Pendahuluan
Di
kancah global, problem kekerasan terhadap perempuan menjadi sangat urgen untuk
diperhatikan. Negara Indonesia tak luput dari problem kekerasan terhadap
perempuan. Ragam kekerasan itu timbul dalam berbagai cara seperti kekerasan
fisik dan kekerasan psikis. Di era digital yang mengglobal dewasa ini, tindak
kekerasan mendapat modus baru untuk eksis. Modus baru itu sedang melanda di
Indonesia. Adapun modus yang lazim muncul beberapa tahun terakhir ini ialah
kekerasan psikis-seksual terhadap perempuan di media sosial.
Merujuk
pada catatan tahunan (CATAHU) Komnas Perempuan 2020, sepanjang tahun 2019
tercatat ada 431.471 kasus kekerasan terhadap perempuan. Angka ini terus
meningkat dalam kurun waktu 12 tahun, dengan presentase 792%. Adapun, kekerasan
berbasis daring terhadap perempuan lewat platform media sosial juga terus
meningkat. Dilaporkan, sepanjang 2019 ada 281 (meningkat dari 97kasus) kasus
yang dilaporkan langsung ke Komnas Perempuan, dan bahwa kekerasan ini (cyber
harassment) meningkat 300% dari tahun-tahun sebelumnya.[1]
Merunut
data dan fakta yang telah dipaparkan, tulisan ini bermaksud mengulas secara
khusus kekerasan psikis terhadap perempuan di media sosial dari perspektif
sosiologi masalah sosial. Sebelum itu, akan dibahas secara singkat definisi
tentang kekerasan terhadap perempuan beserta gambaran masalahnya. Lalu,
dijelaskan tentang sebab-sebab terjadinya kekerasan psikis terhadap perempuan
di media sosial lewat pendekatan sosiologi masalah sosial dan sekaligus
menawarkan beberapa solusi alternatif.
Konsep
Singkat Kekerasan Terhadap Perempuan
Definisi
Kekerasan terhadap Perempuan
Umumnya,
terdapat ragam definisi tentang kekerasan terhadap perempuan. Berhubung
ragamnya definisi tersebut, penulis hanya memaparkan dua definisi. Pertama,
menurut deklarasi PBB tentang Penghapusan Kekerasan terhadap Perempuan
mendefinisikan kekerasan terhadap perempuan sebagai: “setiap tindakan kekerasan
berbasis gender yang berakibat, atau kemungkinan berakibat pada penderitaan
fisik, seksual atau psikologis perempuan, termasuk ancaman tindakan semacam
itu, pemaksaan atau perampasan kebebasan sewenang-wenang yang terjadi di depan
umum maupun dalam kehidupan pribadi.”[2]
Kedua,
definisi yang berangkat dari Undang-undang Nomor 23 tahun 2004. Dalam UU
tersebut didefinisikan bahwa, “setiap perbuatan kepada seseorang terutama
perempuan, yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik,
seksual, psikologis, dan/atau penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk
melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan melawan hukum.”[3]
Kedua
definisi di atas menggambarkan bahwa kekerasan terhadap perempuan merupakan
kekerasan berbasis gender yang mengakibatkan penderitaan dan sengsara secara
fisik, psikis, psikologis, dan seksual. Dasar dari tindakan ini berupa
pemaksaan dan perampasan yang menghalangi kebebasan perempuan.
Bentuk-Bentuk
Kekerasan terhadap Perempuan
Ada
begitu banyak bentuk-bentuk kekerasan terhadap perempuan. Komnas PPA Indonesia
misalnya menjabarkan 15 buah bentuk kekerasan.[4]
Namun, untuk kepentingan tulisan, hanya dijabarkan empat bentuk kekerasan
terhadap perempuan. Menurut Martha, kekerasan terhadap perempuan dibagi ke
dalam empat bentuk meliputi[5]:
1. Kekerasan
fisik (physical abuse), seperti tamparan, menendang, pukulan, menjambak,
meludah, menusuk, mendorong, memukul dengan senjata.
