Relevansi Kritik Positivisme Habermas Terhadap Gerakan Ekologi Selama Pandemi di Indonesia || Opini Aris Kapu
I
Pendahuluan
Hadirnya pandemi korona di dunia
membawa banyak krisis dan dampak dalam setiap bidang kehidupan manusia meliputi
bidang sosial, ekonomi, politik, dan pendidikan. Dampak yang paling dirasakan
oleh hampir semua negara di dunia ialah dampak ekonomi. Hal ini membuat para
pemimpin negara memutar otak untuk memperbaiki perekonomian yang ambruk akibat
wabah korona yang masif.
Salah satu strategi perbaikan
ekonomi yang paling disoroti selama masa pandemi ialah investasi akbar di
bidang ekologi. Merilis laporan Global Forest Watch (GFW) di tahun 2019,
setiap enam
detik hutan hujan tropis seluas satu lapangan sepak bola menyusut dan hilang.
Berkurangnya hutan hujan tropis terjadi ketika kesadaran tentang peran penting
hutan sebagai penyimpan karbon dalam memperlambat perubahan iklim tengah
digencarkan. [1]
Di Indonesia, laju deforestasi
selama pandemi diklaim berada pada kurva tengah menurun. Sebagaimana dilaporkan
oleh Dirjen Planologi Kehutanan dan Tata Lingkungan (PKTL), Indonesia berhasil
menurunkan laju deforestasi 75,03% di periode tahun 2019-2020 hingga berada
pada angka 115.460 hektare. Angka ini diklaim menurun dari tahun sebelumnya
yakni 462.460.[2]
Namun bahwa, data yang ditunjukkan
tidak bersinggungan lurus dengan kenyataan. Sebagaimana kita ketahui bencana
alam yang melanda Indonesia, khususnya banjir di Kalimantan menjadi salah satu
keprihatinan yang harus dipandang secara kritis. Banyak pihak yang mengatakan
bahwa hal itu disebabkan oleh anomali cuaca, tetapi lebih dari itu pembabatan
lahan di Kalimantan menjadi salah satu faktor. Sebab, peristiwa ini jarang
terjadi di Kalimantan sehingga menimbulkan rupa pertanyaan atas kejadian ini.
Atas uraian peristiwa yang melanda
ruang ekologi selama pandemi demi meningkatkan perekonomian, strategi ini
terkesan dinilai cukup instan dan kurang bijak karena hanya mengedepankan
pertumbuhan ekonomi tanpa mempertimbangkan resiko yang timbul di kemudian hari,
seperti masalah perubahan iklim & cuaca, dan juga kemanusiaan.
Terlepas dari persoalan konkret ini
juga, telaah dominasi atas alam demi sebuah orientasi ekonomi semata masih
memiliki kaitan dengan imbas modernitas. Sebagaimana diketahui bahwa,
modernitas hadir dengan menuntut manusia untuk berani berpikir, keluar dari
kungkungan dogmatisme, dan bergerak secara otonom di tengah dunia. Tuntutan ini
membawa manusia menggunakan akal budinya dalam mengembangkan pengetahuan demi
tujuan pemenuhan kebutuhan.
Berkembangnya ilmu pengetahuan
ditandai dengan corak sistematika yang khas dalam memperoleh pengetahuan itu
sendiri, yakni coraknya yang positivis. Corak ini dilihat sebagai metode bebas
nilai ketika menelaah realitas. Tak heran, pengetahuan dalam lingkup modernitas
condong sebagai instrumen terhadap objek di luar manusia, khususnya alam.
Pengetahuan dilihat sebagai jalan kekuasaan untuk mencaplok kebutuhan dari bahan
baku alam.
