Langsung ke konten utama

Bahaya Kekerasan Psikis Terhadap Perempuan di Media Sosial | Opini Aris Kapu

     

Pendahuluan           

Di kancah global, problem kekerasan terhadap perempuan menjadi sangat urgen untuk diperhatikan. Negara Indonesia tak luput dari problem kekerasan terhadap perempuan. Ragam kekerasan itu timbul dalam berbagai cara seperti kekerasan fisik dan kekerasan psikis. Di era digital yang mengglobal dewasa ini, tindak kekerasan mendapat modus baru untuk eksis. Modus baru itu sedang melanda di Indonesia. Adapun modus yang lazim muncul beberapa tahun terakhir ini ialah kekerasan psikis-seksual terhadap perempuan di media sosial.

Merujuk pada catatan tahunan (CATAHU) Komnas Perempuan 2020, sepanjang tahun 2019 tercatat ada 431.471 kasus kekerasan terhadap perempuan. Angka ini terus meningkat dalam kurun waktu 12 tahun, dengan presentase 792%. Adapun, kekerasan berbasis daring terhadap perempuan lewat platform media sosial juga terus meningkat. Dilaporkan, sepanjang 2019 ada 281 (meningkat dari 97kasus) kasus yang dilaporkan langsung ke Komnas Perempuan, dan bahwa kekerasan ini (cyber harassment) meningkat 300% dari tahun-tahun sebelumnya.[1]

Merunut data dan fakta yang telah dipaparkan, tulisan ini bermaksud mengulas secara khusus kekerasan psikis terhadap perempuan di media sosial dari perspektif sosiologi masalah sosial. Sebelum itu, akan dibahas secara singkat definisi tentang kekerasan terhadap perempuan beserta gambaran masalahnya. Lalu, dijelaskan tentang sebab-sebab terjadinya kekerasan psikis terhadap perempuan di media sosial lewat pendekatan sosiologi masalah sosial dan sekaligus menawarkan beberapa solusi alternatif.

 

Konsep Singkat Kekerasan Terhadap Perempuan

Definisi Kekerasan terhadap Perempuan

Umumnya, terdapat ragam definisi tentang kekerasan terhadap perempuan. Berhubung ragamnya definisi tersebut, penulis hanya memaparkan dua definisi. Pertama, menurut deklarasi PBB tentang Penghapusan Kekerasan terhadap Perempuan mendefinisikan kekerasan terhadap perempuan sebagai: “setiap tindakan kekerasan berbasis gender yang berakibat, atau kemungkinan berakibat pada penderitaan fisik, seksual atau psikologis perempuan, termasuk ancaman tindakan semacam itu, pemaksaan atau perampasan kebebasan sewenang-wenang yang terjadi di depan umum maupun dalam kehidupan pribadi.”[2]

Kedua, definisi yang berangkat dari Undang-undang Nomor 23 tahun 2004. Dalam UU tersebut didefinisikan bahwa, “setiap perbuatan kepada seseorang terutama perempuan, yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis, dan/atau penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan melawan hukum.”[3]

Kedua definisi di atas menggambarkan bahwa kekerasan terhadap perempuan merupakan kekerasan berbasis gender yang mengakibatkan penderitaan dan sengsara secara fisik, psikis, psikologis, dan seksual. Dasar dari tindakan ini berupa pemaksaan dan perampasan yang menghalangi kebebasan perempuan.

 

Bentuk-Bentuk Kekerasan terhadap Perempuan

Ada begitu banyak bentuk-bentuk kekerasan terhadap perempuan. Komnas PPA Indonesia misalnya menjabarkan 15 buah bentuk kekerasan.[4] Namun, untuk kepentingan tulisan, hanya dijabarkan empat bentuk kekerasan terhadap perempuan. Menurut Martha, kekerasan terhadap perempuan dibagi ke dalam empat bentuk meliputi[5]:

1. Kekerasan fisik (physical abuse), seperti tamparan, menendang, pukulan, menjambak, meludah, menusuk, mendorong, memukul dengan senjata.

