Pandemi Covid-19 dan Eksistensi Manusia sebagai Substansi dan Subjek yang Terbatas | Opini Senus Nega
Dunia global saat ini
sedang dilanda ancaman wabah mematikan, Covid-19. Tidak sekadar mewabah, virus
ini pun jadi pandemi. Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) pada 11 Maret 2020 resmi
mengumumkan bahwa Coronavirus Disease (Covid-19) telah menjadi pandemi karena
semakin meluas ke seluruh dunia. Virus yang awalnya hanya
menghantam warga kota Wuhan, kini sudah mendunia dan hingga hari ini setidaknya
sudah menewaskan jutaan nyawa di seluruh dunia. Covid-19 begitu mudah
menyebarkan wabahnya ke mana saja dan menghantam siapa saja tanpa pandang suku,
agama, golongan atau ras. Ia menjadi masa kegelapan abad 21yang setiap hari
semakin meremukkan kehidupan umat manusia. Di Indonesia, Covid-19 ini tersebar
sedemikian cepat yang menuntut penanganan yang serius dan konsekuen.
Pandemi Covid-19 ini
membawa banyak dampak negatif bagi kehidupan manusia. Pada dasarnya manusia itu
ada sebagai substansi dan subjek yang otonom tetapi tetap selalu dalam korelasi
dengan yang lain. Manusia sebagai eksistensi adalah makhluk yang mengada secara
sadar bersama yang lain dalam dunia. Kita menemukan diri dalam suatu pluralitas
atau keanekaan asali yang tak terbantahkan. Artinya hanya keluar dari diri
kepada yang lain ia sanggup menjadi diri sendiri.
Berhadapan dengan ancaman pandemi Covid-19 ini, kita mau tidak mau memikirkan kembali akan eksistensi manusia sebagai substansi dan subjek yang terbatas. Sebagai substansi, manusia memiliki tiga ciri khas, yakni: tertentu, utuh dan otonomi. Tertentu dapat dijelaskan bahwa manusia itu tertentu, unik atau berbeda dengan manusia lain. Utuh hendak menegaskan bahwa semua tindakan manusia selalu terhubung yang menjadikan manusia utuh. Kemudian otonom menerangkan bahwa manusia itu dapat berdiri di atas kaki sendiri. Namun, sebenarnya manusia itu merupakan substansi yang terbatas. Kendati manusia itu tertentu atau unik, ia tetap mencari jati dirinya sepanjang hidup. Berhadapan dengan ancaman wabah Covid-19, manusia juga merasa terganggu, terusik atau bahkan kewalahan dalam upaya menemukan dirinya sendiri. Oleh karena itu, upaya menemukan jati diri itu bukanlah perkara gampang. Ia senantiasa berhadapan dengan aneka problem pelik yang datang silih berganti menjejali hidupnya. Kemudian, utuh itu terbatas, karena dalam diri manusia ada banyak pertentangan, antara yang baik dan yang jahat. Ada keterpecahan diri. Di samping merasakan dan menikmati kegembiraan dan kebahagiaan, manusia juga berbenturan dengan realitas yang mengguncangkan atau menakutkan, seperti virus Corona yang kini sedang mewabah di seluruh dunia.
Covid-19
membuat manusia berada dalam situasi pertentangan untuk menjalankan hidupnya
setiap hari. Di masa pandemi ini, segenap manusia di dunia harus menanggung
derita global yang disebabkan oleh virus Corona. Alih-alih mendambakan
kebahagiaan, yang hadir justru ancaman virus yang mematikan. Otonom itu terbatas
karena bergantung pada hal-hal lain di luar dirinya. Misalnya bergantung pada
cuaca dan segala situasi sekitar. Pada dasarnya manusia tidak selalu otonom.
Keberadaannya senantiasa dipengaruhi juga oleh situasi dan kondisi yang
melingkupinya. Manusia yang masih hidup pada zaman sekarang tidak bisa bebas
dari cengkraman menakutkan wabah virus Corona. Saat pertama kali mendengar dan
menyaksikan ribuan korban jiwa akibat pandemi Covid-19 ini, setiap orang pasti
merasa terhenyak dan bertanya-tanya apa sesungguhnya yang sedang terjadi. Hal
itu menunjukkan bahwa manusia memang bergantung pada hal-hal lain di luar
dirinya. Wabah Covid-19 bukan hanya menakutkan bagi segenap insan tetapi juga
membuka kesadaran akan eksistensinya sebagai substansi yang terbatas. Manusia
adalah makhluk terbatas, yang juga tidak berdaya di hadapan aneka ancaman yang
mematikan.