Dari sinilah muara kritik terhadap
modernitas Habermas berujung. Ia menolak klaim pengetahuan sebagai alat
instrumen untuk menguasai sepuas-puasnya demi pemenuhan hasrat manusia. Kritik
Habermas tidaklah usang, malah tetap relevan untuk konteks sekarang. Penulis
sangat tertatik atas dalil kritik yang ia kemukakan terhadap kegagalan
modernitas khususnya dalam bidang ilmu pengetahuan, lalu menyandingkannya
dengan gerakan ekologi selama pandemi di Indonesia. Pertanyaan besar yang
timbul ialah, bagaimana relevansi kritik Habermas terhadap positivisme terhadap
gerakan ekologi selama pandemi di Indonesia?
Sebelum menjawab pertanyaan besar
tadi, tulisan ini pertama-tama menjabarkan realitas munculnya corak pengetahuan
yang positivistik sebagai buah dari modernitas. Lalu dikemukakan alasan-alasan
yang mendorong Habermas mengkritik metode positivisme itu sendiri. Dalil kritik
Habermas itu penulis gunakan dalam relevansinya dengan gerakan ekologi selama
pandemi di Indonesia.
II Modernitas
dan Timbulnya Positivisme
Sebagaimana diketahui, modernitas
lahir dari situasi sosial-politik yang carut-marut, seperti revolusi Perancis
abad 17, sebagai ekspresi untuk menolak sikap dogmatisme yang masih dipengaruhi
oleh Gereja pada masa itu. Selama masa abad pertengahan yang didominasi oleh
dogma dan wahyu Gereja, dimensi kebenaran berlandas pada Kitab Suci, sehingga
tak dapat dipertentangkan atau diperdebatkan. Demikian Harold Titus, selama
ribuan tahun sampai dengan akhir abad pertengahan filsafat logika Aristoteles
diterima di Eropa sebagai otoritas yang besar. Para pemikir pun menganggap
bahwa, pemikirian deduktif (logika formal) dan wahyu sebagai sumber
pengetahuan.[3] Tak
pelak, dogmatisme seperti itu mengantar manusia pada sebuah “penjara pikiran” (mind
prison) karena kebenaran telah dipajang secara ‘definitif’.
Untuk keluar dari kerangkeng tersebut, modernitas lahir sebagai
narasi baru dalam melawan “penjara pikiran” diganti dengan semboyan sapere
aude. Tak heran bila Robert C. Solomon dan Kathleen M. Higgins menyebut
istilah ‘modern’ sebagai suatu situasi yang menunjukkan permulaan suatu
pertempuran, suatu teriakan pemberontakan, suatu gerak penolakan (bahkan
penghancuran) terhadap apa yang lampau.[4]
Lalu, seperti apa persisnya ciri-ciri yang menjadi keunggulan modernitas
itu? Menurut Franz Magnis-Suseno terdapat tiga ciri modernitas yaitu
subjektivitas, rasionalitas, dan refleksivitas.[5]
Pertama, subjektivitas. Dalam hal ini
manusia menyadari dirinya sebagai subjek yang bebas dan otonom sekaligus
bersifat personal.[6]
Unsur ini dilihat sebagai kebangkitan filsafat modern sebab sebelumnya belum
ada kesadaran akan subjek. Sebelumnya orang lebih mengenali dirinya sebagai
ras, rakyat, partai, keluarga, atau kolektif.[7]
Dengan adanya kesadaran subjektivitas ini, manusia semakin memaknai eksistensi
dirinya di tengah dunia (antroposentris).
Kedua, rasionalitas. Rasionalitas bersumber pada akal budi manusia. Manusia
rasional menggunakan akalnya untuk berpikir dan budinya untuk mempertimbangkan
atau memberikan penilaian moral sebelum sebuah pernyataan atau tindakan
dilakukan. Rasionalitas di sini mensyaratkan otonomi individu yang berpikir
atau kesadaran akan subjektivitasnya. Namun, rasionalitas itu juga menyejarah.
