung. Burung perindu, selalu bernyanyi memanggil sang ayah yang tak kunjung kembali. Sungguh bukan fisiknya yang ia dambakan tapi namanya saja, cukup baginya untuk memuaskan kerinduannya. Sejenak ia terhenti pada setapak rembulan yang mungkin saja pernah mencatat nama ayahnya. Tapi semuanya sia-sia sebab rupanya rembulanpun enggan untuk mengatakan kepadanya. Fiana mulai mencurahkan isi hatinya lewat catatan bisu yang sering ia goreskan pada diary kecilnya ”aku rindu suara ayah”, inilah judul yang ia goreskan pada prolog tulisannya. Kalimat per kalimat ia rangkaikan” ayah, sungguh merindukan suaramu, Suara yang membacakan dongeng sampai aku tertidur. Tapi rasa rindu ini seperti cemeti yang membelenggu aku, menyumbat jalan darahku pun napasku”. Keseharian hidup Fiana dan ibunya seperti dibingkai oleh sisa-sisa pertempuran yang lolos dari kemurkaan sang ayah. Sesekali bekas-bekas luka yang menempel pada tubuh sang bunda kembali terbuka dan meneteskan darah. Kala itu sang ibu memilih untuk menghindar dari sang suami lantas sang suami tidak menerima kenyataan bahwa aksi gelapnya saat itu telah membuahkan hasil. Mungkin juga karena status sang suami yang berasal dari keluarga berada. Segala perkara ini terbungkus rapi dalam hati sang bunda. Baginya lebih baik menderita dengan menyimpan dendam daripada bertahan dan akan mendatangkan penderitaan yang berujung pada maut.

***

Senja itu, Fiana si gadis jelita sedang membereskan barang-barang cuciannya. Setiap hari tepatnya saat senja ia harus mengurusi pekerjaan rumah sebab ibunya selalu datang di penghujung petang pulang dari ladang. Katanya sore hari merupakan waktu yang tampan untuk membersihkan rumput sebab sengatan matahari sudah berkurang. Jadi, wajar saja semua petani di kampungnya selalu menyita waktu sore hari lebih banyak untuk bekerja. Malam itu, Fiana meluangkan waktu untuk memijat ibunya yang lagi kecapean. Ibu selalu menasehatinya supaya tekun dalam studi. “Ibu bolekah aku mengetahui identitas ayah sekedar mengobati rasa rinduku pada ayah, mungkin hanya namanya saja”, pinta Fiana kala ia hendak menutup matanya untuk beristirahat malam. “Nanti, ada waktunya yang tepat, ibu akan katakan”, jawaban ini terus terngiang dalam telinga Fiana, gadis jelita yang lugu itu.