2.  Kekerasan psikis/emosional (emotional abuse) seperti rasa cemburu atau rasa memiliki yang berlebihan, merusak barang-barang milik pribadi, mengancam untuk bunuh diri, melakukan pengawasan dan manipulasi, mengisolasi dari keluarga dan kawan-kawan, dicaci maki, mengancam kehidupan pasangannya, dan menanamkan perasaan takut melalui intimidasi.

3. Kekerasan ekonomi (economic abuse) seperti membuat ketergantungan yang besar secara ekonomi, melakukan kontrol yang ketat terhadap penghasilan, dan lain-lain.

4. Kekerasan seksual (sexual abuse) seperti memaksa berhubungan intim, mendesak hubungan seks setelah melakukan penganiayaan, dan lain sebagainya.

Tentu masih banyak lagi bentuk-bentuk kekerasan terhadap perempuan. Namun bahwa, empat bentuk kekerasan terhadap perempuan yang telah dijabarkan merupakan bentuk-bentuk dasar, karena lazim terjadi. Untuk itu, keempat bentuk kekerasan tersebut cukup representatif dan merangkul bentuk-bentuk lain.

 

Realitas Kekerasan Psikis Terhadap Perempuan di Media Sosial

Seperti telah dijelaskan sebelumnya, kekerasan psikis terhadap perempuan di media sosial merupakan pola baru dari bentuk kekerasan itu sendiri. Bila sebelumnya kekerasan terhadap perempuan sering terjadi di dunia nyata, pola kekerasan di media sosial cenderung terjadi di dunia maya, yang berbasis dalam jaringan (daring). Di sana, perempuan diekspos dan dieksploitasi secara masif, yang rentan menimbulkan trauma psikis.

Menurut hasil survei Plan International yang melibatkan 14.000 anak berusia 14-25 tahun di 22 negara, termasuk Indonesia, tercatat 58% dari perempuan yang mengalami kekerasan secara daring. Sebanyak 50% responden juga mengaku lebih banyak menghadapi pelecehan daring ketimbang luring (luar jaringan). Insiden paling umum terjadi di platform media sosial meliputi Facebook (39%), Instagram (23%), Whatsapp (14%), Snapchat (10%), Twitter (9%), dan Tik-Tok (6%). Adapun di Indonesia, tercatat 38% responden yang mengalami kekerasan di media sosial. Angka ini terlihat cukup rendah, namun bukan tak mungkin kasus ini akan terus meningkat dari tahun ke tahun, seperti telah tercacat dalam CATAHU Komnas Perempuan.[6]

Plan International menambahkan, bentuk-bentuk kekerasan yang paling umum dilancarkan di media sosial terhadap perempuan ialah bahasa kasar dan penghinaan (59%), diikuti dengan bodyshaming dan acaman kekerasan seksual (39%).[7] Tentu bahwa, bentuk umum dari kekerasan tersebut memberi dampak psikis dan traumatis bagi perempuan, karena mereka menjadi sasaran empuk pelecehan seksual. Hal tersebut turut pula diikuti dengan ketakutan karena bahaya ancaman atau intimidasi dan manipulasi, sebab kekerasan yang dilakukan di media sosial dapat menyebar dengan cepat akibat situasi keterhubungan atau dengan kata lain cepat viral.

Selain bentuk-bentuk kekerasan yang paling umum, terdapat beberapa bentuk khusus yang menjadi modus kekerasan psikis terhadap perempuan. Menurut Ellen Kusuma, selaku Divisi Keamanan Online Southeast Asia Freedom of  Expression Network (SAFEnet), setidaknya terdapat empat bentuk pola atau modus yang sering terjadi dalam kasus kekerasan terhadap perempuan di media sosial, yakni[8]:

1) Revenge Porn. Dalam kasus ini, pelaku menyebarkan konten intim yang menampilkan keseluruhan fisik korban. Konten tersebut dibagikan melalui berbagai platform. Motif utama perbuatan ini ialah balas dendam karena tidak menerima perlakuan korban. Perempuan sering menjadi korban dari motif ini.

