Langsung ke konten utama

Relevansi Kritik Positivisme Habermas Terhadap Gerakan Ekologi Selama Pandemi di Indonesia || Opini Aris Kapu


I Pendahuluan

            Hadirnya pandemi korona di dunia membawa banyak krisis dan dampak dalam setiap bidang kehidupan manusia meliputi bidang sosial, ekonomi, politik, dan pendidikan. Dampak yang paling dirasakan oleh hampir semua negara di dunia ialah dampak ekonomi. Hal ini membuat para pemimpin negara memutar otak untuk memperbaiki perekonomian yang ambruk akibat wabah korona yang masif.

            Salah satu strategi perbaikan ekonomi yang paling disoroti selama masa pandemi ialah investasi akbar di bidang ekologi. Merilis laporan Global Forest Watch (GFW) di tahun 2019, setiap enam detik hutan hujan tropis seluas satu lapangan sepak bola menyusut dan hilang. Berkurangnya hutan hujan tropis terjadi ketika kesadaran tentang peran penting hutan sebagai penyimpan karbon dalam memperlambat perubahan iklim tengah digencarkan. [1]

            Di Indonesia, laju deforestasi selama pandemi diklaim berada pada kurva tengah menurun. Sebagaimana dilaporkan oleh Dirjen Planologi Kehutanan dan Tata Lingkungan (PKTL), Indonesia berhasil menurunkan laju deforestasi 75,03% di periode tahun 2019-2020 hingga berada pada angka 115.460 hektare. Angka ini diklaim menurun dari tahun sebelumnya yakni 462.460.[2]

            Namun bahwa, data yang ditunjukkan tidak bersinggungan lurus dengan kenyataan. Sebagaimana kita ketahui bencana alam yang melanda Indonesia, khususnya banjir di Kalimantan menjadi salah satu keprihatinan yang harus dipandang secara kritis. Banyak pihak yang mengatakan bahwa hal itu disebabkan oleh anomali cuaca, tetapi lebih dari itu pembabatan lahan di Kalimantan menjadi salah satu faktor. Sebab, peristiwa ini jarang terjadi di Kalimantan sehingga menimbulkan rupa pertanyaan atas kejadian ini.

            Atas uraian peristiwa yang melanda ruang ekologi selama pandemi demi meningkatkan perekonomian, strategi ini terkesan dinilai cukup instan dan kurang bijak karena hanya mengedepankan pertumbuhan ekonomi tanpa mempertimbangkan resiko yang timbul di kemudian hari, seperti masalah perubahan iklim & cuaca, dan juga kemanusiaan.

            Terlepas dari persoalan konkret ini juga, telaah dominasi atas alam demi sebuah orientasi ekonomi semata masih memiliki kaitan dengan imbas modernitas. Sebagaimana diketahui bahwa, modernitas hadir dengan menuntut manusia untuk berani berpikir, keluar dari kungkungan dogmatisme, dan bergerak secara otonom di tengah dunia. Tuntutan ini membawa manusia menggunakan akal budinya dalam mengembangkan pengetahuan demi tujuan pemenuhan kebutuhan.

            Berkembangnya ilmu pengetahuan ditandai dengan corak sistematika yang khas dalam memperoleh pengetahuan itu sendiri, yakni coraknya yang positivis. Corak ini dilihat sebagai metode bebas nilai ketika menelaah realitas. Tak heran, pengetahuan dalam lingkup modernitas condong sebagai instrumen terhadap objek di luar manusia, khususnya alam. Pengetahuan dilihat sebagai jalan kekuasaan untuk mencaplok kebutuhan dari bahan baku alam.