Ia adalah suatu sejarah pencaharian.[8]
Ketiga, refleksivitas. Refleksivitas dapat dikatakan menjadi ciri umum
modernitas. Ciri umum refleksivitas ini adalah suatu sikap kritis terhadap
segala bentuk pemikiran. Sikap kritis berarti suatu jenis pemikiran tidak
diterima begitu saja, tetapi coba menghadapkan atau memantulkan pemikirannya
kepada dirinya sendiri untuk kemudian dilihat kelemahan-kelemahannya. Sikap
kritis inilah yang menuntun orang kepada pengetahuan yang sekurang-kurangnya
mendekati kebenaran. Ia memantulkan setiap pemikiran yang datang kepadanya dengan
sikap kritis, menunjukkan kelemahannya, dan kemudian belajar dari padanya untuk
mendekati kebenaran itu sendiri.
Ketiga ciri modernitas di atas mengantar pada sebuah perkembangan
yang pesat di bidang filsafat dan pengetahuan. Kajian metode dan sistematika
atasnya menjadi berubah, di mana tidak lagi bertumpu pada satu sudut pandang
tetapi terbuka pada seluruh bidang, seperti lingkup sosial, politik, ekonomi,
budaya, agama, dan pendidikan.
Dari perkembangan inilah, bangunan filsafat dan pengetahuan terwujud
melalui pengagungan terhadap rasionalisme, empirisme, objektivisme,
positivisme, dan netralitas nilai etika. Hal ini kemudian menjadikan agama
sebagai objek yang tidak rasional dan tidak objektif, sehingga disingkirkan
dari modernitas.[9]
III
Kritik Habermas Terhadap Positivisme
Dalam
perkembangannya selama beberapa dekade, paradigma positivis telah memberikan
sumbangan bagi kemajuan dan tumbuhnya ilmu pengetahuan, terutama dalam hal
mengkaji dan mengobservasi realitas. Pandangan
positivisme pada umumnya berkisar pada tiga hal berikut:[10]
pertama, prosedur-prosedur metodologis ilmu-ilmu alam dapat
diaplikasikan juga pada ilmu-ilmu sosial. Kedua, hasil-hasil penelitian
dapat dirumuskan dalam bentuk hukum-hukum seperti pada ilmu alam. Ketiga,
ilmu-ilmu sosial harus bersifat instrumental murni, dan dapat digunakan untuk
segala keperluan, sehingga ia harus bebas nilai.
Menegaskan hal ini, Berger
menjelaskan bahwa dalam ilmu sosial, misalnya studi ilmiah dalam sosiologi,
ditempuh dengan cara-cara yang positivis sebagai berikut.[11]
Pertama, ilmu sosiologi bersifat empiris. Artinya, ia mesti berangkat
dari realitas konkret hidup manusia, yang memungkinkan nalar untuk menganalisa
realitas-realitas tersebut.
Kedua, sosiologi bersifat
teoretis. Hal ini berarti ia harus mampu menjelaskan fenomena yang ada atau
memberikan analisis serta penjelasan atas data yang tersedai jelas dalam
dirinya. Daya analisis menjadi suatu unit yang penting dalam menyusun kerangka
teoritis, agar fenomena realitas yang ada dapat diterangkan secara saintifik.
Ketiga, bersifat kumulatif.
Itu artinya, sebuah teori atau konsep tidak dibangun atas satu bukti saja. Ia
mesti terus dikaji dan ditelaah berdasarkan observasi bertahap, lalu
dikembangkan, dikritisi, diperbaiki, agar makin lama makin sempurna.
Keempat, bersifat bebas
nilai. Artinya bahwa, ketika pengamat terjun untuk melakukan observasi, ia
harus menggambarkan situasi konkret-sosial yang ada di masyarakat secara
gamblang, apa adanya (das sein) dan bukan menurut apa yang seharusnya (das
sollen). Pengamat sungguh bebas dan independen dalam menelaah realitas itu
dan menggambarkannya secara objektif. Tidak ada singgungan baik dan buruknya
sesuatu. Di sini, etika tidak boleh dicakupkan dalam pengamatan.
