Langsung ke konten utama

Human Trafficking di NTT dalam Perspektif Teori Keadilan Komparatif Amartya Sen | Opini Ondik Darman

 Ondik Darman | Mahasiswa STFK Ledalero 



Pendahuluan

            Sebuah ungkapan terkenal dari Albert Einstein; dunia ini adalah sebuah tempat yang berbahaya untuk didiami, bukan karena orang-orangnya jahat, tetapi karena orang-orangnya tidak peduli. Ungkapan itu muncul sebagai respon kegelisahan atas situasi manusia yang mementingkan dirinya lalu mengabaikan yang lain. Situasi dimana setiap orang berlomba-lomba mengaklamasikan dirinya sebagai subjek dan yang lain diletakannya pada tataran objek. Einstein melalui ungkapannya secara tidak langsung mengarahkan kita kepada suatu horizon kepedulian terhadap yang lain; mereka yang menderita, ditindas, direndahkan harkat dan martabatnya, dikucilkan dari kehidupan sosial, dan yang dinilai tidak berguna dalam masyarakat serta yang menjadi korban praktik human trafficking. Kepedulian itu hadir sebagai pijakan yang amat fundamental akan penghargaan dan penghormatan terhadap harkat dan martabat manusia. Selain itu bisa dibilang sebagai langkah sederhana untuk mengaktualisasikan konsep keadilan dalam kehidupan bersama.

Kepedulianlah yang memberanikan seseorang untuk menuntas secara jujur segala bentuk penyelewengan terhadap nilai-nilai keadilan. Ia pun semakin produktif memperjuangkan kesederajatan aspek keadilan setiap orang di tengah situasi dunia yang telah dilumuri ketidakadilan dan penderitaan, entah itu disebabkan oleh kekeliruan (ketidaktahuan) pribadi maupun yang diakibatkan oleh segelintir orang (calo) yang berhati busuk dan berpikiran tumpul terhadap martabat hidup orang lain. Ketidakpedulian kepada sesama, mendorong seseorang akan mengalalkan segala cara demi selfinterestnya. Namun, selain kepedulian terhadap sesama, kepedulian terhadap diri sendiri juga menjadi hal yang amat fundamental sebagai bentuk respek terhadap keadilan, hak, nilai-nilai, harkat dan martabat dirinya sebagai manusia. Kepedulian terhadap diri sendiri selalu menuntut setiap orang untuk menjaga dan melindungi dirinya dari segala bentuk tindakan ketidakadilan.

            Provinsi NTT sejauh ini telah dikategorikan sebagai locus yang paling rawan terhadap polemik human trafficking atau perdagangan orang.[1] Realitas kepirhatinan ini bisa kita katakan sebagai dekadensi kemanusiaan dimana rendahnya perhargaan terhadap nilai-nilai, keadilan, hak serta harkat dan martabat manusia. Muncul indikasi bahwa setiap orang dirundung ketidakpedulian, entah itu terhadap dirinya sendiri maupun terhadap keberadaan orang lain. Sehingga tidak keliru apabila polemik ini terkesan tidak diperhatikan secara teliti oleh pihak pemerintah dan rakyat NTT. Lemahnya kontribusi pemerintah dan masyarakat pada tataran inividu maupun sistim (aturan-aturan dan instansi-instansi pemerintahan) turut menjadi penyebab maraknya praktik perdagangan orang. Karena itu, Amartya Sen menekankan pendekatan komparatif; suatu konsep keadilan yang memperhatikan bagaimana kehidupan masyarakat yang riil itu berlangsung lewat perilaku aktual dan pilihan-pilihan yang diambil oleh masyarakat.

Pembaharuan mesti dilakukan secara merata dalam level individu dan sistim, sebab konsep keadilan yang hanya berfokus pada institusi tidaklah memadai untuk mendeteksi kondisi keadilan dalam masyarakat. Pendekatan individual mesti menjadi proyek yang amat fundamental dan mendapat prioritas yang lebih luas agar konsepsi keadilan tidak terpusat hanya pada hal-hal normatif-idealistik, tetapi juga seratus persen bertindih tepat pada perilaku-perilaku aktual yang mampu mengurangi kondisi ketidakadilan dalam kehidupan bersama. Karena itu, Amartya Sen dalam pandangannya lebih fokus pada usaha mengurangi ketidakadilan dibanding sebagai upaya untuk melahirkan satu institusi dengan aturan yang adil secara paripurna.