2) Sextortion. Ini merupakan penyebaran konten intim dengan motif tujuan, pelaku ingin memeras korban seperti memeras uang dan meminta korban untuk mengirimkan konten intim lainnya. Bila tidak dilakukan, intimidasi akan terus berlanjut, hingga memengaruhi kondisi psikis perempuan berupa timbulnya kecemasan, ketakutan atau depresi.

3) Doxing, merupakan kasus penyebaran informasi dan identitas pribadi seseorang yang dibagikan ke ranah media sosial. Doxing seringkali digunakan pelaku untuk memperjualbelikan data pribadi korban. Setelah itu, data korban dikumpulkan tanpa sepengetahuan si korban sendiri dalam sebuah konten khusus semacam “bank”. Melalui “bank” tersebut, orang ramai-ramai mengonsumsi isi konten ketika konten telah diunggah.

4) Impersonating. Bentuk ini merupakan suatu tindakan pemalsuan akun yang tujuannya untuk mencemarkan nama baik korban. Dalam hal ini, pelaku membuat akun media sosial palsu yang menampilkan identitas korban berupa konten sensitif seperti pornografi, lalu berupaya merusak reputasinya di media sosial.

Keempat bentuk-bentuk kekerasan terhadap perempuan di media sosial membawa dampak psikis yang luar biasa. Sebab, perempuan menjadi malu atas kejadian yang menimpa mereka di media sosial. Mereka mendapat hujatan, diskriminasi cyberstalking (korban selalu dikuntit/diawasi), dan tercorengnya harga diri.[9]

Atas masalah ini, pemerintah sudah bergerak untuk menanggulangi bahaya kekerasan atau tindak kejahatan di media sosial lewat kebijakan regulasi Undang-undang Nomor 19 tahun 2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik atau lebih dikenal dnegan UU ITE. Regulasi ini dibuat utuk mengendalikan bahaya persebaran tindak kriminal atau kejahatan siber yang muncul lewat media sosial, seperti hoaks, ujaran kebencian, kekerasan, dan lain sebagainya.

Namun, hal tersebut belum cukup mempan untuk melindungi korban kekerasan di media sosial, khususnya kaum perempuan. Telah ada upaya dari pemerintah sendiri untuk melindungi korban perempuan dari tindakan kekerasan lewat RUU Penghapusan Kekerasan Seksual atau lebih dikenal dengan RUU PKS. Nahasnya, RUU ini tidak dapat ditingkatkan statusnya menjadi Undang-undang karena timbul argumen pro dan kontra. Merilis laporan Komisi Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak madegnya legislasi RUU PKS ditengarai oleh dua kubu yang saling berseberangan. [10] Tarik ulur perdebatan RUU ini tidak menemui titik terang hingga menghambat proses legislasi.

 

Analisis Pendekatan Sosiologi Masalah Sosial

Masalah kekerasan secara psikis terhadap perempuan yang terjadi di media sosial ini dianalisis dengan menggunakan pendekatan sosiologi masalah-masalah sosial, yakni pendekatan individu dan sistem.[11] Dalam kasus ini, hanya ada tiga variasi yang diambil sebagai unit analisis pendekatan meliputi bahaya kekerasan psikis terhadap perempuan di media sosial dilihat sebagai masalah individu yang disebabkan oleh sistem dan masalah sistem yang disebabkan oleh sistem.