            Dari sinilah muara kritik terhadap modernitas Habermas berujung. Ia menolak klaim pengetahuan sebagai alat instrumen untuk menguasai sepuas-puasnya demi pemenuhan hasrat manusia. Kritik Habermas tidaklah usang, malah tetap relevan untuk konteks sekarang. Penulis sangat tertatik atas dalil kritik yang ia kemukakan terhadap kegagalan modernitas khususnya dalam bidang ilmu pengetahuan, lalu menyandingkannya dengan gerakan ekologi selama pandemi di Indonesia. Pertanyaan besar yang timbul ialah, bagaimana relevansi kritik Habermas terhadap positivisme terhadap gerakan ekologi selama pandemi di Indonesia?

            Sebelum menjawab pertanyaan besar tadi, tulisan ini pertama-tama menjabarkan realitas munculnya corak pengetahuan yang positivistik sebagai buah dari modernitas. Lalu dikemukakan alasan-alasan yang mendorong Habermas mengkritik metode positivisme itu sendiri. Dalil kritik Habermas itu penulis gunakan dalam relevansinya dengan gerakan ekologi selama pandemi di Indonesia.


II Modernitas dan Timbulnya Positivisme

            Sebagaimana diketahui, modernitas lahir dari situasi sosial-politik yang carut-marut, seperti revolusi Perancis abad 17, sebagai ekspresi untuk menolak sikap dogmatisme yang masih dipengaruhi oleh Gereja pada masa itu. Selama masa abad pertengahan yang didominasi oleh dogma dan wahyu Gereja, dimensi kebenaran berlandas pada Kitab Suci, sehingga tak dapat dipertentangkan atau diperdebatkan. Demikian Harold Titus, selama ribuan tahun sampai dengan akhir abad pertengahan filsafat logika Aristoteles diterima di Eropa sebagai otoritas yang besar. Para pemikir pun menganggap bahwa, pemikirian deduktif (logika formal) dan wahyu sebagai sumber pengetahuan.[3] Tak pelak, dogmatisme seperti itu mengantar manusia pada sebuah “penjara pikiran” (mind prison) karena kebenaran telah dipajang secara ‘definitif’.  

Untuk keluar dari kerangkeng tersebut, modernitas lahir sebagai narasi baru dalam melawan “penjara pikiran” diganti dengan semboyan sapere aude. Tak heran bila Robert C. Solomon dan Kathleen M. Higgins menyebut istilah ‘modern’ sebagai suatu situasi yang menunjukkan permulaan suatu pertempuran, suatu teriakan pemberontakan, suatu gerak penolakan (bahkan penghancuran) terhadap apa yang lampau.[4]

Lalu, seperti apa persisnya ciri-ciri yang menjadi keunggulan modernitas itu? Menurut Franz Magnis-Suseno terdapat tiga ciri modernitas yaitu subjektivitas, rasionalitas, dan refleksivitas.[5]

Pertama, subjektivitas. Dalam hal ini manusia menyadari dirinya sebagai subjek yang bebas dan otonom sekaligus bersifat personal.[6] Unsur ini dilihat sebagai kebangkitan filsafat modern sebab sebelumnya belum ada kesadaran akan subjek. Sebelumnya orang lebih mengenali dirinya sebagai ras, rakyat, partai, keluarga, atau kolektif.[7] Dengan adanya kesadaran subjektivitas ini, manusia semakin memaknai eksistensi dirinya di tengah dunia (antroposentris).

Kedua, rasionalitas. Rasionalitas bersumber pada akal budi manusia. Manusia rasional menggunakan akalnya untuk berpikir dan budinya untuk mempertimbangkan atau memberikan penilaian moral sebelum sebuah pernyataan atau tindakan dilakukan. Rasionalitas di sini mensyaratkan otonomi individu yang berpikir atau kesadaran akan subjektivitasnya. Namun, rasionalitas itu juga menyejarah. Ia adalah suatu sejarah pencaharian.[8]

Ketiga, refleksivitas. Refleksivitas dapat dikatakan menjadi ciri umum modernitas. Ciri umum refleksivitas ini adalah suatu sikap kritis terhadap segala bentuk pemikiran. Sikap kritis berarti suatu jenis pemikiran tidak diterima begitu saja, tetapi coba menghadapkan atau memantulkan pemikirannya kepada dirinya sendiri untuk kemudian dilihat kelemahan-kelemahannya. Sikap kritis inilah yang menuntun orang kepada pengetahuan yang sekurang-kurangnya mendekati kebenaran. Ia memantulkan setiap pemikiran yang datang kepadanya dengan sikap kritis, menunjukkan kelemahannya, dan kemudian belajar dari padanya untuk mendekati kebenaran itu sendiri.