2. Kekerasan
psikis/emosional (emotional abuse) seperti rasa cemburu atau rasa
memiliki yang berlebihan, merusak barang-barang milik pribadi, mengancam untuk
bunuh diri, melakukan pengawasan dan manipulasi, mengisolasi dari keluarga dan
kawan-kawan, dicaci maki, mengancam kehidupan pasangannya, dan menanamkan
perasaan takut melalui intimidasi.
3. Kekerasan
ekonomi (economic abuse) seperti membuat ketergantungan yang besar
secara ekonomi, melakukan kontrol yang ketat terhadap penghasilan, dan
lain-lain.
4. Kekerasan
seksual (sexual abuse) seperti memaksa berhubungan intim, mendesak
hubungan seks setelah melakukan penganiayaan, dan lain sebagainya.
Tentu
masih banyak lagi bentuk-bentuk kekerasan terhadap perempuan. Namun bahwa,
empat bentuk kekerasan terhadap perempuan yang telah dijabarkan merupakan
bentuk-bentuk dasar, karena lazim terjadi. Untuk itu, keempat bentuk kekerasan
tersebut cukup representatif dan merangkul bentuk-bentuk lain.
Realitas
Kekerasan Psikis Terhadap Perempuan di Media Sosial
Seperti
telah dijelaskan sebelumnya, kekerasan psikis terhadap perempuan di media
sosial merupakan pola baru dari bentuk kekerasan itu sendiri. Bila sebelumnya
kekerasan terhadap perempuan sering terjadi di dunia nyata, pola kekerasan di
media sosial cenderung terjadi di dunia maya, yang berbasis dalam jaringan
(daring). Di sana, perempuan diekspos dan dieksploitasi secara masif, yang
rentan menimbulkan trauma psikis.
Menurut
hasil survei Plan International yang melibatkan 14.000 anak berusia
14-25 tahun di 22 negara, termasuk Indonesia, tercatat 58% dari perempuan yang
mengalami kekerasan secara daring. Sebanyak 50% responden juga mengaku lebih
banyak menghadapi pelecehan daring ketimbang luring (luar jaringan). Insiden
paling umum terjadi di platform media sosial meliputi Facebook (39%), Instagram
(23%), Whatsapp (14%), Snapchat (10%), Twitter (9%), dan Tik-Tok
(6%). Adapun di Indonesia, tercatat 38% responden yang mengalami kekerasan di
media sosial. Angka ini terlihat cukup rendah, namun bukan tak mungkin kasus
ini akan terus meningkat dari tahun ke tahun, seperti telah tercacat dalam
CATAHU Komnas Perempuan.[6]
Plan
International menambahkan, bentuk-bentuk kekerasan
yang paling umum dilancarkan di media sosial terhadap perempuan ialah bahasa kasar
dan penghinaan (59%), diikuti dengan bodyshaming dan acaman kekerasan
seksual (39%).[7]
Tentu bahwa, bentuk umum dari kekerasan tersebut memberi dampak psikis dan
traumatis bagi perempuan, karena mereka menjadi sasaran empuk pelecehan
seksual. Hal tersebut turut pula diikuti dengan ketakutan karena bahaya ancaman
atau intimidasi dan manipulasi, sebab kekerasan yang dilakukan di media sosial
dapat menyebar dengan cepat akibat situasi keterhubungan atau dengan kata lain
cepat viral.
Selain
bentuk-bentuk kekerasan yang paling umum, terdapat beberapa bentuk khusus yang
menjadi modus kekerasan psikis terhadap perempuan. Menurut Ellen Kusuma, selaku
Divisi Keamanan Online Southeast Asia Freedom of Expression Network (SAFEnet), setidaknya
terdapat empat bentuk pola atau modus yang sering terjadi dalam kasus kekerasan
terhadap perempuan di media sosial, yakni[8]:
1) Revenge
Porn. Dalam kasus ini, pelaku menyebarkan
konten intim yang menampilkan keseluruhan fisik korban. Konten tersebut
dibagikan melalui berbagai platform. Motif utama perbuatan ini ialah balas
dendam karena tidak menerima perlakuan korban. Perempuan sering menjadi korban
dari motif ini.