Pertama, kekerasan psikis terhadap perempuan di media sosial dilihat sebagai masalah individu yang bersumber dari sistem. Dalam pendekatan ini, individu kerap menjadi korban masalah atas munculnya kekerasan secara psikis terhadap perempuan di media sosial. Hal tersebut dikarenakan data pribadi yang diunggah ke media sosial sering dibajak atau diretas oleh oknum tertentu.[12] Permasalahan utama ialah rentannya data pribadi seseorang untuk diretas karena sistem privasi di media sosial kurang memadai atau kurang melindungi data secara pribadi dengan baik. Tak pelak, data-data pribadi dari perempuan dibajak lalu diviralkan secara masif, hingga menimbulkan masalah baru berupa hinaan, cemoohan, caci maki, yang merusak citra perempuan itu sendiri sekaligus menggangu secara psikis. Hal ini tentu berbahaya karena data-data pribadi sewaktu-waktu dapat diinstrumentalisasi sebagai bahan ancaman untuk mengintimidasi si perempuan. Tentu bahwa, lemahnya sistem privasi untuk melindungi data pribadi di media sosial menjadi pendorong munculnya kekerasan psikis terhadap perempuan.

Kedua, masalah sistem yang disebabkan oleh sistem. Umumnya, kekerasan terhadap perempuan di media sosial berangkat dari sebuah sistem yang diskriminatif, di mana posisi perempuan tidak lebih tinggi dari laki-laki. Derajat perempuan dianggap lebih rendah dan tak punya makna apa-apa. Sistem yang diskriminatif seperti ini pada gilirannya memandang perempuan semata-mata sebagai obyek dari laki-laki. Tak heran bila, kekerasan secara psikis terhadap perempuan di media sosial diwarnai dengan adanya penyebaran konten-konten pribadi yang berbau pornografi atau bodyshaming.[13] Terhadap hal tersebut, martabat dan citra perempuan pun dilecehkan, reputasi mereka sebagai subyek yang setara dengan laki-laki menjadi buruk. Dengan demikian, sistem yang diskriminatif, yang condong ke patriarkis, melemahkan posisi perempuan, dan hal itu perlu diubah, agar perempuan mendapat derajat yang sama dengan laki-laki.

Dari dua unit pendekatan analisis ini, diperlukan prinsip-prinsip yang korektif terhadap problem kekerasan di media sosial, khususnya bagi kaum perempuan. Tak hanya itu, dibutuhkan juga model-model sekaligus langka-langkah solutif sebagai upaya pemecahan terhadap kasus kekerasan psikis terhadap perempuan di media sosial.

 

Upaya Solutif Pemecahan atas Bahaya Kekerasan Psikis terhadap Perempuan di Media Sosial

Bahaya kekerasan psikis terhadap perempuan di media sosial merupakan bahaya yang patut dikhawatirkan. Sebab, dalam kasus ini, perempuan menjadi sasaran utama dalam melakukan tindakan kekerasan di media sosial. Ketika perempuan telah menjadi sasaran kekerasan, perlu ada prinsip yang tegas guna membebaskan kaum perempuan dari viktimasi terhadap kekerasan. Dalam hal ini, terdapat dua prinsip yang harus ditegakkan demi pembebasan kaum perempuan dari bahaya kekerasan psikis di media sosial, yakni prinsip martabat manusia dan prinsip kesederajatan manusia.

Pertama, prinsip martabat manusia. Hal ini diartikan sebagai adanya bentuk penghormatan kepada sesama manusia tanpa membeda-bedakan latar belakang sosial, budaya, agama, suku, dan ras. Sebab, unsur kemanusiaan dalam diri seseorang tidak dapat dicopot begitu saja, melainkan melekat erat sepanjang hidupnya. Terkhusus dalam problem kekerasan terhadap perempuan di media sosial, martabat mereka harus dihargai. Tidak boleh memandang perempuan sebatas pemuas nafsu, obyek seks dan kekerasan, melainkan dipandang sebagai manusia terhormat, yang memiliki harkat dan martabat. Untuk itu, martabat perempuan tidak boleh disepelekan atau diberangus, karena martabat itu merupakan sesuatu yang terberi sejak lahir.