 

Pengertian Human Trafficking  

            Human Trafficking atau Perdagangan orang merupakan kenyataan ketidakadilan, selain karena telah mengorbankan hak hidup manusia, tetapi juga suatu gambaran pertandingan kepentingan segelintir orang. Secara ontologis, keberadaan ‘yang lain’ tidak diakui. Suatu afirmasi diri yang solipsis bahwa di luar aku tidak ada yang eksis. Akibatnya adalah instrumentalisasi sesama yang lain.[2] Rakyat diperalat, orang miskin, orang lapar dan yang haus dipolitisasi dengan berbagai teknik dan cara termasuk melalui tawaran-tawaran yang bohong. Realitas semacam ini tentu memprihatinkan, sebab nilai-nilai kemanusiaan sudah diabaikan begitu saja karena selfinterest atau kepentingan pribadi. Manusia tidak lagi saling membangun rasa kepedulian satu terhadap yang lain, tetapi telah menjadi serigala bagi yang lain.

Penulis memfokuskan pengertian human trafficking berdasarkan konsep pandangan nasional yang tercantum dalam Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 mengenai pemberantasan tindak pidana perdagangan orang. Pada Bab I Ketentuan Umum Pasal 1 menegaskan bahwa perdagangan orang adalah tindakan perekrutan, pengangkutan, penampungan, pengiriman, pemindahan, atau penerimaan seseorang dengan ancaman kekerasan, penggunaan kekerasan, penculikan, penyekapan, pemalsuan, penipuan, penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan, penjeratan utang atau memberi bayaran atau manfaat, sehingga memperoleh persetujuan dari orang yang memegang kendali atas orang lain tersebut, baik yang dilakukan di dalam negara maupun antarnegara, untuk eksploitasi atau mengakibatkan orang tereksploitasi.

 

Model-Model Human Trafficking

            Kasus human trafficking atau perdagangan orang bisa nampak dalam aneka model. Pertama, labor trafficking atau perdagangan tenaga kerja. Perdagangan tenaga kerja dipahami sebagai perekrutan, penampungan, pengiriman, persediaan, atau perolehan seseorang untuk tenaga kerja atau pelayanan, dengan cara kekerasan, penipuan, pemaksaan, untuk tujuan perhambaan yang tidak dikehendaki, praktik kerja paksa, perhambaan hutang, atau perbudakan.[3] Kedua, bride trafficking atau perdagangan perkawinan. Perkawinan menjadi salah satu tindakan terselubung dalam kasus human trafficking seperti salah satu cara penipuan, kemudian dieksploitasikan ke tempat prostitusi demi kepentingan pelaku. Jadi, dalam bride trafficking korban dimanipulasi dan dieksploitasi.

Ketiga, sex trafficking atau perdagangan seks. Perdagangan seks merupakan tindakan perekrutan, penampungan, pengiriman, persediaan, atau perolehan seseorang untuk tujuan kegiatan seks komersial, dengan cara kekerasan, penipuan, atau dengan cara mempengaruhi seseorang yang belum berusia 18 tahun untuk melakukan kegiatan tersebut.[4] Dalam konteks ini, korban mengalami eksploitasi komersialisasi seks seperti prostitusi, pornografi, tarian telanjang, pertunjukan seks dan sex party. Keempat, organ trafficking atau perdagangan organ tubuh. Pada tataran ini, pelaku sudah terlebih dahulu menargetkan korban dari tindakan tersebut. Motifnya bisa melalui penipuan, pemaksaan, kekerasan sampai pada level pembunuhan. Harga organ tubuh yang sangat tinggi mendorong banyak pelaku menargetkan korban-korban dari kekejian itu. Perdagangan ini erat kaitan dengan proyek penyembuhan dan dunia kedokteran. Misalnya penyembuhan pasien yang membutuhkan transplantasi jantung atau organ tubuh lainnya.