***

Kerinduan sejak kecil terbawa hingga Fiana beranjak dewasa. Kerinduannya untuk bertemu dengan seorang ayah nampaknnya diwakili dengan kehadiran sosok seorang teman cowoknya, Julian namanya. Fiana diberikan kesempatan oleh ibunya untuk mengenyam pendidikan di STKIP St. Paulus Ruteng, salah satu kampus yang berada di kota kabut itu. Semenjak mereka berkenalan dan menghabiskan waktu bersama di kota kecil itu, mereka sudah menjalin relasi layaknya sahabat sejati. Julian dan keluarganya sebagai pendatang. Mereka berpindah dari kota Flores Timur ke Ruteng karena SK sang ayah dan mereka harus menetap di kota kabut ini. Lambat laun, rasa persahabatan sudah mulai direnggut oleh perasaan yang tidak asing lagi bagi kalangan remaja. Perasaan cintapun mulai menguasai ruang hati Julian. Wajah Fiana seketika memerah saat Julian mengungkapkan perasaan di waktu yang tak pernah direncanakan. Bukit Mbohang menjadi tempat favorit Julian untuk berefresing. Ia memutuskan untuk mengajak Fiana pergi ke tempat itu. Saat aktivitas di kampus sudah selesai, Julian mengantar Fiana dengan sepeda motornya bermerk vixion menuju kampung Cancar. Ia pun mulai membuka percakapan. "Oa,e besok engko kemana le, kita bisa jalan-jalan maka” ajaknya dengan dialek khas flores Timur. “emmm,, boleh kak" jawab Fiana dengan jelas. “besok pagi aku akan jemput Oa, oke?” tegas Julian. ”baik kak, bolehkan aku ajak teman-temanku yang lain, supaya seru” pinta Fiana. “bisa sekali, tapi untuk besok biar kita berdua saja” balas Julian. Fiana pun mengurungkan niatnya untuk jalan-jalan bersama teman-temanya dan tidak menerka lebih lanjut terkait maksud Julian mengajaknya untuk pergi berdua saja. Malam telah usai, hari baru pun tiba. Julian segera menuju rumah Fiana untuk menjemputnya. Sepanjang perjalanan Julian hanya  bertanya kepada Fiana seputar masa SMP dan SMA. Berdasarkan pengalaman yang diceritakan Fiana, hampir tidak ada stu pengalaman yang menyinggung tentang hubungan khusus dengan seorang lelaki dan hal ini memberi sinyal kepada Julian untuk menjadi orang pertama yang mengisi ruang hati temannya. Setiba di puncak bukit Mbohang yang terletak 4 kilometer dari kampung Cancar, Fiana berjalan menggitari beberapa rindangan pohon sementara Julian hanya duduk menatapnya.” Mereka pun duduk di bale-bale yang sudah di siapkan oleh pemilik taman. Julian mengusap wajah Fiana yang dihujani oleh keringat ”mekasih kak” ucap Fiana sambil tersenyum simpul. ”Fi, menurut kamu apakah dunia ini tetap dikatakan indah oleh seekor burung sementara ia hidup sendirian di taman yang seindah surga ini” tanya Julian. ”Em, bagiku bisa kak, jika itu memang pilihannya sebab kesendirian juga merupakan keindahan tapi hal itu tidak bagiku karena aku sangat membutuhkan kehadiran orang yang kucintai” balas Fiana dengan pancaran wajah sedih. Julian merangkul Fiana dalam dekapannya dan tidak merespon lebih lanjut jawaban Fiana. ” Fi, aku mencintaimu”. Ucap Julian dengan suara serak-serak basah. Fiana kehilangan fokus mendengar ucapan Julian. Bahkan keringat melimpah. Keringat memang selalu meleleh pada tubuhnya, apalagi mendengar atau bicara soal perasaan. Mungkin rasa cinta dan dan psimis bertabrakan di pelabuan hatinya. Fiana tidak pernah menyangka jika Julian yang dianggapnya sebagai teman akrabnya memiliki perasaan lebih dari seorang sahabat. Selain itu, Julian seorang yang prinsipil dan perfeksionis sehingga Tidak sembarang wanita boleh mengisi ruang hatinya. "Kak, beri aku kesempatan satu hari saja”. Ungkap Fiana dengan penuh kepastian. Akhirnya mereka kembali dan mengakhiri hari liburan dengan perasaan bahagia namun masih penuh tanda tanya.

***

 Memberi janji untuk mengatakan perasaannya merupakan moment istimewa bagi bagi Fiana untuk mendengarkan hati nuraninya, sebab berbicara perasaan bukan perkara biasa. Akhirnya, Fiana pun merestui perasaan Julian. Tanpa ada moment khusus untuk memberikan jawaban kepada Justin. Hanya lewat sederet kalimat yang tertera pada messenger. "kak aku menerima dirimu sebagai kekasihku’. “Fi, betapa bahagianya aku dilahirkan di dunia ini dan sekarang  kebahagianku tak mampu dibendung oleh apapun sebab aku mendapat kepastian bahwa aku dicintai, kuharap cinta itu tak pernah redup karena aku takut kehilangan dirimu” balas Julian penuh rasa bahagia. Kekosongan hati Julian seketika diisi dengan kekuatan rasa dan menumpuk pada kedalaman jiwanya. Jawaban Fiana seakan memberi daya yang tak terperi baginya dan, sepertinya ia tak ingin mentari terbenam tuk menyaksikan momen kebahagiaanya di batas sore itu. Beginilah jatuh cinta, puncak segala rasa, melenyapkan keseluruhan diri dengan letupan mahadaysat untuk mengisi kekosongan lembran hati yang belum sempat diburamkan oleh tinta jenis apapun.