Kedua, prinsip kesederajatan. Derajat yang sama timbul dari martabat yang telah melekat sejak lahir (ascribed status). Ketika kesamaan derajat diakui, akses untuk mendapat hak-hak dan jaminan dari pihak lain bisa diperoleh dengan leluasa sembari memperhatikan kewajiban. Orang harus bersikap adil terhadap sesama karena derajatnya di mata orang lain itu sama. Dalam hal kekerasan terhadap perempuan di media sosial, derajat seorang perempuan tidak boleh direndahkan dari laki-laki. Tidak boleh ada subordinasi atau superioritas yang sekaligus merendahkan pihak lain. Untuk itu, perempuan, yang dilihat sebagai sasaran korban kekerasan di media sosial, harus memperhatikan derajat mereka agar mereka dapat dilindungi sepenuhnya dari tindak kekerasan tersebut.

Selain kedua prinsip yang mengoreksi problem tadi, dibutuhkan model pemahaman untuk bisa mengatasi kekerasan secara psikis terhadap perempuan di media sosial. Dalam hal ini, dipilih model yang cukup cocok dengan masalah tadi, yakni model pembebasan. Model ini dipilih karena sebab-sebabnya meliputi pemerasan, dominasi, penindasan/kekerasan. Jelas bahwa, tujuan dari model ini menentang struktur-struktur yang menindas atau mendominiasi. Kasus kekerasan psikis terhadap perempuan di media sosial cukup tepat dengan mengggunakan model pembebasan, dalam rangka membebaskan perempuan dari sasaran korban atas tindak kekerasan di media sosial. Upaya pembebasan seperti ini juga dibarengi dengan penyadaran secara masif bagi khalayak untuk memahami posisi dan kondisi perempuan yang selalu dinomorduakan atau melulu dipandang sebagai obyek. Dengan demikian, model pembebasan ini menjadi jalur untuk membebaskan kaum perempuan, agar tidak menjadi sasaran kekerasan di media sosial.

Patut disadari bahwa, perlahan-lahan bahaya kekerasan psikis terhadap perempuan di media sosial akan terus bergerak. Untuk itu dibutuhkan solusi yang tepat dalam menangani masalah ini yang meliputi perbaikan pada level individu dan pada level sistem.

 

Perbaikan pada Level Individu

a. Tindakan rehabilitatif. Melalui tindakan ini, harus ada penanganan khusus bagi kaum perempuan yang menjadi korban. Hak-hak dan martabat mereka harus dipulihkan, perlindungan juga turut menjamin, agar perempuan tidak melulu menjadi sasaran kekerasan. Melalui Komnas Perempuan, advokasi mesti terus digencarkan, agar kaum perempuan tidak dikucilkan atau terpinggirkan di media sosial juga dalam kehidupan sosial.

b.  Tindakan preventif. Lewat tindakan ini konsientisasi berupa kegiatan seminar, sosialisasi, edukasi, sebagai upaya bahwa tindak kekerasan psikis terhadap perempuan di media sosial sangat berbahaya. Pemerintah, LSM, dan lembaga lainnya perlu bergerak lebih sigap untuk memperhatikan hal ini terutama bergerak mengadvokasi kemanusiaan terhadap perempuan.

c. Tindakan pemberdayaan. Lewat tindakan ini, upaya kokret yang dibuat ialah menggiatkan literasi digital di kalangan masyarakat, khususnya bagi kaum perempuan, agar mereka bisa berjaga-jaga dan berwaspada modus kekerasan di media sosial, yang bisa memengaruhi kondisi psikis mereka.

 

Perbaikan Level Sistem

Hal utama yang diperbaiki dari level sistem ini ialah merevisi sistem hukum yang kurang komprehensif, atau kurang menjamin perlindungan perempuan. Pemerintah, dalam hal ini, mesti mengatur regulasi dan melegislasi RUU demi kepentingan kaum perempuan, yang sering menjadi korban kekerasan di media sosial.