 

Polemik Human Trafficking di NTT

            Perdagangan orang menjadi isu aktual yang paling rawan di provinsi  NTT. Hal itu terlihat jelas melalui laporan Advokasi, Eliminasi dan Pencegahan Pekerja Anak NTT, dari tahun 2000 hingga Juni 2010 terdapat 14.848 TKI yang menjadi korban perdagangan orang.[5] Sedangkan dalam kurun waktu 3 tahun terakhir dari tahun 2010 hingga 2013 terdapat 2.431 orang calon TKI asal NTT yang ilegal dan gagal diberangkatkan. Perinciannya yakni 1.447 laki-laki dan 984 perempuan. Tahun 2010 terdapat 1.158 orang yang terdiri dari 793 laki-laki dan 365 perempuan. Tahun 2011 terdapat 590 TKI ilegal yang berhasil digagalkan keberangkatannya, dengan perincian 384 laki-laki dan 206 perempuan. Tahun 2012 terdapat 83 TKI ilegal yang digagalkan keberangkatannya, 78 laki-laki dan 5 perempuan. Sedangkan tahun 2013 terdapat 400 TKI ilegal dengan rincian 212 laki-laki dan 188 perempuan.[6] Angka-angka di atas tentu menggambarkan betapa maraknya kasus human trafficking di NTT.  

 

Penyebab Human Trafficking di NTT

Ada bebarapa faktor penyebab human trafficking. Pertama, minimnya pengetahuan atau sumber daya manusia. Para korban human trafficking tidak memiliki pemahaman yang spesifik maupun komprehensif mengenai praktik human trafficking, prosedural ketenagakerjaan yang legal, minimnya kreatifitas untuk menciptakan usaha atau lapangan pekerjaan, munculnya mental instant, dan rendahnya proyek perencanaan dalam jangka pendek maupun panjang untuk suatu kehidupan yang lebih damai dan sejahtera. Kedua, kualitas ekonomi rumah tangga yang rendah (kemiskinan). Problem kemiskinan telah memaksa rakyat NTT untuk merencanakan strategi penopang kehidupan mereka, termasuk bermigrasi ke tempat lain untuk bekerja dan memperbaiki nasib hidup mereka. Ketidakmampuan untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari seperti makan-minum, kesehatan, pendidikan, pakayan, tempat berlindung atau rumah, dan kebutuhan pokok lainnya mendorong mereka mengambil keputusan untuk merantau sekalipun itu melalui prosedur yang ilegal.

Ketiga, pemerintah belum mendukung kehidupan masyarakat. Hal ini nampak jelas dalam kebijakan-kebijakan yang belum mampu menciptakan lapangan pekerjaan untuk masyarakat, akibatnya persentase kemiskinan, pengangguran dan perantauan terus melonjak dari tahun ke tahun. Kemiskinan menurut Sen bisa dilihat melalui realitas rendahnya pendidikan dan ketrampilan serta tidak berdaya. Kemiskinan juga menyangkut tiadanya kebebasan politik dan keterbatasan ruang partisipasi yang menghalangi warga untuk terlibat dalam proses pengambilan kebijakan publik. Konsekuensi dari kondisi semacam ini membuat rakyat NTT harus berada dalam kondisi yang tidak setara untuk mendapatkan akses ke sumber-sumber kesejahteraan dan keadilan. Sehingga dalam hal ini kita bisa mengerti bahwa kemiskinan bukan hanya berkenaan dengan soal ketidakadilan untuk memperoleh kehidupan yang lebih baik secara ekonomis agar mampu memenuhi kebutuhan konsumtifnya, melainkan suatu gambaran kondisi tidak adanya pemerataan kesempatan untuk mendapatkan hak-hak dasar.

Keempat, cacatnya fungsi dari pihak penegak hukum seperti pemerintah, aparat keamanan, dinas ketenagakerjaan maupun komunitas keagamaan. Pemerintah dan lembaga-lembaga sosial minim menyosialisasikan secara langsung tentang bahaya human trafficking kepada rakyat NTT dan bagaimana setiap orang berusaha untuk menjalani kehidupannya dengan baik, tanpa harus menjadi korban perdagangan orang. Aparat keamanan belum memaksimalkan kinerjanya dan malah membantu memperlancar perekrutan tenaga kerja ilegal. Sedangkan komunitas keagamaan pun lemah dalam menganimasi rakyat NTT soal bagaimana menghargai hidup, mencintai dan mengasihi yang lain sebagaimana ditekankan dalam surat-surat suci, misalnya Alkitab, Alquran, Weda, Tripitaka dan kitab suci lainnya.