Ketiga ciri modernitas di atas mengantar pada sebuah perkembangan yang pesat di bidang filsafat dan pengetahuan. Kajian metode dan sistematika atasnya menjadi berubah, di mana tidak lagi bertumpu pada satu sudut pandang tetapi terbuka pada seluruh bidang, seperti lingkup sosial, politik, ekonomi, budaya, agama, dan pendidikan.

Dari perkembangan inilah, bangunan filsafat dan pengetahuan terwujud melalui pengagungan terhadap rasionalisme, empirisme, objektivisme, positivisme, dan netralitas nilai etika. Hal ini kemudian menjadikan agama sebagai objek yang tidak rasional dan tidak objektif, sehingga disingkirkan dari modernitas.[9]


III Kritik Habermas Terhadap Positivisme

            Dalam perkembangannya selama beberapa dekade, paradigma positivis telah memberikan sumbangan bagi kemajuan dan tumbuhnya ilmu pengetahuan, terutama dalam hal mengkaji dan mengobservasi realitas.  Pandangan positivisme pada umumnya berkisar pada tiga hal berikut:[10] pertama, prosedur-prosedur metodologis ilmu-ilmu alam dapat diaplikasikan juga pada ilmu-ilmu sosial. Kedua, hasil-hasil penelitian dapat dirumuskan dalam bentuk hukum-hukum seperti pada ilmu alam. Ketiga, ilmu-ilmu sosial harus bersifat instrumental murni, dan dapat digunakan untuk segala keperluan, sehingga ia harus bebas nilai.

            Menegaskan hal ini, Berger menjelaskan bahwa dalam ilmu sosial, misalnya studi ilmiah dalam sosiologi, ditempuh dengan cara-cara yang positivis sebagai berikut.[11] Pertama, ilmu sosiologi bersifat empiris. Artinya, ia mesti berangkat dari realitas konkret hidup manusia, yang memungkinkan nalar untuk menganalisa realitas-realitas tersebut.

            Kedua, sosiologi bersifat teoretis. Hal ini berarti ia harus mampu menjelaskan fenomena yang ada atau memberikan analisis serta penjelasan atas data yang tersedai jelas dalam dirinya. Daya analisis menjadi suatu unit yang penting dalam menyusun kerangka teoritis, agar fenomena realitas yang ada dapat diterangkan secara saintifik.

            Ketiga, bersifat kumulatif. Itu artinya, sebuah teori atau konsep tidak dibangun atas satu bukti saja. Ia mesti terus dikaji dan ditelaah berdasarkan observasi bertahap, lalu dikembangkan, dikritisi, diperbaiki, agar makin lama makin sempurna. 

            Keempat, bersifat bebas nilai. Artinya bahwa, ketika pengamat terjun untuk melakukan observasi, ia harus menggambarkan situasi konkret-sosial yang ada di masyarakat secara gamblang, apa adanya (das sein) dan bukan menurut apa yang seharusnya (das sollen). Pengamat sungguh bebas dan independen dalam menelaah realitas itu dan menggambarkannya secara objektif. Tidak ada singgungan baik dan buruknya sesuatu. Di sini, etika tidak boleh dicakupkan dalam pengamatan.