 

Penutup

Kekerasan terhadap perempuan di media sosial menjadi wacana global, yang juga turut menimpa Indonesia. Merujuk data dan fakta, prevalensi kasus ini cenderung meningkat. Sumber masalah bermuara dari lemahnya sistem hukum dan pemerintahan. Oleh karena itu, tulisan ini mendesak perlunya penanganan yang holistik, baik pada level individu maupun pada level sistem, agar problem dapat ditanggulangi, khususnya jaminan terhadap perempuan beserta kedudukan mereka di masyarakat, sehingga jumlah korban kekerasan di media sosial tidak meningkat.

 

Catatan Akhir 

[1] Andi Misbahul Pratiwi, “Kekerasan Terhadap Perempuan Meningkat Delapan Kali Lipat Selama 12 Tahun Terakhir”, dalam Jurnal Perempuan 7 Maret 2020, http://www.jurnalperempuan.org/warta-feminis/kekerasan-terhadap-perempuan-meningkat-delapan-kali-lipat-selama-12-tahun-terakhir, diakses pada 17 Desember 2020.

[2] World Health Organization, “Violence against Women”, dalam World Health Organization 27 November 2017, https://www.who.int/news-room/facts-sheets/detail/violence-against-women#, diakses pada 17 Desember 2020.

[3] Badan Pusat Statistik, Statistik Gender Tematik: Mengakhiri Kekerasan Terhadap Perempuan dan Anak Indonesia (Jakarta: Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, 2017), hlm. 15.

[4] Bdk.

[5] Aroma Elmina Martha, Perempuan, Kekerasan dan Hukum (Yogyakarta: UII Press, 2013), hlm. 23.

[6] “Pelecehan Online Terhadap Perempuan Mendorong Mereka Keluar dari Medsos”, dalam Yayasan Plan International Indonesia 04 November 2020, https://plan-international.or.id./pelecehan-online-terhadap-perempuan-mendorong-mereka-keluar-dari-medsos/, diakses pada 17 Desember 2020.

[7] Ibid.

[8] Conney Stephanie, “Kasus Kekerasan pada Perempuan via Internet Naik 3 Kali Lipat Selama Pandemi”, dalam KOMPAS.COM 28 Agustus 2020, https://tekno.kompas.com/read/2020/08/28/18000087/kasus-kekerasan-pada-perempuan-via-internet-naik-3-kali-lipat-selama-pandemi?page=all#page2, diakses pada 17 Desember 2020.

[9] Bdk. Fatimah Mardiyah, “Mengenal Doxing di Media Sosial: Bahaya dan Cara Mencegahnya”, dalam tirto.id 30 September 2020, https://www.google.com/amp/s/amp/tirto.id/mengenal-doxing-di-media-sosial-bahaya-dan-cara-mencegahnya-f5lm, diakses pada 17 Desember 2020.

[10] Bdk. Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, “Pro dan Kontra RUU PKS, Menteri BIntang: Mari Bersatu Ciptakan Payung Hukum yang Komprehensif”, dalam Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak 05 Agustus 2020, dalam https://www.kemenpppa.go.id/index.php/page/read/29/2816/pro-dan-kontra-ruu-pks-menteri-bintang-mari-bersatu-ciptakan-payung-hukum-yang-komprehensif, diakses pada 18 Desember 2020.

[11] Bdk. Robert Mirsel dan John Manehitu, “Komoditi yang Disebut Manusia: Mmebaca fenomena Perdagangan Manusia di NTT dalam Pemberitaan Media”, dalam Jurnal Ledalero, 13:2 (Ledalero, Desember 2014), hlm. 378.

[12] Sasmito Madrim, “32 Persen Anak Perempuan pernah Mengalami Kekerasan di Medsos”, dalam Voaindonesia.com 09 Oktober 2020, https://www.google.com/amp/s/www.voaindonesia.com/amp/persen-anak-perempuan-pernah-mengalami-kekerasan-di-medsos/5616177.html, diakses pada 18 Desember 2020.