 

Sekilas Tentang Amartya Sen

            Amartya Sen dilahirkan pada 3 November 1933 di Bengali, India. Ia merupakan ekonom India yang meraih penghargaan Hadiah Nobel bidang Ilmu Ekonomi pada tahun 1998 untuk sumbangsih pemikirannya mengenai ekonomi kesejahteraan (welfare economics) dan teori pilihan sosial (social choice theory), dan juga untuk perhatiannya pada persoalan-persoalan yang dihadapi kelompok-kelompok masyarakat paling miskin. Amartya Sen menyelesaikan pendidikannya di Presidency College di India dan University of Cambridge, Inggris. Amartya Sen sangat dikenal luas melalui karya-karyanya yang membahas sebab-musabab kelaparan, yang mendorongnya untuk mengembangkan solusi praktis untuk melindungi atau membatasi akibat-akibat yang nyata, atau setidaknya kemampuan untuk berhadapan dengan persoalan kekurangan pangan. Pada saat ini Amartya Sen merupakan Thomas W. Lamont University Professor dan juga Professor of Economics and Philosophy di Harvard University. Ia juga merupakan senior fellow di Harvard Society Fellows, distinguish fellow di All Souls College, University of Oxford, dan juga fellow di Trinity College, University of Cambridge, di mana ia pernah menjabat sebagai Master dari tahun 1998 sampai 2004.

 

Teori Keadilan Komparatif Amartya Sen

            Amartya Sen menekankan bahwa konsep keadilan mesti memfokuskan esensinya dengan memperhatikan bagaimana kehidupan masyarakat yang riil itu berlangsung lewat perilaku aktual dan pilihan-pilihan yang diambil oleh masyarakat. Tujuannya ialah agar keadilan bisa terpusat pada perilaku-perilaku aktual yang mampu mengurangi kondisi ketidakadilan yang berlangsung dalam kehidupan masyarakat. Amartya Sen lebih memfokuskan teori keadilannya pada usaha untuk mengurangi ketidakadilan. Karena itu, Sen menawarkan pendekatan keadilan yang komparatif.

Ada tiga hal penting dalam pendekatan komparatif Sen. Pertama, pendekatan yang berupaya memperhatikan perbandingan relatif antara yang adil dan tidak adil atau mencari, melihat, dan menilai kondisi yang lebih sedikit ketidakadilannya (les injust) dari pada kondisi yang lain. Sen lebih suka berjuang untuk reduce injustice atau mengurangi ketidakadilan dan advance injustice atau memajukan keadilan dibandingkan dengan menciptakan setumpuk aturan-aturan yang memperjuangkan keadilan. Dalam konteks ini Pendekatan komparatif menciptakan keseragaman pandangan tentang keadilan dalam masyarakat yang tidak tunggal sebagai sebuah keniscayaan dan bahkan dapat berkontribusi besar dalam mengurangi ketidakadilan dalam dunia riil.

Kedua, pendekatan komparatif yang telah menciptakan keseragaman pandangan akan bisa memberikan kontribusi terhadap upaya pengurangan praktik ketidakadilan. Keseragaman pandangan adalah sebuah keniscayaan dalam realitas sosial dan hal yang dibutuhkan ialah suatu reasoning atau proses penalaran yang terbuka terhadap setiap pandangan. Konsekuensi dari kualitas ini adalah terbentuknya suatu proses yang memberikan kontribusi terhadap kehidupan masyarakat yang lebih baik. Ketiga, pendekatan komparatif Sen berfokus pada realisasi kehidupan masyarakat, sebab menurutnya teori keadilan pada akhirnya berkenaan dengan proses kehidupan masyarakat menyangkut soal bagaimana ia berlangsung hidup dan bukan semata-mata seberapa banyak aturan atau hukum yang menatanya. Karena itu, pendekatan ini lebih memfokuskan dirinya pada kehidupan masyarakat secara aktual. Kehidupan masyarakat tidak hanya ditentukan aturan-aturan, tetapi juga oleh tindakan-tindakan aktual mereka dan interaksi sosial yang ada di dalamnya. Pendekatannya lebih bersifat realistis karena berkenaan dengan pola kehidupan aktual masyarakat setiap hari.