Terlepas dari semuanya itu, dapat
ditelusuri bahwa, postulat utama yang terkandung dalam positivisme ialah
monopoli metode-metode secara interdisipliner ilmu, di mana pendekatan atasnya
harus empiris, teoritis (sistematis-metodis), dan bebas nilai.[12]
Berangkat dari postulat positivisme
ini, Habermas masuk memberikan kritik atas telaah metodis yang dipakai oleh
kaum positivis dalam melakukan observasi pengetahuan. Kritik ini sekaligus
nantinya menggambarkan kerapuhan modernitas sebagai penggagas sapere aude
yang cenderung menekankan relasi subjektivis ketimbang relasi intersubjektif.
Kritik tersebut meliputi, pertama, metode yang dibangun oleh kaum positivis
benar-benar memperlemah kemampuan seseorang untuk menghadapi
persoalan-persoalan seputar nilai dan makna hidup yang fundamental.[13]
Hal ini disebabkan oleh basis bebas nilai dari positivisme yang mengesampingkan
etika dalam pengamatan, sehingga daya kritis pemecahan seseorang menjadi kurang
terasah.
Kedua, metode positivisme
terkesan mengasingkan rasio dari kehidupan praksis, karena ia harus menjalankan
sebuah independensi dalam observasi. Apa mungkin rasio menjadi sungguh netral
bila demikian? Habermas memberi jawaban negatif. Ia katakan bahwa rasio
positivis hanya untuk kontrol teknis atas alam dan masyarakat.[14]
Itu berarti, rasio hanya dipakai melulu pada aplikasi teknis-instrumentalis
demi penguasaan atas alam.
Ketiga,
Habermas menolak objektivitas ilmu. Memang bahwa, ilmu dibangun dalam kerangka
kepentingan objektivasi dan realitas dalam kerangka eksploitasi. Tapi timbul
paradoks, bahwa demi teraihnya teori murni (objektif) ‘kepentingan’ ditekan
dalam rangka melayani ‘kepentingan’ untuk memandang dunia sebagai sesuatu yang
independen dari ‘kepentingan’.[15]
Artinya bahwa, omong kosong dalam positivisme bila ilmu yang mereka hasilkan
bebas dari kepentingan nilai apapun, sebab upaya observasi mereka juga toh
dilandasi oleh kepentingan lain demi sebuah dominasi.
Demikian kritik yang diajukan
Habermas atas positivisme. Dari kritik itu, ia menganjurkan sebuah rasionalitas
yang kritis dalam observasi, yang tidak mengesampingkan nilai-nilai, sehingga
dalam upaya mengkaji fenomena realitas manusia tidak condong pada das sein
tapi turut disertakan dengan das sollen. Anjuran ini lazim juga disebut
dengan “kepentingan kognitif emansipatoris-kritis”, di mana pengetahuan dilihat
sebagai proses refleksi diri yang dialektis dengan ketegangan-ketegangan yang
ada dalam realitas.[16]
IV
Relevansi Kritik Positivisme Habermas Terhadap Gerakan Ekologi Selama Pandemi
di Indonesia
Gerakan ekologi di Indonesia selama
masa pandemi mendapat tempat sorot khusus ketika beberapa waktu silam negara
kita dilanda bencana di beberapa daerah. Hal ini mengundang keprihatinan
tersendiri untuk melihat dengan terang dan kritis faktor-fator yang
melatarbelakangi terjadinya bencana itu.
Seperti telah dijelaskan pada awal
tulisan, banyak pihak yang berargumen bahwa timbulnya bencana ini diakibatkan
oleh anomali cuaca yang ekstrim. Namun, bila ditelusuri secara kritis, bencana
yang terjadi lebih disebabkan oleh tindakan manusia itu sendiri dalam hal
eksploitasi terhadap alam dan isinya.
Dalam bagian ini, penulis mencoba menarik garis benang merah antara
kritik positivisme Habermas dengan persoalan ekologi selama pandemi di
Indonesia. Uraian relevansi ini juga sebenarnya mengandung etika politik bagi
pemerintahan Indonesia, khususnya dalam hal pengambilan kebijakan yang tepat
sasar dan bermanfaat bagi kesejahteraan semua pihak. Untuk itu, penulis
menjabarkannya lewat beberapa poin argumentasi berikut.