            Terlepas dari semuanya itu, dapat ditelusuri bahwa, postulat utama yang terkandung dalam positivisme ialah monopoli metode-metode secara interdisipliner ilmu, di mana pendekatan atasnya harus empiris, teoritis (sistematis-metodis), dan bebas nilai.[12]

            Berangkat dari postulat positivisme ini, Habermas masuk memberikan kritik atas telaah metodis yang dipakai oleh kaum positivis dalam melakukan observasi pengetahuan. Kritik ini sekaligus nantinya menggambarkan kerapuhan modernitas sebagai penggagas sapere aude yang cenderung menekankan relasi subjektivis ketimbang relasi intersubjektif. Kritik tersebut meliputi, pertama,  metode yang dibangun oleh kaum positivis benar-benar memperlemah kemampuan seseorang untuk menghadapi persoalan-persoalan seputar nilai dan makna hidup yang fundamental.[13] Hal ini disebabkan oleh basis bebas nilai dari positivisme yang mengesampingkan etika dalam pengamatan, sehingga daya kritis pemecahan seseorang menjadi kurang terasah.

            Kedua, metode positivisme terkesan mengasingkan rasio dari kehidupan praksis, karena ia harus menjalankan sebuah independensi dalam observasi. Apa mungkin rasio menjadi sungguh netral bila demikian? Habermas memberi jawaban negatif. Ia katakan bahwa rasio positivis hanya untuk kontrol teknis atas alam dan masyarakat.[14] Itu berarti, rasio hanya dipakai melulu pada aplikasi teknis-instrumentalis demi penguasaan atas alam.

            Ketiga, Habermas menolak objektivitas ilmu. Memang bahwa, ilmu dibangun dalam kerangka kepentingan objektivasi dan realitas dalam kerangka eksploitasi. Tapi timbul paradoks, bahwa demi teraihnya teori murni (objektif) ‘kepentingan’ ditekan dalam rangka melayani ‘kepentingan’ untuk memandang dunia sebagai sesuatu yang independen dari ‘kepentingan’.[15] Artinya bahwa, omong kosong dalam positivisme bila ilmu yang mereka hasilkan bebas dari kepentingan nilai apapun, sebab upaya observasi mereka juga toh dilandasi oleh kepentingan lain demi sebuah dominasi.

            Demikian kritik yang diajukan Habermas atas positivisme. Dari kritik itu, ia menganjurkan sebuah rasionalitas yang kritis dalam observasi, yang tidak mengesampingkan nilai-nilai, sehingga dalam upaya mengkaji fenomena realitas manusia tidak condong pada das sein tapi turut disertakan dengan das sollen. Anjuran ini lazim juga disebut dengan “kepentingan kognitif emansipatoris-kritis”, di mana pengetahuan dilihat sebagai proses refleksi diri yang dialektis dengan ketegangan-ketegangan yang ada dalam realitas.[16]


IV Relevansi Kritik Positivisme Habermas Terhadap Gerakan Ekologi Selama Pandemi di Indonesia

            Gerakan ekologi di Indonesia selama masa pandemi mendapat tempat sorot khusus ketika beberapa waktu silam negara kita dilanda bencana di beberapa daerah. Hal ini mengundang keprihatinan tersendiri untuk melihat dengan terang dan kritis faktor-fator yang melatarbelakangi terjadinya bencana itu.

            Seperti telah dijelaskan pada awal tulisan, banyak pihak yang berargumen bahwa timbulnya bencana ini diakibatkan oleh anomali cuaca yang ekstrim. Namun, bila ditelusuri secara kritis, bencana yang terjadi lebih disebabkan oleh tindakan manusia itu sendiri dalam hal eksploitasi terhadap alam dan isinya.

Dalam bagian ini, penulis mencoba menarik garis benang merah antara kritik positivisme Habermas dengan persoalan ekologi selama pandemi di Indonesia. Uraian relevansi ini juga sebenarnya mengandung etika politik bagi pemerintahan Indonesia, khususnya dalam hal pengambilan kebijakan yang tepat sasar dan bermanfaat bagi kesejahteraan semua pihak. Untuk itu, penulis menjabarkannya lewat beberapa poin argumentasi berikut.