 

Human Trafficking dalam Perspektif Keadilan Komparatif Amartya Sen

            Keadilan merupakan keutamaan yang mesti dibangun di dalam suatu negara tertentu. Keadilan bukan semata-mata sebentuk benda yang bisa diukur secara tepat dan dibuat dengan tepat, melainkan tempat di mana orang-orang jelih melihat, menilai dan memaknai apa yang diperjuangkannya. Karena itu, melihat polemik human trafficking di NTT dari perspektf keadilan tentu dinilai amat penting. Apa yang ditulis Amartya Sen merupakan upayanya untuk mempertautkan keadilan dengan masalah sosial-politik-ekonomi saat ini.  Human trafficking adalah problem sosial, juga ekonomi termasuk politik. Amartya Sen menilai bahwa gagasan keadilan yang sekarang ada, tidak lagi memadai untuk menangani berbagai masalah dan gejolak yang melanda kehidupan rakyat NTT. Human trafficking dijadikan instrumen demi memaksimalkan selfinterest atau kepentingan pribadi dalam kuncup rasional sambil menciptakan kebangkrutan moral melalui tindakan perdagangan sesama ‘yang lain’. Rendahnya penghargaan terhadap keadilan dan hak hidup ‘yang lain’ akhirnya mendorong Sen kian gencar mengumandangkan konsep keadilan.

Pihak pemerintah daerah dan lembaga-lembaga sosial kemasyarakatan selalu membentuk aturan-aturan atau hukum demi mencegah praktik human trafficking, tetapi sejauh ini dampaknya belum dirasakan secara nyata oleh masyarakat NTT. Persentase kasus human trafficking semakin meningkat.[7] Pada tataran semacam ini Sen menilai pencegahan yang ditempu oleh pihak pemerintah maupun lembaga sosial kemasyarakatan bersifat institusional dan tidak aktual dalam mengurangi persentase dari praktik human trafficking. Oleh karena itu, Sen menilai konsep keadilan yang didasarkan pada pendekatan institusional tidaklah memadai karena keadilan hanya terfokus pada institusi bukan pada kehidupan aktual yang berlangsung dalam masyarakat. Penataan institusi tentu saja penting dan Sen mengakui bahwa pendekatan ini memiliki pengaruh dalam membentuk perilaku subjek yang ada dalamnya. Namun masalah keadilan jelas tidak cukup jika hanya didekati secara kelembagaan, karena faktanya realisasi keadilan dalam kehidupan masyarakat perlu mempertimbangkan dimensi yang lebih luas. Salah satu dimensi yang mendapat penekanan dari Amartya Sen di sini adalah actual behavior atau perak perilaku aktual. Yang ia maksud dengan perilaku aktual adalah perilaku riil yang berlangsung dalam kehidupan masyarakat, bukan perilaku normatif yang diharapkan. Karena itu, pendekatan pada tataran individual amat penting untuk dilakukan oleh pihak pemerintah, lembaga-lembaga sosial sampai pada level masyarakat NTT sendiri. Pendekatan individual tentu memberi perhatian pada perilaku-perilaku aktual rakyat NTT dan berpotensi memaksimalkan nilai-nilai yang dianggap penting sebagai pendukung realisasi keadilan dalam masyarakat seraya meminimalkan hal yang kita anggap sebagai penghambat seperti halnya praktik human trafficking. 

 

Pencegahan Terhadap Human Trafficking

            Bertolak dari konsep keadilan Amartya Sen, maka penulis menawarkan beberapa tindakan solutif sebagai variabel dari pendekatan keadilan komparatif Sen. Langkah pertama penulis hendak mengkaji pendekatan pada level individu. Dalam level individu tahap treatment mesti dilakukan sebagai bentuk upaya penghilangan masalah secara tuntas dan proses pembatasan agar masalah tidak berkembang. Tahap treatment terdiri atas tiga tindakan yakni rehabilitasi, preventif dan developmental atau pemberdayaan. Tindakan rehabilitasi merupakan tindak pemulihan kepada para korban human trafficking karena mengalami kegangguan psikis dan kecacatan fisik. Tindakan itu bisa dilakukan melalui bimbingan konseling, penyembuhan luka batin, dan sebagainya. Fokusnya ialah para korban dan melakukan perubahan terhadap kondisi yang tidak diharapkan atau dinilai sebagai problem sosial menjadi kondisi normal yang sepatutnya diharapkan dalam masyarakat. Pemerintah dan lembaga-lembaga sosial terkait memiliki tanggungjawab dalam memenuhi kebutuhan hidup para korban setiap hari selama proses rehabilitasi berlangsung. Perhatian mereka sangat membantu proses pemulihan kondisi para korban.