Sebagai subjek, manusia
memiliki 4 ciri khas, yaitu: pengertian, kehendak, rasa dan perwujudan diri
melalui kerja. Berkenaan dengan ciri pengertian, sebagai subjek, manusia menyadari
situasi di sekelilingnya. Dengan itu pun manusia dapat memahami dan menyadari
dirinya sendiri. Kemudian, semua subjek sesungguhnya mempunyai kehendak. Dengan
kehendak, setiap orang dapat menginginkan sesuatu. Manusia menghendaki ada
perwujudan dirinya. Manusia senantiasa menginginkan yang terbaik bagi dirinya.
Selain itu, manusia juga memiliki rasa. Ia dapat merasakan banyak hal dalam
hidup di dunia ini. Ada rasa yang paling tinggi dalam diri manusia, yakni rasa
tanggung jawab, rasa kasih sayang, rasa peduli, simpati, empati, dll. Yang
terakhir adalah ada ciri khas perwujudan diri melalui kerja. Manusia ingin
mewujudkan dirinya melalui rupa-rupa kerja.
Namun, pertanyaan
pentingnya adalah benarkah manusia itu subjek? Manusia sesungguhnya subjek,
tetapi sebagai subjek yang terbatas. Terkait ciri khas yang memiliki
pengertian, dalam hidupnya manusia justru sering melakukan tindakan irasional.
Manusia tidak lagi memahami dirinya dengan baik, yaitu dengan tidak menerima
kehadiran orang lain atau melakukan hal-hal yang tidak masuk akal dan berdaya
destruktif. Dalam hubungan dengan ini, Covid-19 yang kini sedang mengguncang
dunia bukan datang begitu saja dari alam lingkungan. Atau virus ini tidak
terjadi secara alamiah, tetapi justru karena ulah manusia yang irasional,
gegabah dan kadang tidak berpikir panjang akan akibat yang bahkan berdaya
menewaskan banyak orang di dunia. Virus Corona sebenarnya terjadi karena
keteledoran manusia itu sendiri, karena selalu mau mencoba hal-hal baru tanpa
memikirkan dampak negatif dari perbuatan tersebut. Kemudian, sebagai subjek
yang memiliki kehendak, sebenarnya manusia sangat kuat ditentukan oleh faktor
internal dan eksternal. Faktor dari luar, kehendak manusia bisa ditentukan oleh
tekanan sosial, alam lingkungan, dan masyarakat. Kini, kehendak manusia untuk
bertindak atau mewujudkan diri sangat ditentukan oleh gencarnya wabah pandemi
Covid-19 yang menakutkan. Ia tidak lagi ditentukan oleh faktor-faktor dari
dalam dirinya sendiri. Masa pandemi Covid-19 ini membuat manusia terhenyak dan
mau tidak mau harus meminimalisasi keinginan-keinginan yang selama ini hendak
diwujudkan. Manusia dipaksa untuk menahan diri dan mesti bisa bekerja sama,
membangun solidaritas sosial untuk menanggulangi bahaya pandemi Covid-19
ini.
Sebagai subjek yang
terbatas yang memiliki rasa, manusia sesungguhnya sering dihantui oleh rasa
cemas, takut, putus asa, dendam dan benci. Semuanya itu dapat menghancurkan
manusia itu sendiri. Manusia pasti akan mengalami keterpecahan di dalam
dirinya. Di dalam cengkraman Covid-19, manusia pasti merasa takut, cemas dan
bahkan putus asa untuk melanjutkan perjuangan hidup. Ketakutan, kecemasan
keputusasaan itu menunjukkan eksistensi manusia yang lemah dan tak berdaya.
Kini, segenap insan di bawah kolong langit ini seolah-olah pasrah dan tidak
kuat lagi untuk berjuang melawan ganasnya virus Corona. Selain cemas dan takut
karena dihantui oleh pandemi ini, banyak keluarga juga yang harus menanggung
kesedihan mendalam oleh karena meninggalnya orang-orang tercinta, orangtua,
anak atau saudara-saudari akibat terinfeksi virus Corona. Yang terakhir, dalam
ciri perwujudan diri melalui kerja, terkadang kerja-kerja manusia juga ditandai
oleh banyak kegagalan. Munculnya wabah Covid-19 membuktikan bahwa karya manusia
untuk mencoba hal-hal baru terkadang gagal dan bahkan dapat membawa bencana
bagi kehidupan manusia sendiri. Manusia tidak selalu sempurna mewujudkan diri
melalui karya-karyanya. Virus Corona tidak muncul secara alamiah, tetapi
disebabkan oleh cara kerja manusia yang banyak kali salah, eksploitatif, dan
berdaya destruktif.
Kesimpulannya bahwa
Covid-19 membawa aneka dampak negatif bagi manusia. Pandemi Covid-19 dapat
menegaskan kembali atau menyadarkan manusia akan eksistensinya sebagai
substansi dan subjek yang terbatas. Barangkali tidak berlebihan bahwa di bawah
cengkraman Covid-19 ini, saya dan kita semua akhirnya mengenal diri kita
sebagai makhluk yang lemah, tak berdaya atau sebagai substansi dan subjek yang
terbatas.
Komentar
Posting Komentar