***

Selama masa pacaran mereka menyembunyikan identitas mereka khususnya keluarga dengan maksud supaya ketersembunyian ini menjadi kado bagi kedua orang tua mereka saat pernikahan. Setiap ada waktu sisa dari kampus Julian sering mampir ke rumah Fiana. Sapaan ramah dan penuh perhatian menjadi menu yang selalu dicicipi Julian ketika bertandang ke rumah Fiana. Pantaslah Justin merasa betah dan enggan tuk berlangkah kaki ketika ia hendak bertamu sebab ada keteduhan yang Ia temukan di sana, dan keteduhan itu ia temukan dalam telaga hati Fiana. Sejak berpacaran, rumah Fiana menjadi rumah kedua bagi Julian untuk menghabisi waktu luangnya dari urusan kampus. Mungkin inilah strategi lelaki perfeksinos itu untuk menyakinkan fiana bahwa ia sungguh mencintainya.

Sang wanita jelita ini memiliki latar belakang yatim. Ia dibesarkan di bawah asuhan ibunya sejak ia masih kecil sampai sekarang. Sang ayah meninggalkan mereka karena kasus beda agama. Akhirnya sang ayah menikah lagi. Ibunya berkorban sebatang karang menghidupi kehidupan keluarganya. Ia tidak mengeluh dan putus asa sebab anak semata wayangnya menjadi lilin yang selalu membakar semangatnya. Kejadian pilu bersama sang suami, ia bungkuskan dalam relung hati terdalam dan ia berjanji bahwa nanti ada saat yang tepat ia akan mengungkapkan semuanya kepada putrinya Fiana.

***

Sang laki-laki memiliki orangtua yang baik hati dan sungguh menyayanginya apalagi ia juga adalah anak semata wayang. “Julian, kapan engkau memperkenalkan calon menantu kepada papa dan mama”, pinta sang ayah. Ohhh,, nanti, aku akan memperkenalkannya kepada papa dan mama. Julian selalu mencari kesempatan yang tepat untuk mempertemukan kekasihnya dengan kedua orangtuanya. Banyak strategi yang ia pikirkan dan tibalah ia pada batas imajinasinya. Ia mengingat tanggal kelahiran ibunya dan biasanya moment kebahagiaan ini tidak pernah dilewatkan tanpa sesuatu yang meriah, acara maksudnya. Sesegera mungkin ia mengirimkan pesan lewat WA kepada Fiana sekalipun waktunya sudah larut malam. Untunglah Fiana tidak cepat istirahat sebab ia sering menghabiskan waktu malam hari sebelum tidur untuk menyantap novel kesayanganya berjudul ”aku dan engkau adalah satu” “Fiana keluargaku mengundangmu untuk hadir di acara ulangtahun mamaku”. ”ohh iya Julian,, nanti saya hadir,” balas Fiana dengan senang hati.

***

Tanpa diperkirakan pada acara ulang tahun tiba, ibu Fiana jatuh dari tangga saat menjemur kakao di samping rumahnya, Fiana pun mengantar ibunya ke rumah sakit. Fiana sesegera melaporkan kedaan sebenarnaya kepada Julian. Kesedihan memadati ruang hati Fiana seperti tenaga yang terus mengumpul tiada henti saat ia menatap ibunya yang terbaring lesuh di atas tempat tidur. Bayangan akan kehadiran sang ayah pun mulai muncul. ”Ayah seandainya engkau ada di sini, pasti ibu akan cepat sembuh sebab kehadiranmu menjadi obat yang mujarab untuk ibu ketimbang jenis obat-obatan di rumah sakit ini” suara Fiana dengan tangis yang mendalam hingga tak sadar ia tertidur di samping ibunya.