Tindakan preventif merupakan tindakan antisipatif atau penyadaran mengenai suatu masalah sosial kepada masyarakat setempat. Tindakan preventif penting dilakukan demi mencegah semakin bertambahnya jumlah korban dari suatu masalah sosial. Tindakan ini bisa diaktualisasikan melalui kegiatan seminar, sosialisasi, lokakarya dan tindakan pemberian informasi lainnya. Tujuannya ialah masyarakat mampu mengidentifikasikan masalah sosial yang ada secara benar dan berkemampuan memprediksi efek apa yang ditimbulkan dari suatu kebijakan atau keputusan apabila dilakukan dan tidak dilakukan. Keterlibatan pihak pemerintah daerah melalui tindakan preventif secara terus menerus membantu rakyat NTT dalam proses mengetahui bahaya dari human trafficking dan bagaimana mengatasinya.

Sedangkan developmental atau pemberdayaan merupakan upaya meningkatkan kapasitas individu, kelompok dan masyarakat NTT ke arah yang lebih baik. Masyarakat diharapkan mampu beradaptasi dan menghadapi masalah sosial dalam hidupnya. Tindakan developmental amat penting dilakukan demi terwujudnya tindakan rehabilitasi dan preventif yang dilakukan sebelumnya. Developmental bisa dipahami juga sebagai tindakan pembatasan, pencegahan, dan penghilangan masalah sosial dalam tantanan kehidupan bersama sambil memperjuangkan bonum commune atau kebaikan bersama. Karena itu dibutuhkan partisipasi dari pihak pemerintah, lembaga sosial dan masyarakat sendiri demi memonitoring atau mengintervensi sebagai bentuk pelayanan terhadap para korban agar mengembangkan hidupnya secara lebih kreatif dan kondusif.

Kemiskinan, pengangguran, kesehatan dan pendidikan yang rendah juga menjadi alasan rakyat NTT berinisiatif merantau atau mengadu nasib di negeri lain, sekalipun itu melalui jalur ilegal. Realitas semacam ini sudah sepatutnya membutuhkan kepekaan dari pemerintah dan rakyat NTT secara luas. Kepekaan pemerintah ini termanifestasi melalui kebijakan yang pro masyarakat dengan menciptakan lapangan pekerjaan bagi masyarakat atau melalui pemberian modal dasar bagi masyarakat dalam mengembangkan usaha-usaha mereka. Dalam konteks ini tindakan preventif sebelumnya amat penting dimana pemberian informasi atau pengetahuan membantu masyarakat mulai berpikir kreatif dan inovatif untuk menciptakan lapangan pekerjaan dan mengembangkan usaha-usaha demi mencapai kehidupan yang lebih baik. Masyarakat dan pemerintah mesti bekerjasama demi kemajuan rakyat NTT dan memerangi tendensi human trafficking dengan smart.

Meskipun Amartya Sen dalam konsep keadilan komparatifnya lebih menekankan pendekatan pada level individu melalui perhatian pada tingkah laku masyarakat dalam konteks kehidupan yang lebih riil, tetapi di sisi lain ia juga tidak menegasikan secara radikal pendekatan pada level sistim atau institiusional seperti yang ditekankan oleh John Rawls. Rekonstruksi pada tatanan sistim atau institiusional amat urgen dilakukan demi efektivitas dan transparansi kualitas penyelenggaraanya dalam mencapai bonum commune. Misalnya penegak hukum seperti pemerintah, aparat keamanan, dinas ketenagakerjaan, maupun instansi keagamaan menjalani fungsinya masing-masing secara total dan penuh tanggung jawab. Pemerintah daerah NTT tidak boleh membiarkan begitu saja perusahan-perusahan yang merekrut tenaga kerjanya secara ilegal. Sedangkan instansi keagamaan terus menerus memberi pemahaman yang kokoh kepada umat akan penghargaan terhadap kehidupan sebagai gift atau pemberian dari Yang Mahakuasa. Misalnya melalui renungan dalam perayaan ekaristi pada agama Katolik. Sehingga secara ontologis rakyat memiliki tanggung jawab riil dimana ia dituntut untuk menghargai dirinya dan ‘yang lain’ yakni sesamanya manusia. Ia tidak sekedar ada, tetapi berada sambil memberikan sumbangan yang positif bagi diri dan the other. Sen memberikan catatan pentingnya terhadap dua pendekatan ini yakni keterkaitan antara apa yang sudah ditetapkan secara ideal (aturan-aturan atau undang-undang dan wewenang instansi-instansi tertentu) dan apa yang mesti berlangsung dalam kehidupan nyata atau riil. Tujuannya ialah tercapainya kepentingan bersama yakni keadilan dan penghargaan terhadap hak hidup sendiri maupun orang lain.