            Pertama, beralih dari subjektivisme menuju intersubjektivitas. Poin yang dimaksud ialah pemerintah mesti mengadakan kajian ilmiah yang kritis sebelum mengambil keputusan, terutama bila hendak melakukan investasi yang bersifat ekstraktif. Hal ini penting agar pemerintah harus tahu resiko dan peluang kebijakan yang diambil. Pemerintah dituntut untuk berdialog secara kritis dengan realitas, memahami cakupan keunggulan dan kekurangan yang ada, agar pertimbangan yang diambil menjadi matang. Di sini, peran akal budi komunikatif menjadi sangat penting. Sebagaimana Habermas, akal budi komunikatif itu mengandaikan kemampuan yang digagas mampu dibagikan kepada orang lain, agar terjadi dialektika atau negosiasi, sehingga bisa memicu pertimbangan deliberatif dalam mengambil keputusan.[17]

            Kedua, tidak berorientasi pada kepentingan ekonomi atau kepentingan teknokratis golongan tertentu. Ini kerap terjadi, bilamana kebijakan yang diambil pemerintah menimbulkan trickle down effect, di mana yang mengeruk keuntungan paling banyak diambil oleh segelintir orang (oligarkis). Wabah pandemi yang merugikan perekonomian membawa rujukan keputusan yang cenderung ekonomis, dengan usaha ekstraksi terhadap alam, sehingga ruang ekologi menjadi tidak stabil dan kemudian membawa bencana. Di sini, penting untuk mewacanakan kembali gerakan pembangunan ekonomi yang dibuat dengan mempertimbangkan relasi integral-holistik antara alam, manusia, dan pengetahuan (kebijakan), agar hasil keputusan menyejahterakan semua pihak.

            Ketiga, alam tidak boleh dipandang sebagai objek semata. mesti ditelaah secara kritis dan cermat bahwa, manusia tidak bereksistensi sendirian di muka bumi melainkan memiliki relasi keterhubungan dengan alam. Hal ini sebenarnya juga merupakan kritik atas antroposentrisme dalam modernisme oleh Habermas, yang cenderung mendewakan rasionalitas manusia hanya pada tataran pemenuhan nafsu kebutuhan semata. Untuk itu, alam dalam lingkup ekologis dipandang sebagai subjek yang memiliki andil dalam eksistensi manusia di dunia.

            Uraian poin-poin tadi telah menggambarkan bagiamana relevansi kritik Habermas terhadap positivisme yang menekankan pengetahuan sebagai alat kekuasaan dilihat dalam konteks gerakan ekologi selama pandemi di Indonesia. Pokok utamanya ialah, pemerintah mesti memperhatikan kembali usaha konkret dalam menggenjot perekonomian di tengah wabah covid-19, yang tidak direduksi pada proyek investasi dan eksploitasi terhadap alam. Sikap cermat dan kritis menjadi andil penting dalam mengamati realitas sembari memperhatikan nilai-nilai etis yang ada di baliknya.


IV Penutup

            Gagasan Habermas dalam mengkritik posotivisme yang lahir dari lingkungan modernisme membawa andil besar dalam filsafat dan ilmu pengetahuan. Bilamana sebelumnya, positivisme menekankan superioritas metode terhadap tiap disiplin ilmu (ilmu sosial dan ilmu alam) dengan tujuan kepentingan teknis dan bebas dari nilai-nilai etis, Habermas merangsek masuk memberi kritik atas superioritas itu.

            Habermas melihat, monopoli metode yang cenderung superior dipakai oleh kaum positivis di bidang pengetahuan dan filsafat menjauhkan rasio dari ranah praktis-etis, karena hanya menggambarkan realitas apa adanya (das sein). Hal ini pula yang membuat sikap cermat dan kritis menjadi kurang terasah. Ditambah, terdapat paradoks dalam metode positivisme itu sendiri, yakni bahwa, mereka katakan bebas nilai dan kepentingan, tapi toh mereka tetap dicengkeram oleh kepentingan lain demi kekuasaan atas objek, terutama alam.