Pertama, beralih dari
subjektivisme menuju intersubjektivitas. Poin yang dimaksud ialah pemerintah
mesti mengadakan kajian ilmiah yang kritis sebelum mengambil keputusan,
terutama bila hendak melakukan investasi yang bersifat ekstraktif. Hal ini
penting agar pemerintah harus tahu resiko dan peluang kebijakan yang diambil.
Pemerintah dituntut untuk berdialog secara kritis dengan realitas, memahami
cakupan keunggulan dan kekurangan yang ada, agar pertimbangan yang diambil
menjadi matang. Di sini, peran akal budi komunikatif menjadi sangat penting.
Sebagaimana Habermas, akal budi komunikatif itu mengandaikan kemampuan yang
digagas mampu dibagikan kepada orang lain, agar terjadi dialektika atau
negosiasi, sehingga bisa memicu pertimbangan deliberatif dalam mengambil
keputusan.[17]
Kedua, tidak berorientasi
pada kepentingan ekonomi atau kepentingan teknokratis golongan tertentu. Ini
kerap terjadi, bilamana kebijakan yang diambil pemerintah menimbulkan trickle
down effect, di mana yang mengeruk keuntungan paling banyak diambil oleh segelintir
orang (oligarkis). Wabah pandemi yang merugikan perekonomian membawa rujukan
keputusan yang cenderung ekonomis, dengan usaha ekstraksi terhadap alam,
sehingga ruang ekologi menjadi tidak stabil dan kemudian membawa bencana. Di
sini, penting untuk mewacanakan kembali gerakan pembangunan ekonomi yang dibuat
dengan mempertimbangkan relasi integral-holistik antara alam, manusia, dan
pengetahuan (kebijakan), agar hasil keputusan menyejahterakan semua pihak.
Ketiga, alam tidak boleh
dipandang sebagai objek semata. mesti ditelaah secara kritis dan cermat bahwa,
manusia tidak bereksistensi sendirian di muka bumi melainkan memiliki relasi
keterhubungan dengan alam. Hal ini sebenarnya juga merupakan kritik atas
antroposentrisme dalam modernisme oleh Habermas, yang cenderung mendewakan
rasionalitas manusia hanya pada tataran pemenuhan nafsu kebutuhan semata. Untuk
itu, alam dalam lingkup ekologis dipandang sebagai subjek yang memiliki andil
dalam eksistensi manusia di dunia.
Uraian poin-poin tadi telah menggambarkan
bagiamana relevansi kritik Habermas terhadap positivisme yang menekankan
pengetahuan sebagai alat kekuasaan dilihat dalam konteks gerakan ekologi selama
pandemi di Indonesia. Pokok utamanya ialah, pemerintah mesti memperhatikan
kembali usaha konkret dalam menggenjot perekonomian di tengah wabah covid-19,
yang tidak direduksi pada proyek investasi dan eksploitasi terhadap alam. Sikap
cermat dan kritis menjadi andil penting dalam mengamati realitas sembari
memperhatikan nilai-nilai etis yang ada di baliknya.
IV
Penutup
Gagasan
Habermas dalam mengkritik posotivisme yang lahir dari lingkungan modernisme
membawa andil besar dalam filsafat dan ilmu pengetahuan. Bilamana sebelumnya,
positivisme menekankan superioritas metode terhadap tiap disiplin ilmu (ilmu
sosial dan ilmu alam) dengan tujuan kepentingan teknis dan bebas dari
nilai-nilai etis, Habermas merangsek masuk memberi kritik atas superioritas
itu.
Habermas melihat, monopoli metode
yang cenderung superior dipakai oleh kaum positivis di bidang pengetahuan dan
filsafat menjauhkan rasio dari ranah praktis-etis, karena hanya menggambarkan
realitas apa adanya (das sein). Hal ini pula yang membuat sikap cermat
dan kritis menjadi kurang terasah. Ditambah, terdapat paradoks dalam metode
positivisme itu sendiri, yakni bahwa, mereka katakan bebas nilai dan
kepentingan, tapi toh mereka tetap dicengkeram oleh kepentingan lain demi
kekuasaan atas objek, terutama alam.