 

Penutup

            Human Trafficking telah menelan rakyat NTT dalam jumlah yang tidak sedikit. Problem ini semakin eksis keberadaannya karena keteledoran pun orientasi kepentingan yang hadir dalam rupa tawaran-tawaran yang menarik. Konsep keadilan komparatif Amartya Sen membantu kita melihat dengan jelas bagaimana seharus membaca dan menyelesaikan polemik ketidakadilan tersebut. Toeri Sen semestinya dinilai sebagai interprestasi panggilan kepada intensionalitas terhadap semua rakyat NTT untuk terbuka terhadap kehadiran yang lain sebagai anugerah dan pemberian yang paling luhur. Keterbukaan itu mesti nampak nyata  melalui tindakan yang mengusahakan keadilan, menghargai kehidupan, menghormati harkat-martabat ‘yang lain’. Human Trafficking mesti dihentikan, sebab manusia bukan sejenis barang dagangan yang keadilan dan hak hidupnya dieksploitasi begitu saja demi kepentingan segelintir individu atau golongan sosial tertentu. Kita perlu saling menghargai, saling mendengarkan, saling belajar bukan sekadar pada titik-titik kesamaan dengan “yang lain”, tetapi lebih lagi pada titik-titik putus serta garis pisah. (…) Kita dipanggil, sekali dan sekali lagi untuk mengakui “yang lain”.[8] Semoga rakyat NTT mulai menyadari tanggung jawabnya terhadap keadilan dan hak hidup ‘yang lain’.

Rakyat NTT memang masih asyik dengan ketidakpedulian terhadap keadilan diri sendiri dan ‘yang lain’. Sujud menyembah di hadapan ketidakadilan. Dan terhadap kegelisahan ini Socrates katakan “terjatuh bukanlah kesalahan. Yang menjadi kesalahan adalah ketika kau tetap diam di tempat kau jatuh”. Setiap kita layak hidup aman dan nyaman tanpa ejekan, makian, ancaman, intimidasi, dan tanpa harus menjadi komoditi dari diri sendiri  maupun oleh ‘yang lain’. Kita layak dicintai oleh diri kita sendiri. Kita layak memperjuangkan keadilan dan hak kita untuk hidup; hak orang lain pun begitu, sehingga kedamaian dan kesejahteraan sosial itu terbentuk secara nyata dalam kehidupan rakyat NTT setiap hari. Tersenyumlah, kita orang berani.



Catatan Akhir 

[1]Korban dari praktik human trafficking paling rawan dialami oleh anak kecil, perempuan muda-dewasa dan pria dewasa. Kebanyakan dari mereka berasal dari keluarga yang miskin dengan sumber daya manusia (SDM) yang rendah sehingga mereka tertipu dengan mudah oleh tawaran yang menggiurkan dari para calo.

[2]Felix Baghi, ALTERITAS Pengakuan, Hospitalitas, Persahabatan (Etika Politik dan Postmodernisme) (Maumere: Ledalero, 2012), hlm. 9.

[3]Mark Hoerrner dan Keisha Hoerrner, “Human Trafficking” dalam Mary De Chesnay (ed.), Sex Trafficking: A Clinical Guide For Nurses (New York: Springer Publishing Company, 2013), hlm. 27.

[4]Ibid.

[5]Robert Mirsel dan John Manehitu, “Komoditi Yang Disebut Manusia: Membaca Fenomena Perdagangan Manusia di NTT dalam Pemberitaan Media”, Jurnal Ledalero, 13:2 (Ledalero: Desember 2014), hlm.372.

[6]Ibid., hlm. 373.

[7]Berkaca pada data-data yang dipublikasikan oleh lembaga Advokasi, Eliminasi dan Pencegahan Pekerja Anak NTT.