            Sumbangan kritik Habermas ini dapat dilihat dalam konteks pandemi covid-19, di mana dalam kebijakannya, pemerintah cenderung mengaplikasikan proyek ekonomis dengan mancaplok sumber daya alam sebanyak-banyaknya demi menggenjot pertumbuhan ekonomi. Untuk itu, perlu ada pemetaan dan tinjauan kritis-deliberatif atas kebijakan tersebut dengan memakai akal budi komunikatif, agar buah keputusan menguntungkan banyak pihak, sehingga ruang ekologi dan eksistensi manusia tetap harmoni dan terjaga.



Catatan Akhir


[1] “Analisis: Pandemi Covid-19 tahun 2020 ‘Menghancurkan’ Hutan Dunia”, dalam DW.Com 26 Februari 2021, https://www.dw.com/id/pandemi-covid-19-tahun-2020-menghancurkan-hutan-dunia/a-56710524, diakses pada 05 Mei 2021

[2] Pradipta Pandu, “Deforestasi Periode 2019-2020 di Indonesia 115.459 Hektare”, dalam Kompas.com 4 Maret 2021, https://www.kompas.id/baca/ilmu/-pengetahuan-teknologi/2021/03/04/deforestasi-periode-2019-2020-di-indonesia-115-459-hektar, diakses pada 06 Mei 2021.

[3] Harold. H. Titus, et.al., Persoalan-Persoalan Filsafat, penerj. H. M. Rasyidi (Jakarta: Bulan Bintang, 1984), hlm. 257.

[4] Robert C. Solomon dan Kathleen M. Higgins, Sejarah Filsafat (Cetakan Kedua), penerj. Saut Pasaribu (Yogyakarta: Bentang Budaya, 2003), hlm. 317.

[5] Franz Magnis-Suseno, Pijar-Pijar Filsafat: Dari Gatholoco ke Filsafat Perempuan, dari Adam Müler ke Postmodernisme (Cetakan Kelima) (Yogyakarta: Kanisius, 2009), hlm. 219-220.

[6] Ibid.

[7] F. Budi Hardiman, Filsafat Modern: Dari Machiavelli Sampai Nietzsche, cet. II (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2007), hlm. 3.

[8]Franz Magnis-Suseno, op.cit., hlm. 9.

[9] Darwis A. Soelaiman, Filsafat Ilmu Pengetahuan Perspektif Barat dan Islam (Aceh: Bandar Publishing, 2019), hlm. 112.

[10] Mathias Daven, “Epistemologi” (Bahan Kuliah STFK Ledalero-Maumere, 2018), hlm. 232.

[11] Robert M.Z. Lawang, Pengantar Sosiologi (Jakarta: Penerbit Karunika, 1986), hlm 21.

[12] Bdk. Ted Benton & Ian Craib, Filsafat Ilmu Sosial: Pendasaran Filosofis bagi Pemikiran Sosial (Maumere: Ledalero, 2009), hlm. 70.

[13] Ibid. hlm. 71.

[14] Bdk. Jurgen Habermas, Theory and Practice (London: Heinemann, 1971), hlm. 312-315.

[15] Leslie A. Howe, On Habermas (Belmont: Wadsworth/Thomson Learning, 2000), hlm. 6-7.

[16] Katherine Miller, Communications Theories: Perspectives, Processes, and Contexts (Boston: McGraw Hill, 2002), hlm. 67.

[17] Andreas Doweng Bolo dkk., Pancasila Kekuatan Pembebas. Cetakan ke-VI (Yogyakarta: Kanisius, 2016), hlm 207.



Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Misa Syukur Hut Ke-51 KORPRI Tingkat Kecamatan Nita-Kabupaten Sikka-Provinsi Nusa Tenggara Timur

  Pater Stef Dampur, SVD. Oleh: Pater Ephang Yogalupi *) Hari ini, Senin, 28 November 2022. Hujan tak terbendung lagi. Ada rasa cemas singgah di hati: "Akankah hujan terus hingga malam? Bagaimana dengan misa syukur hari ulang tahun (HUT) ke-51 Korps Pegawai Republik Indonesia (KORPRI) tingkat Kecamatan Nita yang sudah sejak minggu lalu disepakati? Saya pasrah kepada Tuhan sembari meneguhkan hati camat Nita, Bapak Avelinus Yuvensius dan staf yang juga was-was. ** Dalam agenda yang disepakati, misa dimulai pukul 16.15 WITA tapi cuaca tidak mendukung. Kami sengaja menunda misa hingga hujan reda. Puji tuhan, pada pukul 16. 45 WITA hujan berhenti meskipun langit tetap tidak secerah hari sebelumnya. Ketika cuaca membaik maka bertempat di kapela susteran   fransiskan nita-maumere, kami mulai merayakan misa syukur (pkl. 16.50 wita). Sang komentator pun mulai membacakan komentar pembuka. Koor sudah siap. Lalu lagu pembukaan pun dilantunkan. Terdengar suara koor yang merdu. Di sana

Hidup Selibat dalam Gereja Katolik: Berkah dan Tantangannya | Opini Senus Nega

Senus Nega | Mahasiswa Semester VIII STFK Ledalero I.           Pendahuluan   Dalam perjalanan sejarah hingga saat ini, di dalam Gereja Katolik terdapat satu panggilan hidup yang unik dan berharga yakni pilihan hidup selibat. Panggilan itu bersifat pribadi. Berkenaan dengan itu, Karol Wojtyla menyatakan ‘bahwa ada suatu jalan khusus bagi perkembangan setiap pribadi kalau diikuti, suatu jalan khusus baginya untuk memberikan seluruh hidupnya bagi pelayanan atau pengabdian terhadap sejumlah nilai tertentu. [1] Pemberian diri merupakan substansi setiap pilihan hidup, entah menikah atau selibat. Secara sederhana, hidup selibat berarti berani memilih untuk tidak menikah dengan tujuan untuk memfokuskan pelayanan dan pemberian diri secara total kepada Tuhan. Pilihan hidup selibat bukan berarti meninggalkan seksualitas atau alergi bila berbicara mengenai seksualitas. Dalam hubungan dengan hidup selibat, seksualitas manusia tetap merupakan anugerah Tuhan yang amat luhur dan berharga. Etika Kris

NARASI KECIL JUMAT PERTAMA DESEMBER 2021

  Pater Stef Dampur, SVD. (Kegiatan Rohani Bersama Organisasi Gerejawi Sta. Anna, Paroki St. Yosef Wairpelit-KUM) Oleh: Ephang Yogalupi * I. Prolog: Sudah menjadi "tradisi" di Paroki Wairpelit Maumere bahwa misa Jumat Pertama yang didedikasikan kepada Hati Amat Kudus Tuhan Yesus senantiasa dirayakan di Gereja Pusat Paroki. Mayoritas umat yang hadir dan terlibat adalah "Mama-mama Santa Anna". II. Bersama Santa Anna Wairpelit di Napung Kabor Pernahkah Anda pergi ke Napung Kabor Maumere? Kalau Anda belum pergi, saya akan mengantar Anda ke sana lewat deskrpisi sederhana ini. Titik star kita adalah Gereja Paroki Santo Yosef Wairpelit. Kita menuju arah timur. Kita menyusuri Ribang, Woloara, Hoba dan Nangalimang. Setiba di Nangalimang, kita mesti jeli. Di tikungan halus itu biasa terjadi kecelakaan maut yang merenggut nyawa anak manusia. Anda mesti me-rem laju kendaraan Anda, entah mobil maupun sepeda motor. Saat menuju Napung Kabor, Anda mengambil rute bel