2) Sextortion.
Ini merupakan penyebaran konten intim dengan motif tujuan, pelaku ingin memeras
korban seperti memeras uang dan meminta korban untuk mengirimkan konten intim
lainnya. Bila tidak dilakukan, intimidasi akan terus berlanjut, hingga
memengaruhi kondisi psikis perempuan berupa timbulnya kecemasan, ketakutan atau
depresi.
3) Doxing,
merupakan kasus penyebaran informasi dan identitas pribadi seseorang yang
dibagikan ke ranah media sosial. Doxing seringkali digunakan pelaku
untuk memperjualbelikan data pribadi korban. Setelah itu, data korban
dikumpulkan tanpa sepengetahuan si korban sendiri dalam sebuah konten khusus
semacam “bank”. Melalui “bank” tersebut, orang ramai-ramai mengonsumsi isi
konten ketika konten telah diunggah.
4) Impersonating.
Bentuk ini merupakan suatu tindakan pemalsuan akun yang tujuannya untuk
mencemarkan nama baik korban. Dalam hal ini, pelaku membuat akun media sosial
palsu yang menampilkan identitas korban berupa konten sensitif seperti
pornografi, lalu berupaya merusak reputasinya di media sosial.
Keempat
bentuk-bentuk kekerasan terhadap perempuan di media sosial membawa dampak
psikis yang luar biasa. Sebab, perempuan menjadi malu atas kejadian yang
menimpa mereka di media sosial. Mereka mendapat hujatan, diskriminasi cyberstalking
(korban selalu dikuntit/diawasi), dan tercorengnya harga diri.[9]
Atas
masalah ini, pemerintah sudah bergerak untuk menanggulangi bahaya kekerasan
atau tindak kejahatan di media sosial lewat kebijakan regulasi Undang-undang
Nomor 19 tahun 2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik atau lebih
dikenal dnegan UU ITE. Regulasi ini dibuat utuk mengendalikan bahaya persebaran
tindak kriminal atau kejahatan siber yang muncul lewat media sosial, seperti
hoaks, ujaran kebencian, kekerasan, dan lain sebagainya.
Namun,
hal tersebut belum cukup mempan untuk melindungi korban kekerasan di media
sosial, khususnya kaum perempuan. Telah ada upaya dari pemerintah sendiri untuk
melindungi korban perempuan dari tindakan kekerasan lewat RUU Penghapusan
Kekerasan Seksual atau lebih dikenal dengan RUU PKS. Nahasnya, RUU ini tidak
dapat ditingkatkan statusnya menjadi Undang-undang karena timbul argumen pro
dan kontra. Merilis laporan Komisi Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak
madegnya legislasi RUU PKS ditengarai oleh dua kubu yang saling berseberangan. [10] Tarik
ulur perdebatan RUU ini tidak menemui titik terang hingga menghambat proses
legislasi.
Analisis
Pendekatan Sosiologi Masalah Sosial
Masalah
kekerasan secara psikis terhadap perempuan yang terjadi di media sosial ini
dianalisis dengan menggunakan pendekatan sosiologi masalah-masalah sosial,
yakni pendekatan individu dan sistem.[11]
Dalam kasus ini, hanya ada tiga variasi yang diambil sebagai unit analisis
pendekatan meliputi bahaya kekerasan psikis terhadap perempuan di media sosial
dilihat sebagai masalah individu yang disebabkan oleh sistem dan masalah sistem
yang disebabkan oleh sistem.