***

Tibalah, saatnya, hubungan Fiana dana Julian dikukuhkan dalam sekramen pernikahan. Sesuai dengan ritus yang mereka yakini, sang lelaki harus pergi ke rumah sang perempuan dan didampingi oleh kedua orangtuanya untuk menjemput sang perempuan. Sebelum kedatangan Julian berasa keluarganya Fiana merasakan angin aneh berhembus dari arah timur pintu masuk rumahnya. Angin dengan sepoi-poinya yang seakan-akan ada sesuatu yang hendak ia katakan kepada Fiana.” Mungkin ini firasatku saja, maklum sebentar lagi aku akan menyandang status baru, sebagai seorang istri”, gumamnya dalam hati. Ketika ibu Fiana melihat calon menantunya didampingi oleh keduaorangtuanya dan ayahnya Julian adalah….ia berlari keluar dari rumah. Praakkkk…bunyi yang asing asing didengar. Ibu Fiana menerima nas. Sebuah mobil menabraknya ketika ia hendak melintasi jalan raya di depan rumahnya. Tubuh sang ibu tergeletak lemas di jalan raya. Fiana meraihnya dan memangku ibunya dengan tangisan histeris. ”Ibu…bangun bu..bangun, aku tak mau kehilangan ibu” teriak Fiana sambil mengusap darah yang mengalir pada pipi sang bunda. Fiana sang buah hati menangis histeris. Sebelum menghembuskan nafas terakhir, ia memegang erat tangan putrinya dan menyalamnya dengan tangan Joni yang menjadi mantan suaminya dan Fiana adalah buah hati pak Joni.”Fiana, waktunya telah genap, penantianmu akan berakhir, inilah ayahmu” lalu ia berpaling kepada Joni”Joni inilah anakmu, kuharap engkau bisa menjaga dan mencintainya”. Pak Joni tak mampu berkata-kata, ia hanya menunduk sebab ia sungguh merasa bersalah dengan sikapnya beberapa tahun silam. Suasana pun semakin redup dan tegang. Julian menguburkan rasa cintanya sebab wanita yang ia cintai adalah kakak kandungnya. ”Fi dulu engkau menjadi kekasihku yang paling hebat dan sekarang engkau menjadi kakakku yang sangat kusayangi, mungkin aku sudah salah menabur benih cintaku dan sekarang aku ingin engkau bisa menerimaku sebagai adikmu. Mereka berpelukkan dan moment ini disaksikan oleh gerimis yang meratapi kepergian ibu Fiana juga bersukacita atas moment perjumpaan seorang ayah dan anaknya.

***

Fiana dan Julian memulai perjalanan dengan sepasang tangan doa. Sedikit mengelak dari situasi yang ada, tapi lambat laun mereka mengamininya. Mereka seperti petualang yang selalu rindu singgah di tanah kelahiran., tempat cinta mereka bersemi. Tapi kini tanah kelahiran itu telah hilang dan terbuang dari ingatan. Sekarang tanah kelahiran itu hanya bisa dibungkus dengan  sebuah paket kecil bernama kenangan tak bernama dan tak berasal. Keduanya memilih dan membiarkan angin malam membawa pergi segala kenangan dan berharap besok mereka menuai sukacita yang besar. 

 *Cerpen ini pernah dipublikasikan pada Pos Kupang edisi, 16 Juni 2019.

Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Misa Syukur Hut Ke-51 KORPRI Tingkat Kecamatan Nita-Kabupaten Sikka-Provinsi Nusa Tenggara Timur

  Pater Stef Dampur, SVD. Oleh: Pater Ephang Yogalupi *) Hari ini, Senin, 28 November 2022. Hujan tak terbendung lagi. Ada rasa cemas singgah di hati: "Akankah hujan terus hingga malam? Bagaimana dengan misa syukur hari ulang tahun (HUT) ke-51 Korps Pegawai Republik Indonesia (KORPRI) tingkat Kecamatan Nita yang sudah sejak minggu lalu disepakati? Saya pasrah kepada Tuhan sembari meneguhkan hati camat Nita, Bapak Avelinus Yuvensius dan staf yang juga was-was. ** Dalam agenda yang disepakati, misa dimulai pukul 16.15 WITA tapi cuaca tidak mendukung. Kami sengaja menunda misa hingga hujan reda. Puji tuhan, pada pukul 16. 45 WITA hujan berhenti meskipun langit tetap tidak secerah hari sebelumnya. Ketika cuaca membaik maka bertempat di kapela susteran   fransiskan nita-maumere, kami mulai merayakan misa syukur (pkl. 16.50 wita). Sang komentator pun mulai membacakan komentar pembuka. Koor sudah siap. Lalu lagu pembukaan pun dilantunkan. Terdengar suara koor yang merdu. Di sana

Hidup Selibat dalam Gereja Katolik: Berkah dan Tantangannya | Opini Senus Nega

Senus Nega | Mahasiswa Semester VIII STFK Ledalero I.           Pendahuluan   Dalam perjalanan sejarah hingga saat ini, di dalam Gereja Katolik terdapat satu panggilan hidup yang unik dan berharga yakni pilihan hidup selibat. Panggilan itu bersifat pribadi. Berkenaan dengan itu, Karol Wojtyla menyatakan ‘bahwa ada suatu jalan khusus bagi perkembangan setiap pribadi kalau diikuti, suatu jalan khusus baginya untuk memberikan seluruh hidupnya bagi pelayanan atau pengabdian terhadap sejumlah nilai tertentu. [1] Pemberian diri merupakan substansi setiap pilihan hidup, entah menikah atau selibat. Secara sederhana, hidup selibat berarti berani memilih untuk tidak menikah dengan tujuan untuk memfokuskan pelayanan dan pemberian diri secara total kepada Tuhan. Pilihan hidup selibat bukan berarti meninggalkan seksualitas atau alergi bila berbicara mengenai seksualitas. Dalam hubungan dengan hidup selibat, seksualitas manusia tetap merupakan anugerah Tuhan yang amat luhur dan berharga. Etika Kris

NARASI KECIL JUMAT PERTAMA DESEMBER 2021

  Pater Stef Dampur, SVD. (Kegiatan Rohani Bersama Organisasi Gerejawi Sta. Anna, Paroki St. Yosef Wairpelit-KUM) Oleh: Ephang Yogalupi * I. Prolog: Sudah menjadi "tradisi" di Paroki Wairpelit Maumere bahwa misa Jumat Pertama yang didedikasikan kepada Hati Amat Kudus Tuhan Yesus senantiasa dirayakan di Gereja Pusat Paroki. Mayoritas umat yang hadir dan terlibat adalah "Mama-mama Santa Anna". II. Bersama Santa Anna Wairpelit di Napung Kabor Pernahkah Anda pergi ke Napung Kabor Maumere? Kalau Anda belum pergi, saya akan mengantar Anda ke sana lewat deskrpisi sederhana ini. Titik star kita adalah Gereja Paroki Santo Yosef Wairpelit. Kita menuju arah timur. Kita menyusuri Ribang, Woloara, Hoba dan Nangalimang. Setiba di Nangalimang, kita mesti jeli. Di tikungan halus itu biasa terjadi kecelakaan maut yang merenggut nyawa anak manusia. Anda mesti me-rem laju kendaraan Anda, entah mobil maupun sepeda motor. Saat menuju Napung Kabor, Anda mengambil rute bel