[13] “Pelecehan Online Terhadap Perempuan Mendorong Mereka Keluar dari Medsos”, loc.cit





Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Misa Syukur Hut Ke-51 KORPRI Tingkat Kecamatan Nita-Kabupaten Sikka-Provinsi Nusa Tenggara Timur

  Pater Stef Dampur, SVD. Oleh: Pater Ephang Yogalupi *) Hari ini, Senin, 28 November 2022. Hujan tak terbendung lagi. Ada rasa cemas singgah di hati: "Akankah hujan terus hingga malam? Bagaimana dengan misa syukur hari ulang tahun (HUT) ke-51 Korps Pegawai Republik Indonesia (KORPRI) tingkat Kecamatan Nita yang sudah sejak minggu lalu disepakati? Saya pasrah kepada Tuhan sembari meneguhkan hati camat Nita, Bapak Avelinus Yuvensius dan staf yang juga was-was. ** Dalam agenda yang disepakati, misa dimulai pukul 16.15 WITA tapi cuaca tidak mendukung. Kami sengaja menunda misa hingga hujan reda. Puji tuhan, pada pukul 16. 45 WITA hujan berhenti meskipun langit tetap tidak secerah hari sebelumnya. Ketika cuaca membaik maka bertempat di kapela susteran   fransiskan nita-maumere, kami mulai merayakan misa syukur (pkl. 16.50 wita). Sang komentator pun mulai membacakan komentar pembuka. Koor sudah siap. Lalu lagu pembukaan pun dilantunkan. Terdengar suara koor yang merdu. Di sana

Hidup Selibat dalam Gereja Katolik: Berkah dan Tantangannya | Opini Senus Nega

Senus Nega | Mahasiswa Semester VIII STFK Ledalero I.           Pendahuluan   Dalam perjalanan sejarah hingga saat ini, di dalam Gereja Katolik terdapat satu panggilan hidup yang unik dan berharga yakni pilihan hidup selibat. Panggilan itu bersifat pribadi. Berkenaan dengan itu, Karol Wojtyla menyatakan ‘bahwa ada suatu jalan khusus bagi perkembangan setiap pribadi kalau diikuti, suatu jalan khusus baginya untuk memberikan seluruh hidupnya bagi pelayanan atau pengabdian terhadap sejumlah nilai tertentu. [1] Pemberian diri merupakan substansi setiap pilihan hidup, entah menikah atau selibat. Secara sederhana, hidup selibat berarti berani memilih untuk tidak menikah dengan tujuan untuk memfokuskan pelayanan dan pemberian diri secara total kepada Tuhan. Pilihan hidup selibat bukan berarti meninggalkan seksualitas atau alergi bila berbicara mengenai seksualitas. Dalam hubungan dengan hidup selibat, seksualitas manusia tetap merupakan anugerah Tuhan yang amat luhur dan berharga. Etika Kris

NARASI KECIL JUMAT PERTAMA DESEMBER 2021

  Pater Stef Dampur, SVD. (Kegiatan Rohani Bersama Organisasi Gerejawi Sta. Anna, Paroki St. Yosef Wairpelit-KUM) Oleh: Ephang Yogalupi * I. Prolog: Sudah menjadi "tradisi" di Paroki Wairpelit Maumere bahwa misa Jumat Pertama yang didedikasikan kepada Hati Amat Kudus Tuhan Yesus senantiasa dirayakan di Gereja Pusat Paroki. Mayoritas umat yang hadir dan terlibat adalah "Mama-mama Santa Anna". II. Bersama Santa Anna Wairpelit di Napung Kabor Pernahkah Anda pergi ke Napung Kabor Maumere? Kalau Anda belum pergi, saya akan mengantar Anda ke sana lewat deskrpisi sederhana ini. Titik star kita adalah Gereja Paroki Santo Yosef Wairpelit. Kita menuju arah timur. Kita menyusuri Ribang, Woloara, Hoba dan Nangalimang. Setiba di Nangalimang, kita mesti jeli. Di tikungan halus itu biasa terjadi kecelakaan maut yang merenggut nyawa anak manusia. Anda mesti me-rem laju kendaraan Anda, entah mobil maupun sepeda motor. Saat menuju Napung Kabor, Anda mengambil rute bel