Pertama,
kekerasan psikis terhadap perempuan di media sosial dilihat sebagai masalah
individu yang bersumber dari sistem. Dalam pendekatan ini, individu kerap
menjadi korban masalah atas munculnya kekerasan secara psikis terhadap
perempuan di media sosial. Hal tersebut dikarenakan data pribadi yang diunggah
ke media sosial sering dibajak atau diretas oleh oknum tertentu.[12]
Permasalahan utama ialah rentannya data pribadi seseorang untuk diretas karena
sistem privasi di media sosial kurang memadai atau kurang melindungi data
secara pribadi dengan baik. Tak pelak, data-data pribadi dari perempuan dibajak
lalu diviralkan secara masif, hingga menimbulkan masalah baru berupa hinaan,
cemoohan, caci maki, yang merusak citra perempuan itu sendiri sekaligus
menggangu secara psikis. Hal ini tentu berbahaya karena data-data pribadi
sewaktu-waktu dapat diinstrumentalisasi sebagai bahan ancaman untuk
mengintimidasi si perempuan. Tentu bahwa, lemahnya sistem privasi untuk
melindungi data pribadi di media sosial menjadi pendorong munculnya kekerasan
psikis terhadap perempuan.
Kedua,
masalah sistem yang disebabkan oleh
sistem. Umumnya, kekerasan terhadap perempuan di media sosial berangkat dari
sebuah sistem yang diskriminatif, di mana posisi perempuan tidak lebih tinggi
dari laki-laki. Derajat perempuan dianggap lebih rendah dan tak punya makna
apa-apa. Sistem yang diskriminatif seperti ini pada gilirannya memandang perempuan
semata-mata sebagai obyek dari laki-laki. Tak heran bila, kekerasan secara
psikis terhadap perempuan di media sosial diwarnai dengan adanya penyebaran
konten-konten pribadi yang berbau pornografi atau bodyshaming.[13] Terhadap
hal tersebut, martabat dan citra perempuan pun dilecehkan, reputasi mereka
sebagai subyek yang setara dengan laki-laki menjadi buruk. Dengan demikian,
sistem yang diskriminatif, yang condong ke patriarkis, melemahkan posisi
perempuan, dan hal itu perlu diubah, agar perempuan mendapat derajat yang sama
dengan laki-laki.
Dari
dua unit pendekatan analisis ini, diperlukan prinsip-prinsip yang korektif
terhadap problem kekerasan di media sosial, khususnya bagi kaum perempuan. Tak
hanya itu, dibutuhkan juga model-model sekaligus langka-langkah solutif sebagai
upaya pemecahan terhadap kasus kekerasan psikis terhadap perempuan di media
sosial.
Upaya
Solutif Pemecahan atas Bahaya Kekerasan Psikis terhadap Perempuan di Media Sosial
Bahaya
kekerasan psikis terhadap perempuan di media sosial merupakan bahaya yang patut
dikhawatirkan. Sebab, dalam kasus ini, perempuan menjadi sasaran utama dalam
melakukan tindakan kekerasan di media sosial. Ketika perempuan telah menjadi
sasaran kekerasan, perlu ada prinsip yang tegas guna membebaskan kaum perempuan
dari viktimasi terhadap kekerasan. Dalam hal ini, terdapat dua prinsip yang
harus ditegakkan demi pembebasan kaum perempuan dari bahaya kekerasan psikis di
media sosial, yakni prinsip martabat manusia dan prinsip kesederajatan manusia.
Pertama,
prinsip martabat manusia. Hal ini
diartikan sebagai adanya bentuk penghormatan kepada sesama manusia tanpa
membeda-bedakan latar belakang sosial, budaya, agama, suku, dan ras. Sebab,
unsur kemanusiaan dalam diri seseorang tidak dapat dicopot begitu saja, melainkan
melekat erat sepanjang hidupnya. Terkhusus dalam problem kekerasan terhadap
perempuan di media sosial, martabat mereka harus dihargai. Tidak boleh
memandang perempuan sebatas pemuas nafsu, obyek seks dan kekerasan, melainkan
dipandang sebagai manusia terhormat, yang memiliki harkat dan martabat. Untuk
itu, martabat perempuan tidak boleh disepelekan atau diberangus, karena
martabat itu merupakan sesuatu yang terberi sejak lahir.