[8]John Mansford Prior, “Mengakui yang lain” dalam Jurnal Ledalero, Wacana Iman dan Kebudayaan, vol. 8, no. 2, Desember 2009, hlm. 131-132. 



Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Misa Syukur Hut Ke-51 KORPRI Tingkat Kecamatan Nita-Kabupaten Sikka-Provinsi Nusa Tenggara Timur

  Pater Stef Dampur, SVD. Oleh: Pater Ephang Yogalupi *) Hari ini, Senin, 28 November 2022. Hujan tak terbendung lagi. Ada rasa cemas singgah di hati: "Akankah hujan terus hingga malam? Bagaimana dengan misa syukur hari ulang tahun (HUT) ke-51 Korps Pegawai Republik Indonesia (KORPRI) tingkat Kecamatan Nita yang sudah sejak minggu lalu disepakati? Saya pasrah kepada Tuhan sembari meneguhkan hati camat Nita, Bapak Avelinus Yuvensius dan staf yang juga was-was. ** Dalam agenda yang disepakati, misa dimulai pukul 16.15 WITA tapi cuaca tidak mendukung. Kami sengaja menunda misa hingga hujan reda. Puji tuhan, pada pukul 16. 45 WITA hujan berhenti meskipun langit tetap tidak secerah hari sebelumnya. Ketika cuaca membaik maka bertempat di kapela susteran   fransiskan nita-maumere, kami mulai merayakan misa syukur (pkl. 16.50 wita). Sang komentator pun mulai membacakan komentar pembuka. Koor sudah siap. Lalu lagu pembukaan pun dilantunkan. Terdengar suara koor yang merdu. Di sana

Hidup Selibat dalam Gereja Katolik: Berkah dan Tantangannya | Opini Senus Nega

Senus Nega | Mahasiswa Semester VIII STFK Ledalero I.           Pendahuluan   Dalam perjalanan sejarah hingga saat ini, di dalam Gereja Katolik terdapat satu panggilan hidup yang unik dan berharga yakni pilihan hidup selibat. Panggilan itu bersifat pribadi. Berkenaan dengan itu, Karol Wojtyla menyatakan ‘bahwa ada suatu jalan khusus bagi perkembangan setiap pribadi kalau diikuti, suatu jalan khusus baginya untuk memberikan seluruh hidupnya bagi pelayanan atau pengabdian terhadap sejumlah nilai tertentu. [1] Pemberian diri merupakan substansi setiap pilihan hidup, entah menikah atau selibat. Secara sederhana, hidup selibat berarti berani memilih untuk tidak menikah dengan tujuan untuk memfokuskan pelayanan dan pemberian diri secara total kepada Tuhan. Pilihan hidup selibat bukan berarti meninggalkan seksualitas atau alergi bila berbicara mengenai seksualitas. Dalam hubungan dengan hidup selibat, seksualitas manusia tetap merupakan anugerah Tuhan yang amat luhur dan berharga. Etika Kris

NARASI KECIL JUMAT PERTAMA DESEMBER 2021

  Pater Stef Dampur, SVD. (Kegiatan Rohani Bersama Organisasi Gerejawi Sta. Anna, Paroki St. Yosef Wairpelit-KUM) Oleh: Ephang Yogalupi * I. Prolog: Sudah menjadi "tradisi" di Paroki Wairpelit Maumere bahwa misa Jumat Pertama yang didedikasikan kepada Hati Amat Kudus Tuhan Yesus senantiasa dirayakan di Gereja Pusat Paroki. Mayoritas umat yang hadir dan terlibat adalah "Mama-mama Santa Anna". II. Bersama Santa Anna Wairpelit di Napung Kabor Pernahkah Anda pergi ke Napung Kabor Maumere? Kalau Anda belum pergi, saya akan mengantar Anda ke sana lewat deskrpisi sederhana ini. Titik star kita adalah Gereja Paroki Santo Yosef Wairpelit. Kita menuju arah timur. Kita menyusuri Ribang, Woloara, Hoba dan Nangalimang. Setiba di Nangalimang, kita mesti jeli. Di tikungan halus itu biasa terjadi kecelakaan maut yang merenggut nyawa anak manusia. Anda mesti me-rem laju kendaraan Anda, entah mobil maupun sepeda motor. Saat menuju Napung Kabor, Anda mengambil rute bel