Sumbangan kritik Habermas ini dapat
dilihat dalam konteks pandemi covid-19, di mana dalam kebijakannya, pemerintah
cenderung mengaplikasikan proyek ekonomis dengan mancaplok sumber daya alam
sebanyak-banyaknya demi menggenjot pertumbuhan ekonomi. Untuk itu, perlu ada
pemetaan dan tinjauan kritis-deliberatif atas kebijakan tersebut dengan memakai
akal budi komunikatif, agar buah keputusan menguntungkan banyak pihak, sehingga
ruang ekologi dan eksistensi manusia tetap harmoni dan terjaga.
[1] “Analisis: Pandemi Covid-19 tahun 2020 ‘Menghancurkan’ Hutan
Dunia”, dalam DW.Com 26 Februari 2021, https://www.dw.com/id/pandemi-covid-19-tahun-2020-menghancurkan-hutan-dunia/a-56710524,
diakses pada 05 Mei 2021
[2] Pradipta Pandu, “Deforestasi Periode 2019-2020 di Indonesia 115.459
Hektare”, dalam Kompas.com 4 Maret 2021, https://www.kompas.id/baca/ilmu/-pengetahuan-teknologi/2021/03/04/deforestasi-periode-2019-2020-di-indonesia-115-459-hektar,
diakses pada 06 Mei 2021.
[3] Harold. H. Titus, et.al., Persoalan-Persoalan Filsafat,
penerj. H. M. Rasyidi (Jakarta: Bulan Bintang, 1984), hlm. 257.
[4] Robert C. Solomon dan Kathleen M. Higgins, Sejarah Filsafat (Cetakan Kedua), penerj. Saut Pasaribu
(Yogyakarta: Bentang Budaya, 2003), hlm. 317.
[5] Franz Magnis-Suseno, Pijar-Pijar
Filsafat: Dari Gatholoco ke Filsafat Perempuan, dari Adam Müler ke
Postmodernisme (Cetakan Kelima) (Yogyakarta: Kanisius, 2009), hlm. 219-220.
[6] Ibid.
[7] F. Budi Hardiman, Filsafat
Modern: Dari Machiavelli Sampai Nietzsche, cet. II (Jakarta: PT
Gramedia Pustaka Utama, 2007), hlm. 3.
[8]Franz Magnis-Suseno, op.cit., hlm. 9.
[9] Darwis A. Soelaiman, Filsafat Ilmu Pengetahuan Perspektif Barat
dan Islam (Aceh: Bandar Publishing, 2019), hlm. 112.
[10] Mathias Daven, “Epistemologi” (Bahan Kuliah STFK Ledalero-Maumere,
2018), hlm. 232.
[11] Robert M.Z. Lawang, Pengantar Sosiologi (Jakarta: Penerbit
Karunika, 1986), hlm 21.
[12] Bdk. Ted Benton & Ian Craib, Filsafat Ilmu Sosial:
Pendasaran Filosofis bagi Pemikiran Sosial (Maumere: Ledalero, 2009), hlm.
70.
[13] Ibid. hlm. 71.
[14] Bdk. Jurgen Habermas, Theory and Practice (London:
Heinemann, 1971), hlm. 312-315.
[15] Leslie A. Howe, On Habermas (Belmont: Wadsworth/Thomson
Learning, 2000), hlm. 6-7.
[16] Katherine Miller, Communications Theories: Perspectives,
Processes, and Contexts (Boston: McGraw Hill, 2002), hlm. 67.
[17] Andreas Doweng Bolo dkk., Pancasila Kekuatan Pembebas. Cetakan
ke-VI (Yogyakarta: Kanisius, 2016), hlm 207.
Mantap e nana...
BalasHapusMantap e nana...
BalasHapus