Kedua,
prinsip kesederajatan. Derajat yang sama timbul dari martabat yang telah
melekat sejak lahir (ascribed status). Ketika kesamaan derajat diakui,
akses untuk mendapat hak-hak dan jaminan dari pihak lain bisa diperoleh dengan
leluasa sembari memperhatikan kewajiban. Orang harus bersikap adil terhadap
sesama karena derajatnya di mata orang lain itu sama. Dalam hal kekerasan
terhadap perempuan di media sosial, derajat seorang perempuan tidak boleh
direndahkan dari laki-laki. Tidak boleh ada subordinasi atau superioritas yang
sekaligus merendahkan pihak lain. Untuk itu, perempuan, yang dilihat sebagai
sasaran korban kekerasan di media sosial, harus memperhatikan derajat mereka
agar mereka dapat dilindungi sepenuhnya dari tindak kekerasan tersebut.
Selain
kedua prinsip yang mengoreksi problem tadi, dibutuhkan model pemahaman untuk
bisa mengatasi kekerasan secara psikis terhadap perempuan di media sosial.
Dalam hal ini, dipilih model yang cukup cocok dengan masalah tadi, yakni model
pembebasan. Model ini dipilih karena sebab-sebabnya meliputi pemerasan,
dominasi, penindasan/kekerasan. Jelas bahwa, tujuan dari model ini menentang
struktur-struktur yang menindas atau mendominiasi. Kasus kekerasan psikis
terhadap perempuan di media sosial cukup tepat dengan mengggunakan model
pembebasan, dalam rangka membebaskan perempuan dari sasaran korban atas tindak
kekerasan di media sosial. Upaya pembebasan seperti ini juga dibarengi dengan
penyadaran secara masif bagi khalayak untuk memahami posisi dan kondisi
perempuan yang selalu dinomorduakan atau melulu dipandang sebagai obyek. Dengan
demikian, model pembebasan ini menjadi jalur untuk membebaskan kaum perempuan,
agar tidak menjadi sasaran kekerasan di media sosial.
Patut
disadari bahwa, perlahan-lahan bahaya kekerasan psikis terhadap perempuan di
media sosial akan terus bergerak. Untuk itu dibutuhkan solusi yang tepat dalam
menangani masalah ini yang meliputi perbaikan pada level individu dan pada
level sistem.
Perbaikan
pada Level Individu
a. Tindakan
rehabilitatif. Melalui tindakan ini, harus ada penanganan khusus bagi kaum
perempuan yang menjadi korban. Hak-hak dan martabat mereka harus dipulihkan,
perlindungan juga turut menjamin, agar perempuan tidak melulu menjadi sasaran
kekerasan. Melalui Komnas Perempuan, advokasi mesti terus digencarkan, agar
kaum perempuan tidak dikucilkan atau terpinggirkan di media sosial juga dalam
kehidupan sosial.
b. Tindakan
preventif. Lewat tindakan ini konsientisasi berupa kegiatan seminar,
sosialisasi, edukasi, sebagai upaya bahwa tindak kekerasan psikis terhadap
perempuan di media sosial sangat berbahaya. Pemerintah, LSM, dan lembaga
lainnya perlu bergerak lebih sigap untuk memperhatikan hal ini terutama
bergerak mengadvokasi kemanusiaan terhadap perempuan.
c. Tindakan
pemberdayaan. Lewat tindakan ini, upaya kokret yang dibuat ialah menggiatkan
literasi digital di kalangan masyarakat, khususnya bagi kaum perempuan, agar
mereka bisa berjaga-jaga dan berwaspada modus kekerasan di media sosial, yang
bisa memengaruhi kondisi psikis mereka.
Perbaikan
Level Sistem
Hal
utama yang diperbaiki dari level sistem ini ialah merevisi sistem hukum yang
kurang komprehensif, atau kurang menjamin perlindungan perempuan. Pemerintah,
dalam hal ini, mesti mengatur regulasi dan melegislasi RUU demi kepentingan
kaum perempuan, yang sering menjadi korban kekerasan di media sosial.
Penutup
Kekerasan
terhadap perempuan di media sosial menjadi wacana global, yang juga turut
menimpa Indonesia. Merujuk data dan fakta, prevalensi kasus ini cenderung
meningkat. Sumber masalah bermuara dari lemahnya sistem hukum dan pemerintahan.
Oleh karena itu, tulisan ini mendesak perlunya penanganan yang holistik, baik
pada level individu maupun pada level sistem, agar problem dapat ditanggulangi,
khususnya jaminan terhadap perempuan beserta kedudukan mereka di masyarakat,
sehingga jumlah korban kekerasan di media sosial tidak meningkat.
[1] Andi Misbahul Pratiwi, “Kekerasan Terhadap Perempuan Meningkat
Delapan Kali Lipat Selama 12 Tahun Terakhir”, dalam Jurnal Perempuan 7
Maret 2020, http://www.jurnalperempuan.org/warta-feminis/kekerasan-terhadap-perempuan-meningkat-delapan-kali-lipat-selama-12-tahun-terakhir,
diakses pada 17 Desember 2020.
[2] World Health Organization, “Violence against Women”, dalam World
Health Organization 27 November 2017, https://www.who.int/news-room/facts-sheets/detail/violence-against-women#,
diakses pada 17 Desember 2020.
[3] Badan Pusat Statistik, Statistik Gender Tematik: Mengakhiri
Kekerasan Terhadap Perempuan dan Anak Indonesia (Jakarta: Kementerian
Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, 2017), hlm. 15.
[4] Bdk.
[5] Aroma Elmina Martha, Perempuan, Kekerasan dan Hukum
(Yogyakarta: UII Press, 2013), hlm. 23.
[6] “Pelecehan Online Terhadap Perempuan Mendorong Mereka Keluar dari
Medsos”, dalam Yayasan Plan International Indonesia 04 November 2020, https://plan-international.or.id./pelecehan-online-terhadap-perempuan-mendorong-mereka-keluar-dari-medsos/,
diakses pada 17 Desember 2020.
[7] Ibid.
[8] Conney Stephanie, “Kasus Kekerasan pada Perempuan via Internet Naik
3 Kali Lipat Selama Pandemi”, dalam KOMPAS.COM 28 Agustus 2020, https://tekno.kompas.com/read/2020/08/28/18000087/kasus-kekerasan-pada-perempuan-via-internet-naik-3-kali-lipat-selama-pandemi?page=all#page2,
diakses pada 17 Desember 2020.
[9] Bdk. Fatimah Mardiyah, “Mengenal Doxing di Media Sosial: Bahaya dan
Cara Mencegahnya”, dalam tirto.id 30 September 2020, https://www.google.com/amp/s/amp/tirto.id/mengenal-doxing-di-media-sosial-bahaya-dan-cara-mencegahnya-f5lm, diakses pada 17 Desember
2020.
[10] Bdk. Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, “Pro
dan Kontra RUU PKS, Menteri BIntang: Mari Bersatu Ciptakan Payung Hukum yang
Komprehensif”, dalam Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan
Anak 05 Agustus 2020, dalam https://www.kemenpppa.go.id/index.php/page/read/29/2816/pro-dan-kontra-ruu-pks-menteri-bintang-mari-bersatu-ciptakan-payung-hukum-yang-komprehensif, diakses pada 18 Desember
2020.
[11] Bdk. Robert Mirsel dan John Manehitu, “Komoditi yang Disebut
Manusia: Mmebaca fenomena Perdagangan Manusia di NTT dalam Pemberitaan Media”,
dalam Jurnal Ledalero, 13:2 (Ledalero, Desember 2014), hlm. 378.
[12] Sasmito Madrim, “32 Persen Anak Perempuan pernah Mengalami
Kekerasan di Medsos”, dalam Voaindonesia.com 09 Oktober 2020, https://www.google.com/amp/s/www.voaindonesia.com/amp/persen-anak-perempuan-pernah-mengalami-kekerasan-di-medsos/5616177.html,
diakses pada 18 Desember 2020.
Mantap. Kesss.
BalasHapusTerima kasih untuk redaktur
Terima kasih. Salom.
HapusThanks bnyak om ondik
BalasHapusTerima Kasih. Salom.
Hapus